BELAJAR SEPANJANG HAYAT


Catatan Harian Seorang Guru IPA







Selamat berkunjung di blog kami, semoga bermanfaat

Sabtu, 12 November 2016

Tokek


Cerpen Agus Pribadi

Petang hari. Saat hujan mulai sedikit reda. Ada orang berambut gondrong, bertubuh kurus turun dari becak. Orang itu berlari kecil menuju ke rumahku. Dengan ransel di punggungnya aku nyaris tak mengenalinya. Celana jeans yang dikenakannya kumal seperti berbulan-bulan tak dicucinya. Kaos oblong yang melekat ditubuhnya seperti telah lengket beberapa hari yang lalu. Sepatu kets yang dipakainya sudah sedikit berlubang. Ternyata dia adalah Paklik Abdul yang baru pulang merantau dari kota.

“Paklik, apa kabar?” aku menjabat tangan kurusnya. Dulu ia kurus, tapi sekarang lebih kurus. Setelah berpuluh tahun tak bertemu dengannya. Paklik Abdul hanya tersenyum, sebuah jawaban yang khas seperti dulu. Tak berubah. Sebuah senyuman baginya, barangkali bisa mewakili kata “baik”, “ya”, “tidak”, “baru saja”, dan sebagainya.
Ibuku menghambur keluar. Menangis sesunggukan demi mendapati adik kandungnya yang hidup entah bagaimana di kota. Entah jadi gelandangan, entah jadi preman, entah jadi apa. Paklik Abdul hanya tersenyum, tak ikut menangis seperti ibuku.
“Kabarmu sehat-sehat saja, kan Dul?” tanya ibuku sambil mengusap air matanya sendiri.
Paklik Abdul hanya tersenyum. Sebuah jawaban khasnya.
***
Paklik Abdul tinggal di rumahku. Ia tak punya apa-apa lagi. Rumah telah dijualnya sebelum merantau. Istri sudah menjadi mantan istri karena perceraian. Anak semata wayangnya, ikut istrinya.
Paklik Abdul lebih banyak duduk di dapur rumahku. Rumah peninggalan Eyang yang sudah tua. Seringkali ia ditemani seekor tokek yang bunyinya memekakkan telinga.
“Tokek...tokek...tokek...!”
Sambil menikmati rokok hasil lintingannya sendiri, Paklik Abdul betah berlama-lama di dapur seorang diri. Mungkin sambil menekuri nasibnya yang kini sebatangkara tanpa anak istri. Merenungi nasib mungkin menghadirkan penyesalan padanya. Sebuah penyesalan yang terpancar dari redup matanya, saat sesekali aku menemaninya menyesap kopi di dapur.
***
Suatu petang, seperti biasa Paklik Abdul duduk seorang diri di dapur. Aku dan ibu sedang menunaikan salat Magrib.
“Tokek...tokek...tokek...”
Suara tokek terdengar sangat keras bersumber dari dinding di atas tempat duduk yang sedang diduduki Paklik Abdul. Aku pernah melihat tokek itu besarnya dua kali lipat tokek rumah yang biasa ada di rumah-rumah tetangga. Konon harga tokek sedang sangat mahal. Namun aku belum pernah mencari tahu kebenaran kabar itu.
Dua orang datang membawa alat penangkap tokek.
“Ada apa Mas?” Paklik Abdul seperti tak suka dengan kedatangan orang asing itu.
“Aku mau menangkap tokek itu!” jawab seorang diantara mereka.
“Tidak boleh!” jawab Paklik Abdul.
“Lho itu kan bukan milikmu!”
“Siapa bilang? Setiap yang ada di rumah ini adalah milik Mbakyuku. Milikku juga!”
“Oke. Aku akan menangkap tokek itu, dan bapak saya kasih uang seratus ribu.”
“Sejuta pun aku tak mau. Tangkaplah tokek di tempat lain saja. Jangan memaksa, aku sedang tak ingin punya perkara!”
Dua orang pemburu tokek meninggalkan rumahku dengan bersungut-sungut. Menggerutu. Ngomel sendiri. Entah apa yang diucapkannya, barangkali mengutuki Paklik Abdul yang mencegahnya menangkap tokek besar itu.
***
Mata Paklik Abdul nyalang. Merah. Mendapati ada ekor tokek yang putus tergeletak di lantai dapur.
“Ini pasti perbuatan tukang tangkap tokek itu. Mereka mengambil tokek itu, barangkali tadi malam mereka beraksi saat aku tidur pulas,” geram Paklik Abdul. Giginya gemeretak menahan amarah. Tangannya dikepalkan seperti ingin memukul sesuatu.
Paklik Abdul seperti semakin merasa kesepian. Tak ada lagi suara nyaring tokek yang menemaninya menikmati senja hari. Sama-sama menjadi saksi hidup dan kehidupan yang bergulir mengikuti berjalannya waktu. Barangkali bagi Paklik Abdul memandangi tokek seperti memandangi dirinya sendiri yang hidup dalam kesendirian tanpa anak istri. Hal itu yang mungkin membuatnya kehilangan ketika hanya mendapati ekor tokek yang tergeletak begitu saja di lantai dapur.
Aku sebenarnya juga sesekali menemani Paklik Abdul. Namun tak banyak cerita yang keluar dari mulutnya. Hanya banyak tersenyum. Aku jadi sulit untuk berlama-lama ngobrol bareng dengannya. Terlebih kesibukanku di kampus juga memaksaku untuk kerap meninggalkan Paklik Abdul seorang diri.
Ibu selalu membelikan mbako, papir, dan bahan baku melinting rokok lainnya, tatkala sudah habis dinikmati Paklik Abdul. Paklik Abdul tak membawa banyak uang dari kota, sehingga keperluan sehari-hari banyak dipenuhi ibu. Sedikit gaji pensiunan janda ibu bisa untuk membantu keperluan sehari-hari Paklik Abdul.
Dulu Paklik Abdul seorang pengusaha berbagai keperluan bahan bangunan. Namun hobinya berjudi membuatnya bangkrut. Tidak hanya itu, istrinya pun minta cerai. Setelah itu Paklik Abdul merantau ke kota. Entah bekerja apa. Tak ada yang tahu persis.
***
Sehari setelah ditangkapnya tokek oleh pemburu tokek, Paklik Abdul menghilang. Meninggalkan rumahku tanpa pamit pada ibu. Entah kapan perginya. Saat malam pekat. Atau saat pagi buta. Semula ibu mengira Paklik Abdul hanya pergi sebentar. Namun beberapa minggu lamanya Paklik Abdul tak juga muncul.
Berbagai cerita dari mulut orang-orang berkembang selepas kepergian Paklik Abdul yang diam-diam itu. Ada yang mengatakan kalau Paklik Abdul ditangkap polisi karena kasus pencurian di kota. Ada yang mengatakan Paklik Abdul sengaja bersembunyi dan melarikan diri dari kejaran polisi karena sebuah kasus pembunuhan di kota. Cerita hanyalah sebuah cerita. Seperti dengung lebah yang tak jelas juntrungannya.
***
Suatu pagi. Ada kabar menggegerkan orang-orang. Terlebih menggegerkanku dan ibuku. Paklik Abdul ditemukan mengambang di sebuah sungai. Entah bunuh diri. Entah pembunuhan. Entahlah. []
Banyumas, 24 Januari 2013

Share:

0 komentar:

VIDEO PEMBELAJARAN

Arsip

Frequency Counter Pengunjung

Artikel Terbaru

LINK SAYA

Komentar Terbaru

Konsultasi IPA