BELAJAR SEPANJANG HAYAT


Catatan Harian Seorang Guru IPA







Selamat berkunjung di blog kami, semoga bermanfaat

Sabtu, 19 November 2016

Cara Ceck NPA PGRI

Sebagai anggota PGRI tentu kita ingin mencari tahu NPA PGRI kita. Di bawah ini tips sederhanya :
1)      Masuk ke alamat http://anggota.pgri.or.id/keanggotaan.php
2)      Klik lacak NPA dibagian bawah laman web

3)      Isikan NPA Lama/Baru/NIK, maka akan muncul data keanggotaan kita. sebagai contoh:


Demikian tips sederhana mencari keanggotaan Daspen PGRI semoga bermanfaat. [AP]
Share:

Cara Mencari Anggota Daspen PGRI

Sebagai anggota PGRI tentu kita ingin mencari tahu data keanggotaan Daspen kita. Di bawah ini tips sederhanya :
1)      Masuk ke alamat http://www.daspenpgrijateng.org/
2)      Isi keterangan kabupaten, kecamatan unit kerja

3)      Lihat data yang tampil di bawah

Demikian tips sederhana mencari keanggotaan Daspen PGRI semoga bermanfaat. [AP]
Share:

Guru dan Ngeblog

Kondisi kekinian, ternyata guru dan aktivitas ngeblog telah menjadi semakin akrab. Tentunya ini menjadi salah satu tanda semakin majunya para guru.


 Gambar 1. Bapak Heru Prayitno selaku panitia lomba blog sedang memberi pengarahan (Minggu, 20 November 2016)
                                            Gambar 2. Peserta lomba blog sedang berlomba
                                         Gambar 3. Penulis sebagai salah satu peserta lomba blog

Hal itu terbukti dengan berkompetisinya puluhan guru untuk ngeblog yang terbaik. Kegiatan tersebut dalam rangka Hari Guru Nasional Tahun 2016 dan HUT PGRI Ke-71 Tahun 2016 Tingkat Kabupaten Purbalingga.
Menurut panitia Lomba, Bapak Heru Prayitno, lomba ini dimaksudkan untuk membentuk komunitas blogger guru Purbalingga ke depannya
Lomba ngeblog para guru di Kabupaten Purbalingga itu di gelar di SMP Negeri 4 Purbalingga pada Minggu, 20 November 2016. Lomba tersebut dilaksanakan selama 3 jam mulai pukul 09.00. lomba kali ini kurang banyak diikuti peserta, untuk tahun-tahun ke depan semoga bisa bertambah banyak untuk jumlah peserta yang mengikuti lomba sejenis
Adapun peserta lomba tersebut adalah :
NO
Nama Guru
Asal Sekolah
1
Musriah, S.Pd. SD
SD 1 Brecek
2
Juminto, S.Pd.SD
SD Negeri Galor 2
3
Wildan Rahmatullah, S.Pd.SD
SD Negeri 1 Bumisari
4
Arif Prayitno, S.Pd.SD
SD Negeri 3 Tlahap Kidul
5
Agung Santosa
SD Negeri 2 Krangean
6
Hadi Siswoyo, S.Pd.SD
SD Negeri 3 Sirau
7
Vivi Enggar Susanti
SD Negeri 1 Nangkasawit



1
Didik Wahyu Utomo, S.Pd.I
SMP Negeri 6 Satap Rembang
2
Agus Pribadi, S.Si
SMPN 5 Mrebet
3
Dwi Hatmoko, M.Pd
SMPN 2 Purbalingga
4
Bagus Suharsono, S.Pd
SMPN 2 Bojongsari
5
Eka Setya Budi, S.Pd
SMPN 2 Purbalingga
6
Aris Budiman, S.Pd, M.Pd
SMPN 4 Mrebet
7
Aris Khaerudin, S.Pd
SMPN 2 Kertanegara
8
Nokman Riyanto, S.Pd
SMPN 2 Bojongsari
9
Sumaryo, S.Pd
SMPN 1 Mrebet
10
Rosi Achmad, S.Pd
SMPN 1 Kalimanah
11
Tri Hartono
SMPN 1 Pengadegan



1
Drs. Ari Handoko
SMK Negeri 1 Bukateja
2
Jeffry Prayitno S.Kom
SMK YPLP Purbalingga

Hidup PGRI!
Jayalah Guru Indonesia!.[AP]
Share:

