BELAJAR SEPANJANG HAYAT


Catatan Harian Seorang Guru IPA







Selamat berkunjung di blog kami, semoga bermanfaat

Sabtu, 24 November 2018

Dari Prasasti Sukabumi ke Antologi Doresani

Dari Prasasti Sukabumi ke Antologi Doresani

Oleh Jefrianto

Tata Gelar Kesusastraan Jawa
Pada tahun 1916, sebuah batu tulis ditemukan di Kediri. Lebih tepatnya pada sebuah perkebunan kopi di daerah Sukabumi, Pare. Batu bertulis tersebut kemudian dialih-aksarakan oleh seorang ahli purbakala bernama Stein Callenfels. Alih-aksara tersebut lalu diterbitkan dengan judul De Inscriptie van Soekaboemi (Inskripsi Sukabumi). Belakangan, ia lebih dikenal sebagai Prasasti Sukabumi alias Prasasti Harinjing.
Lalu, apa yang istimewa dari Prasasti Sukabumi?
Ia terasa istimewa, sebab oleh para peneliti purbakala dikukuhkan sebagai bukti tertua mengenai bahasa Jawa Kuno. Sebuah bahasa yang konon dianggap piranti bahasa paling mula dari masyarakat Jawa. Dan sejak itulah, tarikh 732 Saka yang tertera pada Prasasti Sukabumi, menjadi tanda sayonara bagi masa pra-sejarah di Jawa.
Secara umum, suatu masyarakat pastinya akan melahirkan suatu kebudayaan. Maka dari itu, masyarakat Jawa Kuno pun menghasilkan karya sastra berbhasa Jawa Kuno. Kita mengenalnya sebagai kakawin. Sebuah karya sastra berbahasa Jawa Kuno, berbentuk puisi, yang masih kental dengan metrum sastra India. Kakawin kurang lebih hidup dngan aman dan makmur di Jawa selama 4 abad.
Setelah berlalunya kejayaan kakawin, lahirlah kidung. Karya sastra ini memang terasa lebih membumi sebab ia mulai menggunakan metrum-metrum yang diyakini berasal asli dari Jawa. Dan tahun demi tahun, masyarakat Jawa juga senantiasa berubah. Karya sastra yang lebih membumi lahir kembali dalam bentuk tembang macapat. Format ini bahkan masih sangat digdaya hingga hari ini. Sebab ia dipakai pada karya-karya sastra yang sifatnya “wajib” semacam Wulangreh, Wedhatama, dan Candrarini.
Barangkali perubahan besar pada kesusatraan Jawa dimulai sejak tahun 1832, ketika sebuah Lembaga Bahasa Jawa didirikan di Surakarta. Dari lembaga tersebut, karya sastra Jawa yang tadinya bernafaskan istana sentris, mulai membaur dnegan amsyarakat. Format macapat tidak lagi menjadi format tunggal dalam khazanah kesustraan Jawa.
Sebab, Jawa mulai mengenal karya sastra berciri budaya barat seperti novel dan puisi. Hingga kini, kesusastraan Jawa yang digambar sejak era kakawin itu ternyata juga selalu berubah. Beberapa dasawarsa yang lalu ia memang seolah-olah “hanya” berada di Yogyakarta dan Surakarta. Namun, dalam dasawarsa terakhir ini, ruh Jawa terasa ada di mana-mana. Ia ada di Jawa Banyumasan, Jawa Tegalan, Jawa Banyuwangi, Jawa Surabayan, dan sebagainya.
Ini dibuktikan dengan pemenang Hadiah Sastera Rancage, sebuah anugrah bagi sastra daerah yang digagas oleh Ajip Rosidi sejak tahun 1989, yang tak hanya berasal dari karya sastra berbahasa Jawa baku (dialek Yogyakarta-Surakarta). Pada tahun 2007, Ahmad Tohari membuka dialektika tentang Jawa Raya, dengan memenangkan Hadiah Sastera Rancage untuk karyanya, Ronggeng Dukuh Paruk Banyumasan.
