BELAJAR SEPANJANG HAYAT


Catatan Harian Seorang Guru IPA







Selamat berkunjung di blog kami, semoga bermanfaat

Kamis, 25 Juli 2019

Sihir Guru Agus Menepis Kegaduhan

Oleh Mufti Wibowo (Radar Banyumas, 7 Juli 2019)


Bukankah bulan Ramadan selalu dipararelkan dengan konsepsi pendidikan. Orang yang telah melalui proses pendidikan disebut terdidik karena dia telah dianggap memiliki kompetensi tertentu. Kemenangan dalam Lebaran yang hakiki adalah hadirnya spirit keilahian yang (senantiasa) baru, dalam konsep budaya disebut mudik.

Yang lebih penting dari sekadar telah menempuh pendidikan dan mendapat predikat takwa atawa lulus adalah seberapa lama seseorang bisa mempertahankan spirit ketuhanan pada rentan sebelas bulan setelahnya. Dengan kata lain, boleh dikata, keberhasilan sebuah pendidikan tidak diukur saat proses itu berlangsung, tetapi tolok ukurnya adalah capaian-capaian pada masa setelah seseorang menyelesaikan pendidikan. Misal, ternyata Presiden Jokowi lulusan UGM atau pantas Gus Dur tinggi keilmuannya dan diakui banyak kalangan wong mondoknya di mana-mana.

Beda nasib dengan sebagian besar sekolah swasta di lingkup Banyumas saja sebagai misal. Stigma negatif kerap teralamatkan kepada sekolah—di dalamnya ada guru, perserta didik, sarana-prasarana—berdasarkan penilaian yang tidak objektif dan tidak menyeluruh. Menyadari realitas semacam itu, alih-alih ingin membenahi kesalahkaprahan yang laten telanjur masif itu, pemerintah membuat kebijakan sistem Penerimaan Pesera Didik Baru (PPDB) yang menjadi pemicu hiruk-pikuk setiap awal tahun ajaran pada dua-tiga tahun terakhir.
Selalu ada pro dan kontra di level publik adalah sebuah keniscayaan dalam kultur masyarakat demokrasi. Justru, itu menunjukkan semakin kuatnya peran masyarakat sipil.

Di tengah riak penerapan sistem zonasi PPDB awal masuk tahun ajaran 2019—2020, Agus Pribadi—guru sekaligus penulis dari tlatah Banyumas menelurkan sebuah karya teranyarnya berupa novel bertajuk Sihir Sayap Ular. Secara ringakas, novel itu menceritakan persahabatan tokoh Sona, Darsa, dan Yona yang tinggal di sebuah kampung yang digambarkan berjarak dari peradaban modern, kemelaratan dan kebodohan. Konflik muncul dan digerakan dengan kehadiran sosok bidadari. Pada akhirnya, ketiganya meninggal dalam usaha bersatu dengan ideal, Bidadari.
Konon, Sihir Sayap Ular adalah novel perdananya. Sebelumnya, Agus lebih banyak menulis cerpen dan cerkak untuk fiksi dan buku nonfiksi. Buku setelabal 122 halaman itu mengisahkan lima tokoh utama, tiga di antaranya adalah manusia. Dua tokoh utama lain adalah bidadari dan seekor ular. Ditulis dengan gaya bahasa yang lugas dan alur linear, pembaca tak dituntut meluangkan waktu yang terlalu lama untuk menyelesaikan novel hingga kalimat terakhir. Tema dan konflik yang membangun novel memungkinkannya untuk diterima banyak segmen pembaca, berdasarkan usia dan latar belakang pendidikan atau kultur.

Menimbang gagasan utama, sarana cerita, dan fakta cerita, buku novel fiksi garapan Agus Pribadi ini berpotensi masuk ke perpustakaan sekolah, sedikitnya untuk lingkup Banyumas. Hal ini akan menjawab sebuah kenyataan memprihatinkan yang dijumpai juri lomba penulisan cerpen untuk tingkat remaja tingkat Jawa Tengah yang diadakan Balai Bahasa Jawa Tengah tahun 2018 lalu. Juri mengemukakan dalam pertanggung jawabannya bahwa tokoh dan latar yang menjadi unsur pembangun cerita peserta lomba didominasi—untuk tidak mengatak keseluruhan—berkiblat pada budaya populer Barat dan Korea. Novel Sihir Sayap Ular diharapkan akan menjadi preferensi guru dan siswa ketika pembelajaran, misalnya dalam materi teks ulasan atau cerita fantasi untuk materi bahasa Indonesia kelas 7.

Agus Pribadi lebih dari sekadar kampanye omong kosong “gemar membaca”. Dengan menulis, Agus Pribadi telah menunjukkan dirinya adalah seorang pembaca yang baik. Bangsa ini baru boleh bermimpi memiliki generasi emas yang kelak akan menjadi penerima nobel berbagai bidang dengan hari ini memastikan orang tua dan guru adalah juga pembaca yang baik. Lalu, memastikan semua anak bangsa memperoleh akses layanan dasar pendidikan yang bermutu tanpa diskriminasi, di mana pun dan apapun nama sekolahnya. Semoga.

Mufti Wibwo lahir dan berdomisili di Purbalingga.
Share:

VIDEO PEMBELAJARAN

Frequency Counter Pengunjung

Artikel Terbaru

LINK SAYA

Komentar Terbaru

Konsultasi IPA