Cerpen
Agus Pribadi
Ayah
dan teh keroncong sepertinya tidak bisa dipisahkan. Terutama saat sedang
bekerja membersihakan halaman rumah, di sebelahnya akan terhidang teh keroncong
satu gelas besar penuh.
Ayah
memang orangnya rajin bekerja. Tidak suka melihat rumput tumbuh di atas
tanahnya. Jika melihat ada rumput mulai tumbuh di atas tanah halaman rumah,
maka ayah akan segera membersihkannya, dengan syarat ditemani minuman
kesukaannya itu.
Gambar Pixabay.com
Seperti
Minggu pagi ini, ayah sudah membersihkan rumput-rumput di halaman rumah. ayah
tidak mau pertumbuhan pohon bayam, rambutan, mangga, jeruk nipis, dan tanaman
yang ditanam ayah lainnya menjadi terganggu. Sementara di dapur, ibu membuatkan
teh keroncong menggunakan gelas besar untuk ayah. Cara membuatnya, teh dicampur
gula pasir lantas disiram air panas, ditambah dengan perasaan cinta dan setia
ibu untuk ayah yang tak pernah pudar selama empat puluh tahun pernikahan mereka
itu. Hasilnya, saat dihidangkan panas-panas, ayah menyeruptnya dengan penuh
penjiwaan, seakan segarnya meresap ke setiap aliran darah sampai ke yang
terkecil (kapiler darah).
Ketika
aku akan berangkat ke kampus untuk mengikuti suatu kegiatan di kampus, ayah
menghentikan langkahku.
“Bagus,
sebelum kau berangkat ke kampus, ayah mau bicara dulu,” ayah menyeruput kembali
teh kerocong yang masih hangat, aku dan ayah duduk bersebelahan di teras rumah.
Ayah melanjutkan bicaranya,
“Begini,
Bagus. Meskipun sedang berkuliah dengan pelajaran yang tinggi-tinggi yang ayah
mungkin tidak mampu mencernanya, juga diajar oleh dosen yang bergelar sangat tinggi,
namun ayah berharap kau tetap mau mendengarkan nasehat dan belajar dari ayah
dan siapapun meski pendidikannya lebih rendah darimu.” Aku mengangguk, ayah
menyalakan sebatang rokok kretek lantas menghirupnya dengan sepenuh tarikan
nafasnya. Ayah memang termasuk perokok berat, meski demikian aku tidak merokok.
Ayah melanjutkan bicaranya,
“Kau
lihat betapa ayah begitu memperhatikan kondisi tanaman yang ayah tanam. Ayah
tak mau menelantarkan tanaman-tanaman ini. Ayah ingin tanaman itu tumbuh dengan
subur, karena itu ayah kerap menyiangi rumput-rumput yang mengganggunya. Ayah
juga memberinya pupuk. Jika musim kemarau, ayah akan mencarikan air dan
menyiraminya. Dan seperti kaulihat sendiri, bagaimana tanaman-tanaman itu
tumbuh dengan subur serta memberikan buah-buahan yang manis dan segar.” Ketika
ayah masih berbicara, ibu membawakan sepiring kripik bayam ke hadapan kami.
Ayah mengambil kripik bayam yang masih hangat itu lantas melanjutkan berbicara,
“Dan
kripik bayam ini rasanya begitu enak dan nikmat. Ayah menanamnya dengan sepenuh
cinta ayah pada tumbuh-tumbuhan, dan tumbuhnya pun begitu subur, daunnya hijau
dan lebar-lebar yang dalam istilah Banyumas adalah ‘mledung”. Dan kau lihat
pohon rambutan itu buahnya sangat manis ketika pertama kali berbuah. Para
tetangga begitu suka untuk membelinya meskipun ayah tidak ingin menjualnya.
Jika ada tetangga dekat yang menginginkannya lebih baik ayah beri secara
cuma-cuma. Ayah ingin kelak kau meneruskan apa yang telah ayah lakukan ini.”
Ayah terus berbicara sementara waktu sudah semakin siang, aku pun berpamitan
pada ayah untuk segera ke kampus.
“Ayah,
terimakasih atas semua nasehatnya. Insya Allah, akan aku perhatikan apa yang
tadi ayah sampaikan. Aku harus segera ke kampus karena hari sudah semakin
siang. Aku tak boleh terlambat sampai ke kampus.” Ayah sebenarnya masih ingin
bicara terus sampai teh keroncongnya yang penuh segelas besar menjadi habis.
Namun meski tinggal separuh gelas, ayah merelakan aku pergi karena aku ada
kegiatan di kampus.
“Hati-hati
di jalan, Bagus. Lekas pulang kalau sudah selesai kegiatan. Tak usah
mampir-mampir ke tempat lain.”
“Baiklah,
Ayah.” Aku berjalan kaki meninggalkan ayah. Memang aku harus berjalan kaki
menuju ke perempatan sejauh sekitar 500 meter untuk nantinya naik angkutan ke
kampus. Meski kadang kesulitan transportasi, tapi aku tetap semangat untuk
kuliah. Hal itu, terinspirasi dari ayah.
Dalam
perjalanan ke kampus aku terngiang-ngiang ucapan ayah. Aku kagum pada ayah,
sepertinya ia sangat dekat dan akrab dengan tumbuh-tumbuhan dan penghuni alam
lainnya. Ia seperti selalu menyapa alam saat sedang menyiangi rumput-rumput,
memupuk tanaman, atau menanam tanaman.
Aku
tak mengira, pesan ayah agar aku lekas pulang saat selesai kegiatan di kampus
hari itu, memberikan isyarat khusus yang tak kuketahui. Aku tak mematuhi ayah,
ketika kegiatan kampus selesai, aku mampir ke rumah kos teman-temanku yang ada
di dekat kampus. Kalau sudah bersama mereka, aku menjadi lupa waktu. Aku baru
sampai rumah menjelang petang hari. Dan aku mendapati ayah sedang rebah dan
payah di atas tempat tidurnya. Ibu berada di tepi tempat tidur sambil memijati
kaki ayah.
“Gus,
kamu baru pulang?” ucapan ayah lemah, tidak lagi bersemangat seperti pagi tadi.
“Iya,
Ayah, maafkan aku. Ayah kenapa?” aku ikut memijat kaki ayah. Dingin.
“Entahlah,
Gus. Mungkin aku sudah letih karena usiaku sudah tak muda lagi. Lihatlah teh
keroncong itu. Sejak tadi tak ayah minum. Entahlah, rasanya sudah tak seenak
pagi tadi.”
Aku
melihat ke arah gelas besar yang ada di atas meja kecil, masih penuh dengan air
teh, mungkin hanya berkurang beberapa teguk saja.
Hari-hari berikutnya,
tubuh ayah semakin lemah dan semakin lemah. Ibu selalu membuatkan teh keroncong
satu gelas penuh untuk ayah setiap harinya, meski tak pernah disentuhnya
lagi.[]
Banyumas, 25
Maret 2016
0 komentar:
Posting Komentar