Di situ, tanda tanya tentang Jawa yang heterogen memulai perjalananannya. Dan pertanyaan itu kian mengena manakala Lanang Setiawan memenangkan Hadiah Sastra Rancage untuk jasanya dalam mengembangkan bahasa Tegalan.
Lama-kelamaan, Jawa yang heterogen ternyata bukan sekadar pertanyaan. Ia, telah menjadi sebuah keniscayaan. Di tahun 2017, Mohammad Syaiful dari Banyuwangi kian menambah heterogenitas jagat sastra Jawa melalui karya berbahasa Usingnya, Agul-agul Blambangan, yang memenangkan Hadiah Sastera Rancage.
Dengan ini, kian jelaslah bahwa Jawa masa kini bukanlah Jawa yang terpusat. Seluruh manusia Jawa hari ini bebas berekspresi menggunakan bahasa ibunya sendiri. Ia bebas berkespresi, menuangkan gagasannya dan imajinasinya dalam bentuk karya sastra, tanpa harus menggunakan bahasa Jawa baku.
Jawa yang heterogen, Jawa yang baru. Itulah yang tersaji di hari ini. Maka tidak anehlah ketika di awal tahun 2018, seorang guru IPA bernama Agus Pribadi ikut merayakan “kebebasan” tersebut dengan menerbitkan sebuah antologi cerita cekak (cerkak) bebahasa Banyumasan dengan judul Doresani.
Wana-Carita pada Pagina-pagina Doresani
Doresani merupakan monumen, tetenger pencapaian karya seorang Agus Pribadi. Kisah-kisah dalam Doresani ditulis pada rentang 2013–2017(?). Karya ini seakan menggambarkan perjalanan Agus dalam berolah diri dan berolah rasa menggunakan bahasa ibunya.
Hampir keseluruhan cerita dalam Doresani merupakan cerita mengenai kehidupan rakyat jelata. Ada kisah mengenai guru yang hidupnya pas-pasan, seperti yang digelar dalam cerkak Ban Kempes. Ada pula kisah mengenai kehidupan petani beserta keluguannya seperti yang tergambar melalui cerkak Wedang Teh.
Biarpun tentang rakyat jelata, kisah-kisah dalam Doresani ternyata memiliki nuansa yang mampu membuat pembacanya merenung sejenak. Sebagaimana percakapan antara tokoh Inyong dan istrinya dalam cerkak Lilin:
“Kiye agi ngrasa ayem pisan kayong jaman gemiyen dhong agi urung ana listrik neng umah.”
“Iya ya, Kang. Kahanan kaya kiye malah kayong tenang pisan. Senajan lampune urung murub lan mung nganggo lilin, ningen malah neng ati kayong tenang lan padhang, ora krasa nggrungsang.
(Doresani, hal. 70)
Si tokoh Inyong dalam cuplikan di atas rasanya seperti penggambaran manusia masa kini. Manusia modern yang kerapkali dihantam rindu-dendam terhadap wujud-wujud hidup tradisional. Seakan-akan memang tidak ada ssuatu yang kukuh dalam hidup manusia. Atau dengan meminjam kalimat Goenawan Mohammad: tak ada yang absolut di dunia ini!
Rasa-rasanya, nilai-nilai itu menjadi suatu keunggulan tersendiri antologi Doresani. Sebab hal-hal macam demikian mampu menjadi suatu asupan solilokui bagi pembaca, khususnya mereka yang berbahasa ibu Banyumasan. Nelson Mandela pernah berujarr: Berbicaralah kepada seseorang menggunakan bahasa ibunya. Maka, apa yang kau ucapkan akan masuk ke dalam hatinya.
Selain menyajikan cerita, melalui kumpulan cerkaknya ini, rupa-rupanya Agus Pribadi juga mendedahkan berbagai varian kosakata bahasa Banyumasan terhadap pembaca. Sebagaimana yang telah dibahas di muka, bahwasanya Jawa itu tidak tunggal, Bnayumasan pun demikian. Orang Cilacap, jarang yang mengetahui arti dari kata macam doresani, clebek, ataupun kongang. Apalagi anak-anak berbahasa ibu Banyumasan masa kini. Mereka sudah tidak akarab lagi dengan bahasa-bahasa yang terkesan ndesa macam itu.
