Cerpen
Agus Pribadi
Sudah
setahun Lambang berjualan bensin eceran dan juga warung kecil-kecilan. Awalnya,
ia hanya membuka warung yang menyediakan bahan kebutuhan sehari-hari. Namun, ia
sering melihat orang menuntun sepeda motor dan menanyakan bensin padanya.
Akhirnya, ia menyediakan bensin eceran meski untungnya tak seberapa.
Gambar Pixabay.com
Lambang
sangat menikmati dalam berjualan meskipun warungnya tidak terlalu ramai pembeli
dan juga pembeli bensinnya tidak pernah antre, hanya sekitar lima sampai
sepuluh botol yang terjual per harinya. Ketika ada orang yang membeli bensin
atau keperluan yang disediakan warung lainnya, hati Lambang akan merasa sangat
senang. Senang bukan karena mendapat keuntungan yang tak seberapa itu, namun
senang karena ada yang membeli dagangannya. Hari-hari dilalui Lambang dengan
telaten untuk melayani pelanggannya. Lambang sangat menikmati dengan
kegiatannya itu. Pernah ada yang menawarinya pekerjaan dengan gaji yang besar
namun dengan halus Lambang menolaknya.
“Lebih
baik aku di sini saja, mengembangkan warung sedikit demi sedikit,” itu jawaban
Lambang pada orang yang mengajaknya bekerja di kota.
Selama
berjualan Lambang menjumpai berbagai karakter manusia. Ada orang yang kehabisan
bensin namun tidak membawa uang, orang itu memberikan telpon genggamnya pada
Lambang sebagai jaminan. Ada juga orang yang mengatakan akan membeli bensin
namun ternyata berhutang. Lambang tahu orang itu berhutang setelah menuang
bensin ke dalam tangki motor, orang itu baru mengatakannya. Dan, setelah
ditunggu-tunggu orang itu tidak pernah datang lagi. Yang paling membuat Lambang
merasa dongkol hatinya adalah ketika ada yang mengambil dua botol bensinnya
tanpa membayar. Lambang mondar-mandir di depan warungnya memikirkan bensinnya
yang hilang dua botol itu. Dalam hatinya sangat heran kenapa ada yang tega
mengambil dua botol tanpa membayar.
Warung
Lambang juga menyediakan pula all
operator. Meski pembelinya tidak banyak namun Lambang juga merasa menikmatinya
sama dengan melayani orang membeli obat nyamuk, gula pasir atau kebutuhan
lainnya. Yang membuat Lambang bimbang adalah ketika ada tetangga yang berhutang
di warungnya. Mau tidak boleh tapi tidak enak. Mau boleh tapi nanti saatnya
mencari barang-barang untuk dijual lagi bingung sendiri. Namun Lambang
seringkali membolehkan tetangga untuk berhutang.
“Biarlah
saling membantu sesama hidup,” demikian jawaban Lambang dalam menjawab
pertanyaan tentang bagaimana sikapnya pada orang yang berhutang.
Kalau
ada yang membeli di warungnya seringkali pembeli itu memberi saran dan masukan
pada Lambang.
“Kalau
warung ini menyediakan kebutuhan sehari-hari dalam jumlah yang lebih banyak
lagi, tentu akan membuat warung Lambang akan semakin ramai oleh pengunjung,”
ucap seorang pembeli yang sedang berada di warung Lambang. Mendengar saran itu
biasanya Lambang akan tersenyum dan mengiyakan. Namun dalam hati Lambang
memaklumi diri sendiri kenapa dagangannya tidak lengkap, masalahnya hanya pada
keuangan untuk modal agar warungnya lengkap. Lambang belum memiliki penghasilan
tambahan untuk menambah modal.
Tantangan
lain yang dihadapi Lambang adalah banyaknya tukang kredit harian yang
menawarkan modal padanya. Namun dengan halus Lambang menolaknya. Lambang tak
mau terjerat hutang yang menumpuk. Lebih baik warung kecil tapi tak punya
hutang dari pada warung besar namun hidup seperti dikejar-kejar hutang.
Tantangan lainnya adalah banyaknya sales yang menawarkan dagangannya untuk
dijual di warung Lambang. Seringkali Lambang tak enak untuk menolaknya sehingga
terkadang ia membeli barang yang tidak laku terjual.
Tantangan
lain datang dari keluarganya yang sebenarnya tidak setuju kalau lambang membuka
warung di depan rumah. bukan karena warungnya di depan rumah yang membuat
keluarganya tidak setuju, melainkan lambang seorang sarjana yang kalau mau ia
bisa saja bekerja dengan gaji yang lumayan besar.
“Untuk
apa kau sekolah tinggi-tinggi kalau hanya untuk berjualan bensin eceran. Untuk
apa kau sekolah tinggi-tinggi kalau hanya untuk berjualan pulsa kecil-kecilan.
Untuk apa dulu kau kuliah kalau setelah jadi sarjana kau hanya menjadi penjual
warung kecil-kecilan. Kalau tahu akan seperti ini dulu aku tidak mau membiayai
kuliahmu!” Hampir setiap malam ayah menyampaikan hal itu sampai Lambang hapal
di luar kepala. Jika mendengar ayahnya mulai menyampaikan perihal ketidak
sukaannya kalau ia membuka warung, maka Lambang akan membenamkan wajahnya di
bawah bantal. Lambang sudah tahu apa yang dibicarakan ayahnya karena hampir
setiap malam diulang seperti pita kaset yang diputar berulang-ulang. Mendengar
seperti itu Lambang hanya mencoba tersenyum. Lambang sudah tidak kaget lagi
kalau ayahnya menjadi penentang akan usahanya itu.
Lambat
laun warung Lambang semakin besar dan semakin ramai pembeli. Namun lambang
tidak berniat untuk memperbesar warungnya menjadi sebuah toko yang megah.
Lambang hanya bermimpi bisa membuka warung-warung sederhana di beberapa tempat.
Ia bermimpi untuk bisa memberdayakan keluarga dan lingkungan terdekatnya.[]
Banyumas, 18
Maret 2016
0 komentar:
Posting Komentar