9 Tips Menulis Ala Ahmad Tohari


Oleh Agus Pribadi

Ahmad Tohari merupakan sosok penulis yang telah cukup lama berkecimpung di dunianya. Banyak karya fiksi berupa novel dan cerpen yang telah dihasilkannya. Penulis yang terkenal dengan Karya Trilogi Ronggeng Dukuh Paruk itu kerap diundang dalam berbagai forum mengenai budaya dan kepenulisan. Penulis yang juga seorang budayawan itu tak segan untuk berbagi mengenai berbagai hal khususnya yang berkait dengan budaya dan kepenulisan. Penulis yang ramah, rendah hati dan egaliter itu terbuka untuk berdiskusi dengan berbagai kalangan. Saya pribadi yang notabene bukan siapa-siapa pernah beberapa kali bersilaturahmi ke rumah beliau. Dan beliau dengan ramah menerima saya dan teman-teman saya.

Setidaknya ada 9 hal yang saya catat, mengenai ciri kepenulisan ala Ahmad Tohari. Diantaranya adalah :
1.        Memilih jalan sepi
Ahmad Tohari  mengatakan penulis itu orang yang memilih jalan sepi. Jalan sepi yang dimaksud di sini adalah jalan yang jauh dari materialisme, atau terlalu mengagungkan materi. Bukan jalan yang mengambil jarak dari masyarakatnya. Bahkan Ahmad Tohari merupakan sosok yang terjun langsung ke lapangan, tidak sekedar mencari referensi di internet dalam menghasilkan karyanya.

2.        Mengangkat kearifan lokal
Tema-tema pedesaan yang sederhana biasa diangkat dalam karya-karya Ahmad Tohari baik cerpen maupun novel. Kepeduliannya pada rakyat kecil menjadi inspirasinya dalam membuat cerita.

3.        Menjaga sikap rendah hati
Sikap dan pandangannya mencerminkan Ahmad Tohari merupakan pengarang yang rendah hati sampai saat ini. Pengarang yang berasal dari Banyumas itu terbuka untuk berdiskusi dengan berbagai kalangan termasuk dari yang awam sastra seperti saya.

4.        Bersedia berproses sampai kapanpun
Menurut penulis cerpen Senyum Karyamin itu, kepengarangan adalah proses yang panjang dan tidak boleh berhenti. Hal itu menyiratkan bahwa pengarang harus selalu belajar sampai kapanpun (belajar sepanjang hayat)

5.        Menanggapi kritik secara positif
Penulis yang juga menulis novel Orang-orang Proyek itu memberi nasehat agar penulis mau menerima kritik dengan positif. Bahkan dari kritik itu dapat dijadikan karya yang spektakuler.

6.        Banyak membaca
Pemimpin redaksi majalah Ancas Banyumas itu memberi nasehat agar penulis banyak membaca, berbagai jenis bacaan. Hal itu untuk memperluas wawasan dan peta dunia kepengarangan.

7.        Menyuarakan pesan dari masyarakat
Peraih Penghargaan Hadiah Sastra ASEAN, 1995 dan Hadiah Sastra Rancage, 2007 itu biasa menulis cerita yang berlatar pedesaan dengan persoalan sederhana sekalipun. Persoalan-persoalan yang menjadi aspirasi dan pesan dari masyarakat kecil.

8.        Menampilkan kesederhanaan hidup
Tidak hanya dalam cerita fiksi yang dibuatnya, kesederhanaan hidup juga ditampilkan dalam kesehariannya. Hal itu mempertegas identitas dan jati dirinya sebagai bagian dari masyarakat yang hidup di daerah pedesaan di Indonesia.

9.        Mengusung semangat kebersamaan (egaliter)
Sikap terbukanya pada berbagai kalangan menunjukkan semangat kebersamaan (egaliter) yang dimiliki sebagai seorang budayawan, baik dalam karya-karyanya, pandangan maupun kesehariannya.
Demikian, 9 tips menulis ala Ahmad Tohari. Semoga bermanfaat.

Share:

Tips Gemar Membaca

 Oleh Agus Pribadi
Dapat dikatakan setiap penulis merupakan pembaca juga. Penulis banyak membaca buku, majalah, koran, dan lainnya. Hal itu dilakukan untuk menambah referensi tulisannya. Penulis juga membaca tulisannya sendiri sebelum diedit dan ditampilkan untuk pembacanya.


