Cerpen
Agus Pribadi
Sejak
masih kuliah aku sudah memiliki telfon genggam. Dulu aku gunakan untuk mengirim
dan menerima pesan singkat, juga berkomunikasi dengan suara.
Gambar Pixabay.com
Masih
ingat dulu pernah menggunakan kartu perdana luar wilayah sehingga menerima
panggilan pun harus membayar. Atau ketika ayah menggunakan alat komunikasi itu
dengan cara yang salah sekaligus lucu, yakni saat berkomunikasi tidak
meletakkan telfon genggam di telinga melainkan di dada, atau secara bergantian
di mulut dan telinga. Sejak pertama memiliki telfon genggam, alat itu langsung
akrab denganku. Kemanapun aku membawanya, saat tidur aku letakkan di atas
kasur. Saat ke kamar mandi aku letakkan di lubang angin yang ada di kamar
mandi. Jika sedang tidak memiliki pulsa, waktu yang terlewati terasa hampa.
Saking seringnya berurusan dengn telfon genggam dan pulsa maka aku sempat
berjualan pulsa. Bukan konter yang mewah, namun sekadar warung pulsa dengan
modal kecil-kecilan. Keuntungan seribu dua ribu rupiah aku telateni, meskipun
penggunaan pulsa terkadang kurang terkendali. Apalagi waktu itu aku masih
bujangan. Terkadang menelfon seseorang sampai berjam-jam. Seringkali dalam
menelfon memilih waktu tengah malam karena di jam-jam itu sedang ada bonus
nelfon gratis. Atau juga menelfon beberapa detik lantas diputus kemudian
diulang lagi dan diulang lagi agar tidak
terkena biaya pulsa. Atau dalam mengirim pesan singkat dengan cara menulis pesan
tanpa ada spasi sekaligus dengan kata yang disingkat, antar kata dibedakan
dengan huruf kecil dan huruf besar. Jika sedang tidak punya pulsa, alat itu pun
bisa digunakan untuk menikmati permainan. Permainan yang paling aku suka adalah
ular yang memakan sesuatu agar bertambah panjang. Waktu itu terasa senang
sekali berdekatan dengan alat komunikasiku itu.
Waktu
itu tidak hanya aku yang lengket dengan telfon genggam. Orang-orang pun ke
mana-mana membawa telfon genggam. Pengendara motor pun ada yang nelfon sambil
mengemudi sepeda motor. Waktu itu kalau nada dering telfon genggam berbunyi
yang aneh atau unik akan membuat kagum orang yang mendengarnya.
“Itu
Pak Anu telfon genggamnya berbunyi suara ayam jago yang sedang berkokok,” kata
kawanku.
Sementara
itu para operator seluler berlomba-lomba menarik pelanggan dengan iklan-klan
yang menarik. Sampai-sampai ada yang bertanya padaku saat aku masih berjualan
pulsa.
“Pulsa
yang paling murah itu apa?”
“Yang
paling murah ya ketemuan langsung, dijamin bisa ngobrol sepuasnya tanpa harus
membayar pulsa,” jawabku dengan nada bercanda. Orang yang bertanya itu
tersenyum sambil manggut-manggut.
***
Saat
ini ketika aku sudah menikah dan memiliki dua anak balita, aku tetap lengket
dengan telfon genggam. Hanya saja sekarang aku sudah jarang menelfon, kecuali
jika sangat penting. Aku lebih sering menggunakan pesan singkat. Istriku pun
tak terlalu suka menggunakan telfon genggam. Saat keluar rumah, ia sering
meninggalkan alat komunikasi itu di dalam rumah. Namun dengan menjamurnya media
sosial membuat daya tarik telfon genggam kebali melekat denganku. Setiap detik
hampir tak ingin kulewatkan untuk melihat status yang ada media sosial itu.
Sekarang
media sosial tidak hanya digunakan untuk komunikasi informal saja, melainkan
juga dimanfaatkan untuk dunia kerja. Memang memudahkan komunikasi namun belum
semua orang menggunakan media itu. saat ini pemandangan orang sedang
menggunakan telfon genggam dengan berbagai fasilitas tambahannya terlihat di
mana-mana. Bahkan orang yang sedang bercakap-cakap pun seringkali juga berbarengan
dengan tangannya mempermainkan tombol-tombol alat komunikasi itu, sementara
matanya juga tertuju pada layar telfon genggam. Seolah-olah tak ada waktu
berlalu tanpa memegang telfon genggam. Seperti juga aku yang selalu berdekatan
dengan alat komunikasi itu. aku kerja di tempat yang cukup jauh dari rumahku.
Berangkat pagi pulang sore. Ketika berangkat terkadang anak masih tidur, ketika
pulang sudah sore hari. Sebentar saja sudah malam dan anak kembali tidur.
Demikian setiap hari, kecuali saat libur bisa berkumpul dengan keluarga
sepanjang hari. Namun ketika aku renungi ternyata saat bersama mereka pun aku
tetap masih lengket dengan telfon genggam. Saat menunggui anak keduaku yang
belum genap setahun, aku gunakan juga untuk memainkan tombol-tombol yang ada di
telfon genggam. Aku memang menunggui anakku yang sedang tidur saat istriku
pergi ke warung, namun aku tetap menengok media sosial, menulis atau membaca
status baru. Aku kadang bertanya dalam hati lebih dekat mana aku dengan anakku
atau aku dengan telfon genggam?
Suatu
hari aku bertekad untuk tidak menggunakan telfon genggam terlalu sering. Aku
jarang mengisi pulsa banyak. Aku jarang menelfon dan mengirim pesan singkat.
Aku juga jarang membuka media sosial lagi. Aku merasa lebih tenang dan lebih
bebas tanpa telfon genggam meski terkadang ada perasaan menggebu ingin menulis
dan membaca status di media sosial.
Sudah
lebih dari seminggu aku merasa terbebas dari ketergantungan menggunakan telfon
genggam. Namun pengumuman atasanku di kantor membuatku kaget. Atasanku
mewajibkan untuk bawahannya menggunakan media sosial untuk komunikasi masalah
pekerjaan. Grup media sosial sudah dibuatnya dengan tujuan untuk komunikasi
masalah kantor. Aku kembali tenggelam dengan telfon genggam.[]
Banyumas, 4
Maret 2016
0 komentar:
Posting Komentar