Cerpen
Agus Pribadi
Petang
hari. Saat hujan mulai sedikit reda. Ada orang berambut gondrong, bertubuh
kurus turun dari becak. Orang itu berlari kecil menuju ke rumahku. Dengan
ransel di punggungnya aku nyaris tak mengenalinya. Celana jeans yang
dikenakannya kumal seperti berbulan-bulan tak dicucinya. Kaos oblong yang
melekat ditubuhnya seperti telah lengket beberapa hari yang lalu. Sepatu kets
yang dipakainya sudah sedikit berlubang. Ternyata dia adalah Paklik Abdul yang
baru pulang merantau dari kota.
“Paklik,
apa kabar?” aku menjabat tangan kurusnya. Dulu ia kurus, tapi sekarang lebih
kurus. Setelah berpuluh tahun tak bertemu dengannya. Paklik Abdul hanya
tersenyum, sebuah jawaban yang khas seperti dulu. Tak berubah. Sebuah senyuman
baginya, barangkali bisa mewakili kata “baik”, “ya”, “tidak”, “baru saja”, dan
sebagainya.
Ibuku
menghambur keluar. Menangis sesunggukan demi mendapati adik kandungnya yang
hidup entah bagaimana di kota. Entah jadi gelandangan, entah jadi preman, entah
jadi apa. Paklik Abdul hanya tersenyum, tak ikut menangis seperti ibuku.
“Kabarmu
sehat-sehat saja, kan Dul?” tanya ibuku sambil mengusap air matanya sendiri.
Paklik
Abdul hanya tersenyum. Sebuah jawaban khasnya.
***
Paklik
Abdul tinggal di rumahku. Ia tak punya apa-apa lagi. Rumah telah dijualnya
sebelum merantau. Istri sudah menjadi mantan istri karena perceraian. Anak
semata wayangnya, ikut istrinya.
Paklik
Abdul lebih banyak duduk di dapur rumahku. Rumah peninggalan Eyang yang sudah
tua. Seringkali ia ditemani seekor tokek yang bunyinya memekakkan telinga.
“Tokek...tokek...tokek...!”
Sambil
menikmati rokok hasil lintingannya sendiri, Paklik Abdul betah berlama-lama di
dapur seorang diri. Mungkin sambil menekuri nasibnya yang kini sebatangkara
tanpa anak istri. Merenungi nasib mungkin menghadirkan penyesalan padanya.
Sebuah penyesalan yang terpancar dari redup matanya, saat sesekali aku
menemaninya menyesap kopi di dapur.
***
Suatu
petang, seperti biasa Paklik Abdul duduk seorang diri di dapur. Aku dan ibu
sedang menunaikan salat Magrib.
“Tokek...tokek...tokek...”
Suara
tokek terdengar sangat keras bersumber dari dinding di atas tempat duduk yang
sedang diduduki Paklik Abdul. Aku pernah melihat tokek itu besarnya dua kali
lipat tokek rumah yang biasa ada di rumah-rumah tetangga. Konon harga tokek
sedang sangat mahal. Namun aku belum pernah mencari tahu kebenaran kabar itu.
Dua
orang datang membawa alat penangkap tokek.
“Ada
apa Mas?” Paklik Abdul seperti tak suka dengan kedatangan orang asing itu.
“Aku
mau menangkap tokek itu!” jawab seorang diantara mereka.
“Tidak
boleh!” jawab Paklik Abdul.
“Lho
itu kan bukan milikmu!”
“Siapa
bilang? Setiap yang ada di rumah ini adalah milik Mbakyuku. Milikku juga!”
“Oke.
Aku akan menangkap tokek itu, dan bapak saya kasih uang seratus ribu.”
“Sejuta
pun aku tak mau. Tangkaplah tokek di tempat lain saja. Jangan memaksa, aku
sedang tak ingin punya perkara!”
Dua
orang pemburu tokek meninggalkan rumahku dengan bersungut-sungut. Menggerutu.
Ngomel sendiri. Entah apa yang diucapkannya, barangkali mengutuki Paklik Abdul
yang mencegahnya menangkap tokek besar itu.
***
Mata
Paklik Abdul nyalang. Merah. Mendapati ada ekor tokek yang putus tergeletak di
lantai dapur.
“Ini
pasti perbuatan tukang tangkap tokek itu. Mereka mengambil tokek itu,
barangkali tadi malam mereka beraksi saat aku tidur pulas,” geram Paklik Abdul.
Giginya gemeretak menahan amarah. Tangannya dikepalkan seperti ingin memukul
sesuatu.
Paklik
Abdul seperti semakin merasa kesepian. Tak ada lagi suara nyaring tokek yang
menemaninya menikmati senja hari. Sama-sama menjadi saksi hidup dan kehidupan
yang bergulir mengikuti berjalannya waktu. Barangkali bagi Paklik Abdul
memandangi tokek seperti memandangi dirinya sendiri yang hidup dalam
kesendirian tanpa anak istri. Hal itu yang mungkin membuatnya kehilangan ketika
hanya mendapati ekor tokek yang tergeletak begitu saja di lantai dapur.
Aku
sebenarnya juga sesekali menemani Paklik Abdul. Namun tak banyak cerita yang
keluar dari mulutnya. Hanya banyak tersenyum. Aku jadi sulit untuk berlama-lama
ngobrol bareng dengannya. Terlebih kesibukanku di kampus juga memaksaku untuk
kerap meninggalkan Paklik Abdul seorang diri.
Ibu
selalu membelikan mbako, papir, dan bahan baku melinting rokok lainnya, tatkala
sudah habis dinikmati Paklik Abdul. Paklik Abdul tak membawa banyak uang dari
kota, sehingga keperluan sehari-hari banyak dipenuhi ibu. Sedikit gaji
pensiunan janda ibu bisa untuk membantu keperluan sehari-hari Paklik Abdul.
Dulu
Paklik Abdul seorang pengusaha berbagai keperluan bahan bangunan. Namun hobinya
berjudi membuatnya bangkrut. Tidak hanya itu, istrinya pun minta cerai. Setelah
itu Paklik Abdul merantau ke kota. Entah bekerja apa. Tak ada yang tahu persis.
***
Sehari
setelah ditangkapnya tokek oleh pemburu tokek, Paklik Abdul menghilang.
Meninggalkan rumahku tanpa pamit pada ibu. Entah kapan perginya. Saat malam
pekat. Atau saat pagi buta. Semula ibu mengira Paklik Abdul hanya pergi
sebentar. Namun beberapa minggu lamanya Paklik Abdul tak juga muncul.
Berbagai
cerita dari mulut orang-orang berkembang selepas kepergian Paklik Abdul yang
diam-diam itu. Ada yang mengatakan kalau Paklik Abdul ditangkap polisi karena
kasus pencurian di kota. Ada yang mengatakan Paklik Abdul sengaja bersembunyi
dan melarikan diri dari kejaran polisi karena sebuah kasus pembunuhan di kota.
Cerita hanyalah sebuah cerita. Seperti dengung lebah yang tak jelas
juntrungannya.
***
Suatu
pagi. Ada kabar menggegerkan orang-orang. Terlebih menggegerkanku dan ibuku.
Paklik Abdul ditemukan mengambang di sebuah sungai. Entah bunuh diri. Entah
pembunuhan. Entahlah. []
Banyumas,
24 Januari 2013
0 komentar:
Posting Komentar