Dengan demikian, antologi Doresai secara tidak langsung adalah hadir upaya pemertahanan bahasa ibu di masa kini. Sebab, dewasa ini, bahasa ibu kian tergerus poisisinya oleh bahasa nasional dan internasional.
Biarpun demikian, cerita-cerita yang muncul dalam Doresani ini rasanya masih muncul sebagai purwarupa. Dalam artian bahwa cerita-cerita tersebut sebenarnya masih bisa dikembangkan dan diolah kembali sehingga menjadi sebuah karya sastra yang lebih sublim.
Memang, salah satu kelemahan umum dari karya sastra berbahasa daerah adalah kerapkali ia muncul sebagai sesuatu “uneg-uneg” yang disampaikan menggunakan bahasa ibu. Sangat jarang, sebuah karya sastra sastra berbahasa aerah, utamanya yang berformat cerita, menggunakan teknik & strategi bercerita layaknya cerita pendek berbahasa Indonesia.
Sungguh sangat diharapkan, Agus Pribadi akan terus berkarya dan mendarmabaktikan pengetahuan, pengalaman, dan imajinasinya dalam berolah diri menggunakan bahasa ibunya sendiri. Sehingga pada akhirnya nanti, karya sastra berbahasa Banyumasan yang sublim, yang “meneror” pembaca, akan lahir dari tangannya.
Kecuali itu, secara gramatikal Doresani masih perlu disempurnakan. Karena kerap dalam pembacaaan yang dilakukan, masisih ditemukan berbagai kosakata yang masih “Indonesia” sekali. Namun demikian halnya, hal tersebut bisa diatasi suntingan untuk cetakan buku berikutnya.
Sejatinya, yang tak kalah penting dari Doresani adalah kehadirannya pada hingar bingar bernama semangat nguri-uri budaya. Di saat banyak orang sibuk berkampanye untuk nguri-uri budaya, ternyata seorang Agus Pribadi dengan kalemnya menyodorkan karya sastra berbahasa Banyumasan kepada masyarakat. Tanpa harus berkoar-koar, Agus Pribadi, jelas, melalui Doresani, tampil sebagai kridawan budaya yang mumpuni!
Kehadiran Doresani bisa dianggap sebagai sumbangan penting bagi khazanah kesusastraan Jawa. Ia hadir untuk menambah kesemarakan pada khazanah sastra Jawa. Tentu saja bukan sastra Jawa yang itu-itu saja. Yang kerap kali ditemui dalam bahasa Jawa dialek Yogyakarta-Surakarta.
Sastra Jawa masa kini adalah sastra Jawa yang disokong oleh bahasa ibu pengarangnya. Ia kini tak lagi harus takluk pada bahasa Jawa baku. Belum banyak karya sastra Jawa yang menggunakan bahasa Jawa non dialek Yogyakarta-Surakarta, utamanya yang sudah beruwujud buku.
Sangat diharapkan bahwasanya Antologi Doresani akan mampu memantik bagi para sastrawan di Banyumas yang menulis dalam baahsa ibunya sendiri, untuk kemudian menerbitkan buku. Sebab, seperti kata Suparto Brata, sang begawan sastra Jawa, sastra itu buku. Ia tak hanya untuk kita di masa ini. Ia akan diwariskan kepada anak cucu. Merekalah pelanjut semangat, pelanjut laku-budaya dalam dunia yang semakin kikis batasnya ini.
Esai ini disampikan pada Bedah Buku Doresani karya Agus Pribadi di Universitas Muhammadiyah Purwokerto, April 2018.