Di bawah ini saya sajikan tips sederhana gemar membaca. Bagi yang berkenan menambahkan tipsnya dengan senang hati saya akan membacanya.
1. Mulailah membaca bacaan yang disenangi
Membaca bisa menjadi pekerjaan yang menyiksa diri jika dilakukan dengan terpaksa atau dengan rasa tidak suka. Sebaliknya membaca bisa menjadi sesuatu yang sangat menyenangkan jika apa yang dibacanya merupakan sesuatu yang disukainya. Berdasarkan hal di atas, menumbuhkan gemar membaca dapat dimulai dari bacaan yang disukai. Setelah itu baru merambah ke bacaan lainnya yang diperlukan sesuai tujuan pembacanya.
2. Tanamkan tujuan yang kuat sebelum membaca
Tujuan yang kuat bisa menjadi pemicu seseorang untuk mencari bacaan yang menjadi tujuannya itu. Misalnya seseorang ingin menjadi cerpenis, tentunya bacaannya juga yang berkaitan dengan penulisan fiksi dan cerpen-cerpen karya penulis lain.
3. Sediakan waktu khusus untuk membaca
Menyediakan waktu khusus untuk membaca bisa menjadi pendukung kegiatan membaca. Bagi seorang penulis, selain menyediakan waktu khusus menulis, hendaknya juga menyediakan waktu khusus membaca. Kegiatan membaca perlu juga dikondisikan agar hasilnya bisa lebih maksimal.

Demikian tips sederhana dari saya. Semoga bermanfaat.
Share:

