Oleh
Agus Pribadi
Melihat
dari latar belakang pendidikan minimal S1 dan aktivitas keseharian yang banyak
berkaitan dengan kegiatan baca tulis, saat ini menulis merupakan kegiatan yang
seharusnya sudah membudaya di kalangan guru. Namun demikian, kenyataan di
lapangan kegiatan bernalar itu belum tentu melekat dalam keseharian setiap
guru.
Gambar Pixabay.com
Masih
dijumpai di lapangan, guru yang jarang melakukan kegiatan tulis menulis.
Padahal di era teknologi informasi ini, menulis menjadi kegiatan yang terbuka
lebar untuk dilakukan berbagai lapisan masyarakat, termasuk guru. Koran,
majalah, internet (blog, jejaring sosial), dan media lainnya merupakan beragam
media yang siap menampung tulisan berbagai kalangan tersebut.
Merupakan
sebuah paradoks jika ada guru yang enggan menulis. Sekolah yang seharusnya
menjadi agen perubahan harus memberi tauladan pada masyarakat dalam melakukan
kegiatan menulis. Bagaimana pendidikan akan berubah jika sebagian gurunya tidak
berubah dan tidak ingin maju.
Menulis
merupakan kegiatan yang butuh pembiasaan. Bukan berasal dari keterpaksaan.
Kebiasaan menulis dapat dilakukan di berbagai media, baik cetak maupun online
(internet).
Berbagai
jenis tulisan dapat ditulis oleh guru, baik nonfiksi maupun fiksi. Tulisan
nonfiksi dapat berupa news, reportase, opini, dan sebagainya. Tulisan fiksi
dapat berupa puisi, cerpen, novel, drama, geguritan, cerkak, dan sebagainya.
Jika
di media cetak ada sistem seleksi tulisan, maka di internet (blog, jejaring
sosial) tidak ada sistem seleksi tulisan. Jadi, dapat dipastikan setiap tulisan
yang ditulis guru dapat dipublikasikan untuk khalayak luas. Jurnalisme warga
merupakan salah satu media yang dapat digunakan guru untuk mempublikasikan buah
pikirannya.
Menulis
tidak harus berupa permasalahan yang rumit-rumit. Permasalahan keseharian dapat
ditulis menjadi tulisan yang menarik. Kegiatan yang ada di sekolah dapat
ditulis guru sebagai sebuah reportase sederhana. Puisi sederhana pun dapat
ditulis oleh guru di saat waktu luangnya.
Budaya
menulis
Menulis
tidak harus setiap hari. Menulis dapat disesuaikan dengan kegiatan seorang guru.
Dalam sebulan minimal satu tulisan, jika konsisten sudah menunjukan budaya
menulis di kalangan guru.
Menulis
dapat dimulai dari hal yang paling dikuasai atau hal yang paling disukai. Jika
kebetulan menyukai tulisan fiksi, maka seorang guru dapat memulainya dari
menulis fiksi, misalnya cerpen, puisi, dan sebagainya. Dari kebiasaannya
menulis itu, maka dapat dikembangkan dengan menulis jenis tulisan lainnya,
misalnya artikel, karya ilmiah, dan sebagainya.
Jika
seorang guru telah terbiasa menulis, maka menulis berbagai jenis tulisan akan terasa
lebih mudah. Menulis tidak lagi menjadi sebuah keterpaksaan karena kewajiban
atau syarat tertentu, namun menulis menjadi sebuah budaya. Jika suatu saat diperlukan,
maka kemampuan menulisnya dapat digunakan untuk keperluannya tersebut. Misalnya
menulis untuk kepentingan lomba, karir, kenaikan pangkat, pembelajaran dan
sebagainya.
Jika
budaya menulis terbentuk di kalangan guru, maka pendidikan akan semakin maju.
Dengan menulis, maka guru akan banyak membaca sebagai bahan tulisannya. Dengan
banyak membaca berbagai bacaan, baik alam maupun buku, maka wawasan guru akan
semakin luas. Kemampuan guru pun akan semakin meningkat.
Guru
yang gemar membaca dan menulis akan memancing peserta didik untuk gemar membaca
dan menulis juga. Kegiatan membaca dan menulis pun akan membudaya di sekolah.
Kegiatan membaca dan menulis bukan hanya sebagai materi pembelajaran mata pelajaran
Bahasa Indonesia, namun menjadi aktivitas nyata yang dilakukan guru dan peserta
didik di sekolah.
Jika
budaya menulis telah benar-benar ada di kalangan guru, maka pendidikan kita
akan semakin maju. Pendidikan yang maju dapat membawa bangsa dan negara menjadi
maju pula dalam kancah pergaulan negara-negara lain di dunia.[]
0 komentar:
Posting Komentar