BELAJAR SEPANJANG HAYAT


Catatan Harian Seorang Guru IPA







Selamat berkunjung di blog kami, semoga bermanfaat

Selasa, 25 Desember 2012

Menulis Fiksi Sebaiknya Melanggar Aturan

Judul di atas bukan mencari sensasi atau asal beda. Namun ada hal yang mungkin perlu diungkapkan dalam menulis fiksi (khususnya cerpen) yang akan semakin membuka wawasan dalam fiksi. Karya fiksi (cerpen) merupakan cerita rekaan. Karena rekaan, maka berbeda dengan cerita nyata. Jika fiksi menceritakan cerita nyata yang sama persis dengan kejadian sehari-hari, maka dimana daya tariknya? Apa bedanya fiksi dan nonfiksi? Nah dari sinilah tulisan ini saya tulis. Karena fiksi itu, maka ceritanya harus nyeleneh, beda, kebalikan, kontroversi, tragis, dan sebagainya dan sebagainya. Hal-hal itu harus berbeda dengan kejadian nyata. Sebagai ilustrasi misalnya ada kejadian kapal tenggelam dimana penumpangnya berebut menyelamatkan diri. Jika itu dibuat cerpen apa adanya, maka tak akan ada daya tariknya, malah bisa disangka hanya sebuah berita. Makanya perlu diberi bumbu-bumbu, misalnya percintaan, kesetiaan, pengkhianatan dan sebagainya. Penulis fiksi (pengarang) membutuhkan ide-ide segar yang berbeda dari karya-karya sebelumnya. Coba bayangkan jika pengarang menulis dengan cara yang sama, tema yang sama, dari itu ke itu. Wah pembaca bisa jadi akan bosan dan emoh membaca lagi karya fiksi yang dibuatnya. Jadi kuncinya, dalam fiksi perlu selalu ada perubahan (pembaruan). Seperti sebuah pernyataan yang sudah sangat terkenal : tak ada yang abadi, selain perubahan itu sendiri.


Ada banyak aturan menulis fiksi, yang sebaiknya dilangar, diantaranya :
1. Show don’t tell
Aturan ini memang tidak salah. Saya juga sangat setuju. Namun sesekali boleh saja dilanggar dengan melakukan tell don’t show. Tak dapat dibayangkan jika segala sesuatu harus dilukiskan sedetail-detailnya. Sebuah cerpen akan menjadi seperti sebuah novel karena saking mendetailnya dalam menguraikan sebuah kata sifat. Misalnya : gadis itu cantik. Nah jika menaati aturan di atas, maka kata cantik itu harus dilukiskan dengan kata-kata, misalnya : gadis itu matanya besar seperti mata Elang, bibirnya merah alami, ada lesung pipit di pipinya. Rambutnya panjang terurai. Orang yang bertemu muka dengannya akan menjadi seperti terpanah hatinya, dan seterusnya. Nah, tidak semua kata sifat itu perlu dijelaskan. Namun, disesuaikan dengan kebutuhan, adakalanya cukup menuliskan kalimat yang singkat dan lugas untuk maksud tertentu. Hal ini seperti yang juga disampaikan oleh A.S. Laksana.

2. Menulislah yang baik
Nah, aturan ini yang boleh jadi membuat orang awam yang akan menulis fiksi mengurungkan niatnya karena takut tulisannya buruk. Padahal A.S. laksana menyarankan menulislah yang buruk. Setelah jadi sebuah tulisan fiksi, barulah diedit agar menjadi baik. Menulis dan mengedit merupakan dua pekerjaan yang sebaiknya ditulis terpisah. Jika dilakukan bergantian dalam satu waktu, boleh jadi tulisannya tidak pernah akan selesai kecuali bagi mereka yang sudah mahir. Maka mulailah menulis yang buruk, teruslah menulis tak perlu memikirkan hasilnya, jika telah selesai maka itu sebuah karya yang telah tercipta. Lebih baik sudah berkarya tapi buruk, daripada berangan-angan berkarya yang baik. setelah tulisan yang buruk dibaca kembali, baru kemudian diedit agar menjadi bagus.

3. Menulislah yang logis dan dapat dipercaya
Coba bayangkan jika setiap pengarang mematuhi aturan ini. Maka akan tercipta karya fiksi yang boleh jadi sejenis atau serupa. Dan karya fiksi yang dihasilkan pun boleh jadi akan mirip dengan kejadian sehari-hari yang sering dilihat, didengar, dan dirasa. Nyaris tak ada yang istimewa. Membaca fiksi boleh jadi menjadi sebuah kegiatan yang menjemukan karena hanya itu-itu saja karya yang dihasilkan. Cerita yang logis, cerita yang bisa dipercaya, cerita yang bisa diterima pembaca. Karena itu menulislah yang tidak logis sekalipun. Menulislah yang belum pernah ditulis oleh penulis lain, maka ini juga sesuai dengan hukum kreativitas dan kebaruan. Dan jika membaca cerpen-cerpen yang ada di koran, ada kalanya saya menemukan sebuah cerpen yang kurang logis, tapi nyatanya dimuat. Misalnya tentang sarjana yang pinter tapi tak mampu mendapat pekerjaan yang layak, ia hanya menjadi tukang parkir yang kesulitan mencukupi kebutuhan ekonomi keluarga. Nah bukankah sang sarjana bisa menjadi pembimbing skripsi yang komersil? Kurang logis bukan? Tapi nyatanya redaksi media menyukainya karena itu dimuat.

4. Menulislah yang panjang
Saya sering mendengar bahwa menulis cerpen terkesan harus panjang. Seakan kalau tidak panjang tidak bagus. Nyatanya tak sedikit cerpen di koran yang hanya terdiri dari lima ribu sampai tujuh ribu karakter, dari umumnya sekitar sepuluh ribu karakter. Asalkan ceritanya bagus, unik, baru, walaupun pendek, cerpen itu bisa dilirik redaksi koran dan dimuat.

5. Patuhilah tips saya ini
Nah, jika memang aturan kelima dari saya ini tidak harus dipatuhi, ya memang itu yang sebaiknya dilakukan juga. Menulis fiksi tidak harus sama, berbeda pendapat pun sah-sah saja, asalkan dalam koridor saling belajar, bukan mencari benarnya sendiri dan antipati dengan pendapat orang lain. Jika menurut kita sesuai, silahkan ambil. Jika menurut kita kurang sesuai, tidak harus dilakukan.

Jika tips di atas dituliskan berkebalikan, maka akan menjadi tips menulis yang mungkin jarang dihadirkan, sebagai berikut :
1. Tell don’t show
2. Menulislah yang buruk
3. Menulislah yang tidak logis dan tak bisa dipercaya
4. Menulislah (cerpen) yang pendek
5. Langgarlah tips saya ini
Salam kreatif dan salam Kompasiana!
Banyumas, 28 Oktober 2012

(Diposting di Kompasiana, 28 Oktober 2012)
Share:

0 komentar:

VIDEO PEMBELAJARAN

Frequency Counter Pengunjung

Artikel Terbaru

LINK SAYA

Komentar Terbaru

Konsultasi IPA