Selasa, 15 November 2016

Cerita Pendek yang Sejati


(Apresiasi Atas Cerpen “Anak ini Mau Mengencingi Jakarta?” karya Ahmad Tohari)
Oleh Agus Pribadi*
Membaca cerpen “Anak ini Mau Mengencingi Jakarta?” karya Ahmad Tohari -yang dimuat Kompas, 13 September 2015- seperti membaca cerita pendek (cerpen) yang sejati. Dalam artian cerpen yang sebenar-benarnya cerpen.
Gambar Pixabay.com
Cerpen ini bercerita tentang kehidupan tiga orang warga penghuni pinggiran rel kereta api di Jakarta dengan segala suka dukanya dalam menikmati sepotong waktu (pagi hari). Digambarkan seorang bapa yang sedang menyuapi mi instan rebus pada anak lelakinya yang berusia lima tahunan, sementara emak si bocah atau entah siapanya sedang tertidur karena barangkali semalam sudah lelah bekerja. Kehidupan wong cilik, kaum papa, atau orang-orang yang terpinggirkan itu barangkali terpotret oleh penumpang, petugas kereta api, dan pramusaji yang sedang membuang bungkusan sisa makanan tepat di dekat ketiga kaum papa tersebut. Hal itu terjadi saat kereta malam dari timur arah Jakarta sedang berhenti. Anak kecil itu sebenarnya tertarik untuk mengambilnya namun ia kalah cepat dengan seekor anjing yang baru saja kencing di tempat itu. Pada akhir cerita si ayah memikirkan ucapannya pada anaknya. Ucapan yang mengatakan anaknya boleh kencing di mana pun di Jakarta asal tidak di dekat punggung emaknya. Dan mereka bertiga pun meninggalkan tempat itu agar tidak menjadi tontonan orang lain.
Ada beberapa alasan yang membuat cerpen tersebut merupakan cerpen yang sejati :
Pertama, cerpen ini mengandung keganjilan atau ironi. Sebagaimana menurut Agus Noor dan Seno Gumira Ajidarma, bahwa sebuah cerpen hendaknya mengandung hal tersebut. Perhatikan petikan cerpen tersebut di bawah ini :
”Nah, dengar ini! Kamu boleh kencing di mana pun seluruh Jakarta; di Menteng, di pinggir Jalan Thamrin, di lapangan belakang Stasiun Gambir, di sepanjang gili-gili Kebayoran Baru, juga boleh kencing di Senayan. Dengar itu?”
Paragraf di atas merupakan kalimat yang diucapkan oleh tokoh bapa kepada anaknya yang berumur lima tahunan, di sampingnya ada emaknya atau entah siapanya yang sedang tertidur. Ketiganya adalah warga yang tinggal di pinggiran rel kereta api di sebuah tempat di Jakarta. Sungguh, sebuah keganjilan sekaligus ironi, ketika seorang anak sambil disuapi mi instan rebus oleh bapanya bercanda ria hingga memunculkan percakapan seperti itu. Seperti pemandangan yang sangat kontras dengan magnet hingar bingar dan gemerlap kemewahan kota Jakarta yang mampu menyihir banyak orang untuk mengadu nasib ke kota itu. Kehidupan dan percakapan wong cilik, kaum papa, orang terpinggirkan begitu merdeka meski jika didengar oleh orang lain barangkali bisa memiliki makna yang beraneka macam tergantung dari siapa yang mendengarnya. Barangkali mereka-para kaum papa itu- tak mau tahu atau benar-benar tak tahu atau tak menyadari setiap ucapan yang keluar dari mulutnya karena bagi mereka yang penting bisa gembira dan merdeka meski hidup jauh dari kata standar minimal.
Kedua, cerpen ini berkisah dalam selang waktu ketika kereta berjalan, berhenti, kemudian akan berjalan lagi. Barangkali hanya sekitar setengah atau satu jam. Dalam waktu yang singkat itu Ahmad Tohari berhasil menarasikan dan mendeskripsikan alur, plot, latar tempat, latar gerak tubuh tokoh hingga menggelitik bahkan merangsang imajinasi pembaca. Barangkali ini hanya bisa dituliskan oleh penulis yang sudah berpengalaman. Sebagaimana Ahmad Tohari sudah berpengalaman menulis cerita pendek sejak tahun 1970an sampai sekarang. Sungguh, sebuah jam terbang yang menunjukkan pengalaman, dedikasi, dan konsistensi yang sudah teruji dan terbukti dalam mendarma baktikan karyanya di bidang prosa. Meski mengandung berbagai variasi penulisan, namun sebagian pendapat mengatakan bahwa sebuah cerpen mengandung sebuah kejadian yang singkat. Dan cerpen ini telah memenuhinya.
Ketiga, Ahmad Tohari tidak sekadar menulis cerita dengan segala imajinasi dan kepiawaian mendongeng, dan menabur diksi. Ibarat mendongeng, Ahmad Tohari tidak sekadar mendongeng hal-hal yang kosong dan mengawang-awang yang boleh jadi akan cepat dilupakan pembacanya. Lebih dari itu, Ahmad Tohari senantiasa membawa pesan-pesan agung dalam setiap cerpen yang ditulisnya termasuk cerpen ini. Perhatikan penggalan cerpen ini :
....Mata anak yang masih sejati itu bergulir-gulir mengikuti gerak ayunan tangan ayahnya yang menjimpit kantung mi istan....
Narasi yang dituliskan Ahmad Tohari mampu menyingkap dunia batin yang paling suci dari tokoh-tokoh rekaannya, termasuk tokoh bocah lima tahunan itu melalui kata-kata “mata anak yang masih sejati.”
Ahmad Tohari merupakan cerpenis yang sangat konsisten dengan visi kepengarangan dunia batin orang-orang kecil, kaum papa, dan kaum yang terpinggirkan. Mengenai dunia batin tokoh-tokoh rekaan Ahmad Tohari juka pernah diulas oleh S Prasetyo Utomo. Ahmad Tohari pun mengaku kurang tertarik menuliskan cerpen tentang dunia yang berkebalikan dengan dunia yang menjadi visi kepangarangannya selama ini. Salam takzim untuk Ahmad Tohari.[]

cerpen tersebut dapat diibaca di sini

Share:

Sabtu, 12 November 2016

Sepeda Motor


Cerpen Agus Pribadi

Satu-satunya kendaraan yang menjadi andalanku saat ini adalah sepeda motor bebek milikku yang kubeli dengan cara mengangsur selama empat tahun. Kendaraan tersebut paling cocok karena tempat kerjaku jauh. Naik angkutan umum bisa terlambat, naik mobil pribadi belum mampu membeli.

