BELAJAR SEPANJANG HAYAT


Catatan Harian Seorang Guru IPA







Selamat berkunjung di blog kami, semoga bermanfaat

Sabtu, 12 November 2016

Telfon Genggam


Cerpen Agus Pribadi

Sejak masih kuliah aku sudah memiliki telfon genggam. Dulu aku gunakan untuk mengirim dan menerima pesan singkat, juga berkomunikasi dengan suara.
Gambar Pixabay.com
Masih ingat dulu pernah menggunakan kartu perdana luar wilayah sehingga menerima panggilan pun harus membayar. Atau ketika ayah menggunakan alat komunikasi itu dengan cara yang salah sekaligus lucu, yakni saat berkomunikasi tidak meletakkan telfon genggam di telinga melainkan di dada, atau secara bergantian di mulut dan telinga. Sejak pertama memiliki telfon genggam, alat itu langsung akrab denganku. Kemanapun aku membawanya, saat tidur aku letakkan di atas kasur. Saat ke kamar mandi aku letakkan di lubang angin yang ada di kamar mandi. Jika sedang tidak memiliki pulsa, waktu yang terlewati terasa hampa. Saking seringnya berurusan dengn telfon genggam dan pulsa maka aku sempat berjualan pulsa. Bukan konter yang mewah, namun sekadar warung pulsa dengan modal kecil-kecilan. Keuntungan seribu dua ribu rupiah aku telateni, meskipun penggunaan pulsa terkadang kurang terkendali. Apalagi waktu itu aku masih bujangan. Terkadang menelfon seseorang sampai berjam-jam. Seringkali dalam menelfon memilih waktu tengah malam karena di jam-jam itu sedang ada bonus nelfon gratis. Atau juga menelfon beberapa detik lantas diputus kemudian diulang lagi dan diulang  lagi agar tidak terkena biaya pulsa. Atau dalam mengirim pesan singkat dengan cara menulis pesan tanpa ada spasi sekaligus dengan kata yang disingkat, antar kata dibedakan dengan huruf kecil dan huruf besar. Jika sedang tidak punya pulsa, alat itu pun bisa digunakan untuk menikmati permainan. Permainan yang paling aku suka adalah ular yang memakan sesuatu agar bertambah panjang. Waktu itu terasa senang sekali berdekatan dengan alat komunikasiku itu.
Waktu itu tidak hanya aku yang lengket dengan telfon genggam. Orang-orang pun ke mana-mana membawa telfon genggam. Pengendara motor pun ada yang nelfon sambil mengemudi sepeda motor. Waktu itu kalau nada dering telfon genggam berbunyi yang aneh atau unik akan membuat kagum orang yang mendengarnya.
“Itu Pak Anu telfon genggamnya berbunyi suara ayam jago yang sedang berkokok,” kata kawanku.
Sementara itu para operator seluler berlomba-lomba menarik pelanggan dengan iklan-klan yang menarik. Sampai-sampai ada yang bertanya padaku saat aku masih berjualan pulsa.
“Pulsa yang paling murah itu apa?”
“Yang paling murah ya ketemuan langsung, dijamin bisa ngobrol sepuasnya tanpa harus membayar pulsa,” jawabku dengan nada bercanda. Orang yang bertanya itu tersenyum sambil manggut-manggut.
***
Saat ini ketika aku sudah menikah dan memiliki dua anak balita, aku tetap lengket dengan telfon genggam. Hanya saja sekarang aku sudah jarang menelfon, kecuali jika sangat penting. Aku lebih sering menggunakan pesan singkat. Istriku pun tak terlalu suka menggunakan telfon genggam. Saat keluar rumah, ia sering meninggalkan alat komunikasi itu di dalam rumah. Namun dengan menjamurnya media sosial membuat daya tarik telfon genggam kebali melekat denganku. Setiap detik hampir tak ingin kulewatkan untuk melihat status yang ada media sosial itu.
Sekarang media sosial tidak hanya digunakan untuk komunikasi informal saja, melainkan juga dimanfaatkan untuk dunia kerja. Memang memudahkan komunikasi namun belum semua orang menggunakan media itu. saat ini pemandangan orang sedang menggunakan telfon genggam dengan berbagai fasilitas tambahannya terlihat di mana-mana. Bahkan orang yang sedang bercakap-cakap pun seringkali juga berbarengan dengan tangannya mempermainkan tombol-tombol alat komunikasi itu, sementara matanya juga tertuju pada layar telfon genggam. Seolah-olah tak ada waktu berlalu tanpa memegang telfon genggam. Seperti juga aku yang selalu berdekatan dengan alat komunikasi itu. aku kerja di tempat yang cukup jauh dari rumahku. Berangkat pagi pulang sore. Ketika berangkat terkadang anak masih tidur, ketika pulang sudah sore hari. Sebentar saja sudah malam dan anak kembali tidur. Demikian setiap hari, kecuali saat libur bisa berkumpul dengan keluarga sepanjang hari. Namun ketika aku renungi ternyata saat bersama mereka pun aku tetap masih lengket dengan telfon genggam. Saat menunggui anak keduaku yang belum genap setahun, aku gunakan juga untuk memainkan tombol-tombol yang ada di telfon genggam. Aku memang menunggui anakku yang sedang tidur saat istriku pergi ke warung, namun aku tetap menengok media sosial, menulis atau membaca status baru. Aku kadang bertanya dalam hati lebih dekat mana aku dengan anakku atau aku dengan telfon genggam?
Suatu hari aku bertekad untuk tidak menggunakan telfon genggam terlalu sering. Aku jarang mengisi pulsa banyak. Aku jarang menelfon dan mengirim pesan singkat. Aku juga jarang membuka media sosial lagi. Aku merasa lebih tenang dan lebih bebas tanpa telfon genggam meski terkadang ada perasaan menggebu ingin menulis dan membaca status di media sosial.
Sudah lebih dari seminggu aku merasa terbebas dari ketergantungan menggunakan telfon genggam. Namun pengumuman atasanku di kantor membuatku kaget. Atasanku mewajibkan untuk bawahannya menggunakan media sosial untuk komunikasi masalah pekerjaan. Grup media sosial sudah dibuatnya dengan tujuan untuk komunikasi masalah kantor. Aku kembali tenggelam dengan telfon genggam.[]
Banyumas, 4 Maret 2016

Share:

0 komentar:

VIDEO PEMBELAJARAN

Arsip

Frequency Counter Pengunjung

Artikel Terbaru

LINK SAYA

Komentar Terbaru

Konsultasi IPA