Judul di atas bukan mencari sensasi atau asal beda. Namun ada hal yang
mungkin perlu diungkapkan dalam menulis fiksi (khususnya cerpen) yang
akan semakin membuka wawasan dalam fiksi. Karya fiksi (cerpen) merupakan
cerita rekaan. Karena rekaan, maka berbeda dengan cerita nyata. Jika
fiksi menceritakan cerita nyata yang sama persis dengan kejadian
sehari-hari, maka dimana daya tariknya? Apa bedanya fiksi dan nonfiksi?
Nah dari sinilah tulisan ini saya tulis. Karena fiksi itu, maka
ceritanya harus nyeleneh, beda, kebalikan, kontroversi, tragis, dan
sebagainya dan sebagainya. Hal-hal itu harus berbeda dengan kejadian
nyata. Sebagai ilustrasi misalnya ada kejadian kapal tenggelam dimana
penumpangnya berebut menyelamatkan diri. Jika itu dibuat cerpen apa
adanya, maka tak akan ada daya tariknya, malah bisa disangka hanya
sebuah berita. Makanya perlu diberi bumbu-bumbu, misalnya percintaan,
kesetiaan, pengkhianatan dan sebagainya. Penulis fiksi (pengarang)
membutuhkan ide-ide segar yang berbeda dari karya-karya sebelumnya. Coba
bayangkan jika pengarang menulis dengan cara yang sama, tema yang
sama, dari itu ke itu. Wah pembaca bisa jadi akan bosan dan emoh
membaca lagi karya fiksi yang dibuatnya. Jadi kuncinya, dalam fiksi
perlu selalu ada perubahan (pembaruan). Seperti sebuah pernyataan yang
sudah sangat terkenal : tak ada yang abadi, selain perubahan itu
sendiri.
Ada banyak aturan menulis fiksi, yang sebaiknya dilangar, diantaranya :
1. Show don’t tell
Aturan ini memang tidak salah. Saya juga sangat setuju. Namun sesekali
boleh saja dilanggar dengan melakukan tell don’t show. Tak dapat
dibayangkan jika segala sesuatu harus dilukiskan sedetail-detailnya.
Sebuah cerpen akan menjadi seperti sebuah novel karena saking
mendetailnya dalam menguraikan sebuah kata sifat. Misalnya : gadis itu
cantik. Nah jika menaati aturan di atas, maka kata cantik itu harus
dilukiskan dengan kata-kata, misalnya : gadis itu matanya besar seperti
mata Elang, bibirnya merah alami, ada lesung pipit di pipinya.
Rambutnya panjang terurai. Orang yang bertemu muka dengannya akan
menjadi seperti terpanah hatinya, dan seterusnya. Nah, tidak semua kata
sifat itu perlu dijelaskan. Namun, disesuaikan dengan kebutuhan,
adakalanya cukup menuliskan kalimat yang singkat dan lugas untuk maksud
tertentu. Hal ini seperti yang juga disampaikan oleh A.S. Laksana.
2. Menulislah yang baik
Nah, aturan ini yang boleh jadi membuat orang awam yang akan menulis
fiksi mengurungkan niatnya karena takut tulisannya buruk. Padahal A.S.
laksana menyarankan menulislah yang buruk. Setelah jadi sebuah tulisan
fiksi, barulah diedit agar menjadi baik. Menulis dan mengedit merupakan
dua pekerjaan yang sebaiknya ditulis terpisah. Jika dilakukan
bergantian dalam satu waktu, boleh jadi tulisannya tidak pernah akan
selesai kecuali bagi mereka yang sudah mahir. Maka mulailah menulis
yang buruk, teruslah menulis tak perlu memikirkan hasilnya, jika telah
selesai maka itu sebuah karya yang telah tercipta. Lebih baik sudah
berkarya tapi buruk, daripada berangan-angan berkarya yang baik.
setelah tulisan yang buruk dibaca kembali, baru kemudian diedit agar
menjadi bagus.
3. Menulislah yang logis dan dapat dipercaya
Coba bayangkan jika setiap pengarang mematuhi aturan ini. Maka akan
tercipta karya fiksi yang boleh jadi sejenis atau serupa. Dan karya
fiksi yang dihasilkan pun boleh jadi akan mirip dengan kejadian
sehari-hari yang sering dilihat, didengar, dan dirasa. Nyaris tak ada
yang istimewa. Membaca fiksi boleh jadi menjadi sebuah kegiatan yang
menjemukan karena hanya itu-itu saja karya yang dihasilkan. Cerita yang
logis, cerita yang bisa dipercaya, cerita yang bisa diterima pembaca.
Karena itu menulislah yang tidak logis sekalipun. Menulislah yang belum
pernah ditulis oleh penulis lain, maka ini juga sesuai dengan hukum
kreativitas dan kebaruan. Dan jika membaca cerpen-cerpen yang ada di
koran, ada kalanya saya menemukan sebuah cerpen yang kurang logis, tapi
nyatanya dimuat. Misalnya tentang sarjana yang pinter tapi tak mampu
mendapat pekerjaan yang layak, ia hanya menjadi tukang parkir yang
kesulitan mencukupi kebutuhan ekonomi keluarga. Nah bukankah sang
sarjana bisa menjadi pembimbing skripsi yang komersil? Kurang logis
bukan? Tapi nyatanya redaksi media menyukainya karena itu dimuat.
4. Menulislah yang panjang
Saya sering mendengar bahwa menulis cerpen terkesan harus panjang.
Seakan kalau tidak panjang tidak bagus. Nyatanya tak sedikit cerpen di
koran yang hanya terdiri dari lima ribu sampai tujuh ribu karakter,
dari umumnya sekitar sepuluh ribu karakter. Asalkan ceritanya bagus,
unik, baru, walaupun pendek, cerpen itu bisa dilirik redaksi koran dan
dimuat.
5. Patuhilah tips saya ini
Nah, jika memang aturan kelima dari saya ini tidak harus dipatuhi, ya
memang itu yang sebaiknya dilakukan juga. Menulis fiksi tidak harus
sama, berbeda pendapat pun sah-sah saja, asalkan dalam koridor saling
belajar, bukan mencari benarnya sendiri dan antipati dengan pendapat
orang lain. Jika menurut kita sesuai, silahkan ambil. Jika menurut kita
kurang sesuai, tidak harus dilakukan.
Jika tips di atas dituliskan berkebalikan, maka akan menjadi tips
menulis yang mungkin jarang dihadirkan, sebagai berikut :
1. Tell don’t show
2. Menulislah yang buruk
3. Menulislah yang tidak logis dan tak bisa dipercaya
4. Menulislah (cerpen) yang pendek
5. Langgarlah tips saya ini
Salam kreatif dan salam Kompasiana!
Banyumas, 28 Oktober 2012
(Diposting di Kompasiana, 28 Oktober 2012)