Aku lebih memilih motor yang bukan matic karena menurutku memindah-mindah gigi lebih mantap daripada tanpa gigi seperti yang ada pada motor matic.
Selama empat tahun dengan telaten aku mengangsur sepeda motorku setiap bulannya. Uang setengah juta harus kusetor setiap bulan ke dealer motor. Seperti penulis yang telaten menulis buku yang sangat tebal, aku juga harus telaten mengangsur pembayaran kendaraanku agar tidak dicabut oleh dealer karena terlambat mengangsur. Ada seorang tetangga yang motornya dicabut dealer karena terlambat beberapa bulan padahal ia sudah mengangsur selama setahun. Aku tak mau nasib motorku sama seperti tetanggaku itu.
Aku membeli sepeda motorku, tepatnya mengangsurnya bertepatan dengan sebulan sebelum hari pernikahanku. Mungkin bisa dibilang agak nekad, pengeluaran sedang agak banyak untuk persiapan menikah, bersamaan dengan itu harus mengangsur sepeda motor. Ini semata kulakukan karena aku ditempatkan di tempat yang jauh pada pekerjaanku yang baru ini. Jika ditempuh naik sepeda motor, maka butuh waktu 50 menit untuk aku sampai ke tempat kerja. Jika aku naik kendaraan umum pasti setiap hari akan terlambat karena harus beberapa kali naik kendaraan umum.
Seperti seorang yang mengendarai sepeda motor di jalanan umum. Pasti kendaraannya akan mengalami kecepatan yang berbeda beda. Kadang bisa cepat, kadang harus mengerem karena ada yang menyeberang jalan, kadang harus berhenti karena lampu merah. Pun dengan angsuranku setiap bulannya, tidak selalu berjalan mulus terutama di bulan-bulan awal. Kadang terlambat satu atau dua hari, kadang lancar. Jika sedang terlambat, akan ada petugas yang datang menagih. Setelah melewati enam bulan, angsuran sepeda motorku berjalan lancar seperti mobil yang melaju di jalan tol. Sebagai pegawai yang bekerja di tempat yang baru, aku giat bekerja, apalagi aku sudah menikah maka bertambah giatlah aku bekerja untuk menghidupi istri dan anakku kelak. Penghasilanku pun linier dengan semangatku itu. Angsuran sepeda motor tak sebulan pun terlambat aku setorkan ke dealer. Aku pun rajin melakukan servis kendaraan ke bengkel resmi, jika ganti suku cadang pun yang asli.
Panas dan hujan tak aku hiraukan, aku tetap rajin bekerja. Sejalan dengan itu aku tak menyadari, sepeda motor sudah semakin usang. Kendaraan yang pada awalnya baru dan kinclong, sekarang sudah seperti kendaraan yang uzur dan jarang kurawat. Meski angsuran sudah lunas, problem kendaraanku sekarang adalah sudah sulit dipakai, mungkin karena suku cadangnya sudah minta untuk diganti tapi aku belum juga menggantinya. Kalaupun mengganti onderdil yang aus, aku menggantinya bukan dengan yang asli. Ditambah lagi sekarang aku sering mengantuk saat pulang dari tempat kerja. Mungkin karena lelah ditambah melakukan perjalanan jauh di atas sepeda motor terkadang membuat mengantuk.
Mengenai sepeda motor ada yang menyarankan untuk menjualnya dan menggantikan dengan yang baru.
“Dijual saja, nanti beli yang baru biar kau lebih nyaman dalam berkendaraan,” saran teman kantorku. Aku hanya mengiyakan namun dalam hati aku tak tega untuk menjual sepeda motor yang mendapatkannya harus mengangsur selama empat tahun. Suatu malam aku mengamati sepeda motorku yang aku parkir di ruang tamu. Aku mengamati kendaraan yang kotor karena jarang dicuci. Aku melihat kendaraan itu seperti letih, menemaniku selama lebih dari empat tahun pulang pergi dari rumah ke tempat kerja. Aku merasa tak adil dalam memperlakukan kendaraanku. Esoknya aku menuju ke tempat cucian motor untuk dibersihkan. Biarpun sudah dibersihkan motorku tetap tampak sudah uzur jika dibandingkan dengan motor-motor baru keluaran baru. Apalagi saat kujalankan sudah sulit untuk berjalan dengan cepat. Terbersit keinginan untuk menjualnya dan membeli motor baru sebagai penggantinya. Motor yang lebih up to date. Teman-temanku di kantor pun menyarankanku untuk membeli motor yang baru dan menjual motor lama.
“Ayo Bud, beli motor baru yang lebih gaul, nanti kau akan tampak lebih muda lagi, pasti kau akan tampak keren jika memakai motor model terbaru,” ucap temanku di kantor. Aku menanggapi dengan tersenyum saja.
Sambil mengamati cicak-cicak di dinding kamar, aku menimbang-nimbang apakah akan membeli motor baru atau tidak. Seekor cicak di dinding juga sedang bingung mengambil keputusan apakah akan menangkap nyamuk atau meninggalkannya. Sedari tadi cicak itu diam saja melihat seekor nyamuk berada di depannya. Ketika cicak itu akan menangkap nyamuk itu, sepersekian detik sebelumnya nyamuk itu sudah melarikan diri. Cicak itu hanya menangkap angin.
Akhirnya aku mengambil keputusan untuk tidak menjual motor lamaku, dan tidak membeli motor baru. Aku memutuskan akan mengganti onderdil yang perlu diganti agar motorku bisa menjadi lebih baik dan nyaman saat dipakai.[]
Banyumas, 22 Maret 2016


