BELAJAR SEPANJANG HAYAT


Catatan Harian Seorang Guru IPA







Selamat berkunjung di blog kami, semoga bermanfaat

Jumat, 11 November 2016

[Cerpen] Teh Keroncong Ayah


Cerpen Agus Pribadi

Ayah dan teh keroncong sepertinya tidak bisa dipisahkan. Terutama saat sedang bekerja membersihakan halaman rumah, di sebelahnya akan terhidang teh keroncong satu gelas besar penuh.
Ayah memang orangnya rajin bekerja. Tidak suka melihat rumput tumbuh di atas tanahnya. Jika melihat ada rumput mulai tumbuh di atas tanah halaman rumah, maka ayah akan segera membersihkannya, dengan syarat ditemani minuman kesukaannya itu.
Gambar Pixabay.com

Seperti Minggu pagi ini, ayah sudah membersihkan rumput-rumput di halaman rumah. ayah tidak mau pertumbuhan pohon bayam, rambutan, mangga, jeruk nipis, dan tanaman yang ditanam ayah lainnya menjadi terganggu. Sementara di dapur, ibu membuatkan teh keroncong menggunakan gelas besar untuk ayah. Cara membuatnya, teh dicampur gula pasir lantas disiram air panas, ditambah dengan perasaan cinta dan setia ibu untuk ayah yang tak pernah pudar selama empat puluh tahun pernikahan mereka itu. Hasilnya, saat dihidangkan panas-panas, ayah menyeruptnya dengan penuh penjiwaan, seakan segarnya meresap ke setiap aliran darah sampai ke yang terkecil (kapiler darah).
Ketika aku akan berangkat ke kampus untuk mengikuti suatu kegiatan di kampus, ayah menghentikan langkahku.
“Bagus, sebelum kau berangkat ke kampus, ayah mau bicara dulu,” ayah menyeruput kembali teh kerocong yang masih hangat, aku dan ayah duduk bersebelahan di teras rumah. Ayah melanjutkan bicaranya,
“Begini, Bagus. Meskipun sedang berkuliah dengan pelajaran yang tinggi-tinggi yang ayah mungkin tidak mampu mencernanya, juga diajar oleh dosen yang bergelar sangat tinggi, namun ayah berharap kau tetap mau mendengarkan nasehat dan belajar dari ayah dan siapapun meski pendidikannya lebih rendah darimu.” Aku mengangguk, ayah menyalakan sebatang rokok kretek lantas menghirupnya dengan sepenuh tarikan nafasnya. Ayah memang termasuk perokok berat, meski demikian aku tidak merokok. Ayah melanjutkan bicaranya,
“Kau lihat betapa ayah begitu memperhatikan kondisi tanaman yang ayah tanam. Ayah tak mau menelantarkan tanaman-tanaman ini. Ayah ingin tanaman itu tumbuh dengan subur, karena itu ayah kerap menyiangi rumput-rumput yang mengganggunya. Ayah juga memberinya pupuk. Jika musim kemarau, ayah akan mencarikan air dan menyiraminya. Dan seperti kaulihat sendiri, bagaimana tanaman-tanaman itu tumbuh dengan subur serta memberikan buah-buahan yang manis dan segar.” Ketika ayah masih berbicara, ibu membawakan sepiring kripik bayam ke hadapan kami. Ayah mengambil kripik bayam yang masih hangat itu lantas melanjutkan berbicara,
“Dan kripik bayam ini rasanya begitu enak dan nikmat. Ayah menanamnya dengan sepenuh cinta ayah pada tumbuh-tumbuhan, dan tumbuhnya pun begitu subur, daunnya hijau dan lebar-lebar yang dalam istilah Banyumas adalah ‘mledung”. Dan kau lihat pohon rambutan itu buahnya sangat manis ketika pertama kali berbuah. Para tetangga begitu suka untuk membelinya meskipun ayah tidak ingin menjualnya. Jika ada tetangga dekat yang menginginkannya lebih baik ayah beri secara cuma-cuma. Ayah ingin kelak kau meneruskan apa yang telah ayah lakukan ini.” Ayah terus berbicara sementara waktu sudah semakin siang, aku pun berpamitan pada ayah untuk segera ke kampus.
“Ayah, terimakasih atas semua nasehatnya. Insya Allah, akan aku perhatikan apa yang tadi ayah sampaikan. Aku harus segera ke kampus karena hari sudah semakin siang. Aku tak boleh terlambat sampai ke kampus.” Ayah sebenarnya masih ingin bicara terus sampai teh keroncongnya yang penuh segelas besar menjadi habis. Namun meski tinggal separuh gelas, ayah merelakan aku pergi karena aku ada kegiatan di kampus.
“Hati-hati di jalan, Bagus. Lekas pulang kalau sudah selesai kegiatan. Tak usah mampir-mampir ke tempat lain.”
“Baiklah, Ayah.” Aku berjalan kaki meninggalkan ayah. Memang aku harus berjalan kaki menuju ke perempatan sejauh sekitar 500 meter untuk nantinya naik angkutan ke kampus. Meski kadang kesulitan transportasi, tapi aku tetap semangat untuk kuliah. Hal itu, terinspirasi dari ayah.
Dalam perjalanan ke kampus aku terngiang-ngiang ucapan ayah. Aku kagum pada ayah, sepertinya ia sangat dekat dan akrab dengan tumbuh-tumbuhan dan penghuni alam lainnya. Ia seperti selalu menyapa alam saat sedang menyiangi rumput-rumput, memupuk tanaman, atau menanam tanaman.
Aku tak mengira, pesan ayah agar aku lekas pulang saat selesai kegiatan di kampus hari itu, memberikan isyarat khusus yang tak kuketahui. Aku tak mematuhi ayah, ketika kegiatan kampus selesai, aku mampir ke rumah kos teman-temanku yang ada di dekat kampus. Kalau sudah bersama mereka, aku menjadi lupa waktu. Aku baru sampai rumah menjelang petang hari. Dan aku mendapati ayah sedang rebah dan payah di atas tempat tidurnya. Ibu berada di tepi tempat tidur sambil memijati kaki ayah.
“Gus, kamu baru pulang?” ucapan ayah lemah, tidak lagi bersemangat seperti pagi tadi.
“Iya, Ayah, maafkan aku. Ayah kenapa?” aku ikut memijat kaki ayah. Dingin.
“Entahlah, Gus. Mungkin aku sudah letih karena usiaku sudah tak muda lagi. Lihatlah teh keroncong itu. Sejak tadi tak ayah minum. Entahlah, rasanya sudah tak seenak pagi tadi.”
Aku melihat ke arah gelas besar yang ada di atas meja kecil, masih penuh dengan air teh, mungkin hanya berkurang beberapa teguk saja.
Hari-hari berikutnya, tubuh ayah semakin lemah dan semakin lemah. Ibu selalu membuatkan teh keroncong satu gelas penuh untuk ayah setiap harinya, meski tak pernah disentuhnya lagi.[]
Banyumas, 25 Maret 2016

Share:

0 komentar:

VIDEO PEMBELAJARAN

Arsip

Frequency Counter Pengunjung

Artikel Terbaru

LINK SAYA

Komentar Terbaru

Konsultasi IPA