Oleh Agus Pribadi
Aku pulang, Emak...
Berjam-jam perjalanan
yang kutempuh dengan sepeda motor bersama suami dan anak. Aku bawakan seikat
petai kesukaanmu, dan seiris tongkol klangenanmu. Nanti kita makan bersama,
nasi hangat, sambal, tongkol goreng, dan petai bakar. Kita bakal meraung
bersama. Kepedasan.
Aku pulang, Emak...
“Ning, pulanglah, Emak
kangen sama kamu!” itu telfon dari Yu Bidah. Aku bergegas, mengajak suami, dan
anak. Jam tiga sore, naik sepeda motor, berangkatlah kami.
Aku pulang, Emak...
Aku ingin curhat padamu
nanti. Anakku sudah masuk SD. Suamiku sudah naik pangkat sekarang. Tentunya
gajinya juga naik. Aku ingin membelikan Emak giwang dan kalung.
Aku pulang, Emak...
Maafkan kami tak bisa
buru-buru di jalan. Kami sering istirahat di pom bensin. Mandi, pipis, melepas
penat, dan lain-lain. Pantatku panas sekali, Mak...Duduk di jok dalam waktu
lama.
Aku pulang, Emak...
Alhamdulillah, jam 12
malam aku sampai ke rumahmu, Emak. Ramai sekali, banyak orang berkumpul. Banyak
kursi-kursi. Ada apa, Emak?
Aku pulang, Emak...
Yu Bidah menyambutku
dengan airmata tertumpah. Ada apa, Emak? Mana Emak? Lho kok sepi?
“Emakmu sudah
meninggal, Ning...,” suara Yu Bidah lemah.
“Tak mungkin, Yu...,”
aku menuju kamar Emak. Tak ada Emak di sana.
“Kamu di mana Emak?”
“Emakmu sudah
meninggal, tadi jam tiga sore Ning. Sudah dikuburkan dua jam kemudian. Kamu
yang tabah ya Ning...Tuhan sayang Emakmu. Tuhan tak ingin Emakmu terus
menderita karena sakit. ”
Seikat petai aku buang.
Aku menuju kamar emak. Diikuti anak dan suamiku. Aku meraung.
“Aku pulang, Emak...”[]
0 komentar:
Posting Komentar