Sumber: Medium.com
Share:

Rabu, 07 November 2018

Resensi Buku Unggas-Unggas Bersayap Putih


Merenungi Makna Kehidupan dalam Sebuah Cerita
Oleh Sam Edy Yuswanto*
 
Judul Buku      : Unggas-Unggas Bersayap Putih
Penulis             : Agus Pribadi
Penerbit           : Cipta Media Edukasi
Cetakan           : I, April 2018
Tebal               : vi + 98 halaman
ISBN               : 978-602-5812-12-5

            Banyak cara yang bisa digunakan untuk merenungi makna kehidupan ini. Salah satunya melalui sebuah cerita pendek atau cerpen. Meskipun cerita pendek merupakan karya fiksi, akan tetapi kisah dan tokoh-tokoh di dalamnya kerap terinspirasi oleh kejadian sehari-hari yang ada di lingkungan sekitar kita.
            Agus Pribadi, penulis buku ini misalnya. Biasanya cerpen-cerpen yang ia tulis berdasarkan kejadian sehari-hari yang ia saksikan secara tak sengaja. Misalnya cerpen berjudul “Kendaraan Terbaik”, ia mengaku terinspirasi saat sedang mengendarai sepeda motor menuju tempat kerjanya. “Di atas kendaraan itu, saya menangkap ide cerpen dengan tema kendaraan terbaik yang bagi saya adalah keranda jenazah” papar Agus dalam kata pengantarnya.
            Dalam cerpen tersebut, dikisahkan seorang lelaki yang memiliki cita-cita selalu berubah-ubah seiring bertambahnya usia. Sewaktu kecil, si lelaki ingin menjadi seorang masinis. Alasannya, naik kendaraan panjang dengan banyak penumpang itu menyenangkan. Lalu, saat mulai masuk sekolah, ia bercita-cita ingin memiliki sepeda ontel. Sayangnya, ayah tak memiliki uang cukup untuk membelikannya sepeda ontel.
            Singkat cerita, ketika usianya beranjak dewasa, si lelaki memiliki cita-cita ingin memiliki sepeda motor. Lantas, ketika sudah bisa membeli sepeda motor, ia ingin memiliki mobil. Dan ketika sudah memiliki mobil, ia ingin naik pesawat terbang dalam setiap perjalanannya. Ya, cita-cita si lelaki selalu berubah seiring usia bertambah dan kekayaan yang melingkupi kehidupannya. Sayangnya, ia belum sempat kesampaian naik pesawat terbang karena ajal keburu datang menjemput. Ia baru menyadari semuanya ketika sedang berada di atas keranda jenazah yang tengah ditandu oleh anak cucunya (hal 9-12).
            Cerpen selanjutnya yang terinsiprasi dari kejadian di sekitar penulis berjudul “Sihir Bisa Ular”. Cerpen tersebut terinspirasi dari tetangga penulis yang meninggal dunia karena digigit ular kobra. “Dari kejadian itu, saya imajinasikan dengan hadirnya sosok bidadari pada mimpi-mimpi tokoh yang digigit ular” ungkap Agus Pribadi dalam kata pengantar buku ini.
            Cerpen “Sihir Bisa Ular” bercerita tentang seorang lelaki bernama Sona, seorang pengamen jalanan dan juga berprofesi sebagai penangkap ular untuk dijual. Setiap sore, ia menuju ke area persawahan, lantas memeriksa lubang-lubang yang berada di tepi tegalan atau di pinggir sungai dekat sawah. Saat ia melihat ular menyembul dari lubang tersebut, ia akan berusaha menangkap dengan tangannya, tanpa menggunakan pelindung apa pun (hal 13).
            Karena tanpa pelindung, Sona sering digigit oleh ular-ular hasil tangkapannya. Bahkan, ia secara sengaja membiarkan tangannya digigit ular-ular tersebut. Ia memang mengaku sakit, tapi berusaha tak dirasakannya. Karena rasa sakit itu hanya sebentar dan akan sembuh dengan sendirinya. Biasanya, usai digigit, saat malam hari ia akan bermimpi didatangi bidadari berwajah cantik yang ingin berteman dengannya.
Singkat cerita, suatu ketika Sona mengaduh kesakitan saat digigit seekor ular berkepala gepeng. Tak seperti biasanya, rasa sakit itu tak kunjung sembuh, bahkan semakin hari kondisi tubuh Sona semakin melemah. Anehnya, setiap malam saat tidur, wajah Sona justru terlihat berseri-seri. Ternyata ia tengah bermimpi bertemu bidadari yang ingin dinikahinya (hal 17).
            Masih banyak cerpen-cerpen menarik lainnya dalam buku ini yang selain menghibur juga sarat akan makna kehidupan. Misalnya, cerpen berjudul “Suami Setia” mengisahkan kesetiaan seorang lelaki terhadap istri yang dicintainya, cerpen berjudul “Unggas-Unggas Bersayap Putih” bercerita tentang seorang perempuan yang lalai menjaga anak yang tengah bermain sendirian hingga akhirnya tenggelam di dalam kolam, dan lain sebagainya.
Meskipun di dalam buku ini masih dijumpai beberapa kesalahan penulisan, tapi tak sampai mempengaruhi kisah-kisah menarik yang ditulis oleh pria kelahiran Purbalingga Jawa Tengah, yang saat ini selain berprofesi sebagai penulis, juga sebagai guru SMPN 5 Mrebet Purbalingga.
***
             *Peresensi: Sam Edy Yuswanto, penulis lepas mukim di Kebumen.

( Dimuat di Radar Sampit, 4 November 2018 )


Share:

VIDEO PEMBELAJARAN

Frequency Counter Pengunjung

Artikel Terbaru

LINK SAYA

Komentar Terbaru

Konsultasi IPA