Cerpen
Agus Pribadi
Berbicara
tentang anak barangkali akan mengasyikan bagi siapapun yang punya kesadaran
arti pentingnya sebuah keluarga. Dulu aku dan saudara kandungku lainnya adalah
anak-anak dari ibuku. Dan saat aku sudah menikah, anak-anakku adalah buah
hatiku yang selayaknya aku asuh dengan sebaik mungkin.
Gambar Pixabay.com
Anak bukanlah orang dewasa yang berukuran mini. Anak tetaplah anak, seorang manusia yang sedang mengalami perkembangan dengan pesat. Jika salah memperlakukan anak misalnya menganggapnya seorang yang sudah dewasa, maka anaklah yang akan menanggung akibatnya terutama secara psikis.
Anak bukanlah orang dewasa yang berukuran mini. Anak tetaplah anak, seorang manusia yang sedang mengalami perkembangan dengan pesat. Jika salah memperlakukan anak misalnya menganggapnya seorang yang sudah dewasa, maka anaklah yang akan menanggung akibatnya terutama secara psikis.
Masa
anak-anak adalah masa yang paling menyenangkan tak ada beban pikiran kehidupan
yang terlalu berat. Berbeda dengan orang dewasa yang terkadang permasalahannya
seperti benang ruwet yang sulit diurai.
Ketika
aku melihat anak-anakku sedang tertidur dan mengamati dengan seksama betapa
lelapnya mereka tertidur dan barangkali bermimpi bermain sedang bermain dengan
teman-temannya. Barangkali demikian juga yang dilakukan ayahku dulunya kepada
anak-anaknya.
Mendidik
anak bukanlah semudah membalikkan telapak tangan. Bukan sekadar pemenuhan
materi, pemenuhan apapun yang ia minta. Bukan itu. Mendidik anak seumpama
menanam tanaman dari biji kemudian dirawat dengan sebaik-baiknya sampai
berbunga dan berbuah. Rumput-rumput yang menganggu harus disingkirkan.
Kesuburan tanah harus dipertahankan dengan memberinya pupuh. Maka tanaman akan
tumbuh subur. Demikian juga dengan mengasuh anak-anak, pendidikan agama dan
budi pekerti adalah hal yang utama. Sebagai bekal hidup di masa-masa
selanjutnya. Uang dan kepandaian adalah hal yang penting namun jika salah
memperlakukannya maka dapat membinasakan. Yang dapat mengendalikan keduanya
adalah perilaku dan budi pekerti yang baik yang ditanamankan dan dibiasakan
sejak masa anak-anak.
Seingatku
ayahku tidak pernah mendidikku dengan menghukum secara fisik. Ayah biasanya
hanya marah-marah saat melihat anaknya melakukan sebuah kesalahan. Mungkin
pendidikan ayah tersebut kepadaku tidaklah selalu benar adanya, namun sangat
membekas di hatiku sampai aku dewasa, sampai aku menikah dan memiliki anak. Ketika
aku sedang marah kepada anakku maka aku akan mengingat ayahku dalam mendidikku
yaitu tanpa hukuman secara fisik.
Kehidupanku
seperti pengulangan dari kehidupan ayahku, dan kehidupan anakku kelak
barangkali seperti pengulangan kehidupanku demikian seterusnya entah sampai
kapan. Jika melihat perputaran kehidupan seperti itu, tampak sekali betapa
cepatnya kehidupan di dunia ini seperti hanya beberapa saat saja. Sepertinya
belum lama aku menjalani masa anak-anak yang penuh kasih sayang dari orang tua
namun sekarang aku sudah menjadi orang tahu yang sedang mengasuh anak-anak.
Tak
terasa waktu begitu cepat berlalu. Anak-anakku kini sudah memiliki anak,
berarti aku sudah memiliki cucu. Ayahku sudah dipanggil oleh Yang Maha Kuasa.
Aku berjalan harus menggunakan tongkat. Aku melihat dengan mata tuaku, cucuku
sedang berlari-lari mengejar capung di tanah lapang yang luas. Sepertinya
cucuku mengajakku ikut berlari mengejar capung namun aku sudah tak mampu lagi
melakukannya. Aku hanya bisa mengamatinya dari jauh sambil berjalan
tertatih-tatih dibantu dengan tongkat yang selalu setia menemaniku ke mana pun
aku pergi.
Kini
anakku juga mungkin meniru aku dalam mendidik anaknya, yakni menghukum tanpa
menggunakan kekerasan fisik. Aku belum pernah melihat anakku melakukan hal itu
pada anaknya.
“Kakek
sini bermain denganku mengejar capung. Jangan melamun terus....,” ucap cucuku
yang sudah berumur lima tahun sambil berlari mendekatiku. Aku hanya tersenyum
sambil melambaikan tangan memberi isyarat kalau aku sudah tak bisa berlari.
Aku
senang karena anak-anakku sudah memiliki pekerjaan yang tetap dan dari sana
dapat menghasilkan uang yang bisa menghidupi anak dan istrinya. Namun ada satu
hal yang mengganjal di hatiku ketika di suatu sore anakku yang pertama yang
paling sukses mengutarakan sesuatu hal kepadaku dan istriku.
“Ayah
aku ingin mengatakan suatu hal kepada ayah dan ibu, namun barangkali ayah dan
ibu tidak akan setuju perihal yang akan aku ucapkan ini. Namun aku berharap
ayah dan ibu akan menyetujuinya.”
“Jangan
berputar-putar, Nak. Lekaslah berbicara apa yang menjadi pokoknya,” kata ibu
penasaran.
“Begini,
aku ditugaskan oleh kantor, lebih tepatnya dipindah kerja oleh atasan ke kota.
Menurut atasanku, aku cocok untuk bekrja di kota. Oleh sebab itu aku akan
membawa anak dan istriku pindah ke kota dimana aku akan melaksankan tugas
baruku. Dan...”
Belum
selesai anakku berbicara istriku sudah menyahuti, “Dan ayah dan ibu akan kamu
ajak serta bersamamu?”
“I...iya
benar. Itu pun kalau ayah dan ibu
setuju,” kata anakku dengan ragu.
Aku
hanya diam, istriku yang menanggapi anak sulungku itu. Apa yang diucapkan
istriku juga mewakili apa yang ada di hatiku.
“Aku
dan ayahmu sudah menempati rumah ini selama puluhan tahun, bahkan sebelum
dipugar rumah ini adalah rumah nenekmu, rumah leluhurmu. Aku dan ayahmu tak
mungkin bisa meninggalkan rumah ini dalam waktu yang lama. Terlalu pedih bagiku
dan ayahmu untuk menanggung kerinduan seandainya harus jauh dari rumah yang
penuh kenangan ini. Pernah aku dan ayahmu mencoba beberapa hari menginap di
rumah si bungsu di luar kota, namun aku dan ayahmu merasa sangat ingin pulang
meski baru tiga hari kami meninggalkan rumah ini. Jadi, kamu tetap anakku di
mana pun kamu berada, namun aku dan ayahmu akan tetap tinggal di sini.”
Anak
sulungku mendengarkan ucapan ibu dengan seksama tanpa mampu berbicara lebih
jauh lagi.[]
Banyumas,
15 Maret 2016
0 komentar:
Posting Komentar