Share:

Swara


Cerpen Agus Pribadi

Aku menyesal kenapa harus menanyakan hal itu kepada muridku. Sebagai wali kelas aku terpaksa menanyakan itu untuk suatu keperluan data sekolah di mana aku bekerja.
“Siapa yang tinggal bersama orang tua kandung?”
“Siapa yang tinggal bukan dengan orang tua kandung?”
Pada pertanyaan kedua itu, ada salah satu muridku yang bernama Swara melinangkan airmata.
Gambar Pixabay.com
“Pak, Swara menangis,” ucap Tekun teman sebangkunya. Awalnya aku tak mengetahui kenapa Swara menangis, baru satu minggu aku menjadi wali kelasnya sehingga aku belum tahu latar belakang keluarganya. Yang aku tahu waktu orientasi siswa baru, Swara yang nama lengkapnya Swara Prakasa itu tampil ke depan menyanyikan sebuah lagi. Suaranya amat merdu membuat teman-teman dan para guru yang mendengarnya terkesima. Saat tampil menyanyi di depan teman-temannya, Swara sangat percaya diri. Dalam bernyanyi, ia penuh penghayatan dan menguasai panggung. Itu sebabnya aku tak percaya ketika melihat Swara melinangkan airmata.
Saat istirahat, aku memanggil Swara ke ruanganku.
“Saya minta maaf jika pertanyaan saya tadi membuatmu bersedih, Swara?”
“Tidak apa-apa, Pak,” Swara kembali melinangkan airmata dan berusaha mengusapnya dengan tangannya.
“Saya boleh tahu kenapa kamu bersedih?”
Dengan perlahan Swara menceritakan tentang keluarganya. Sambil mengusap airmatanya yang terus mengalir, Swara menceritakan bagaimana ia harus berpisah dengan ibu kandung yang sangat disayanginya. Ibunya meninggalkannya ketika ia berusia lima tahun. Ibunya pergi ke kota dan tidak pernah kembali. Saat Swara besar, ia kerap mendengar selentingan orang-orang kalau ibunya menikah lagi dengan orang lain. Sebagai anak lelaki semata wayangnya, Swara merasa kecewa dengan kelakuan ibunya itu. Swara dibesarkan oleh ayahnya sampai saat ini. Ketika malam hari Swara kerap bermimpi melihat ibunya sedang berjalan bersama lelaki lain yang bukan ayahnya. Bahkan dalam mimpinya itu, ibunya menggendong seorang anak balita yang bukan dirinya. Swara memanggil-manggil ibunya, namun ibunya hanya melambaikan tangan dan meninggalkannya.
Ketika bersekolah di SD, Swara terlihat bakatnya dalam bidang tarik suara, sedangkan di bidang akademik prestasi Swara biasa saja. Guru keseniannya dapat menangkap bakat menyanyi yang ada pada Swara. Swara dibimbing dengan tekun oleh gurunya itu berlatih olah vokal. Dan kerja keras keduanya pun mulai membuahkan hasil. Awalnya Swara mengikuti lomba menyanyi tunggal di kecamatan dan meraih juara dua. Dan di tahun-tahun berikutnya ia banyak mengukir prestasi dalam bidang menyanyi baik di tingkat kecamatan, kabupaten, bahkan provinsi. Piala-piala terpajang rapi di lemari rumah. swara sangat ingin memperlihatkannya pada ibu kandungnya, namun ibunya itu tidak juga pulang ke rumah. ketika swara kelas tiga SD, ayahnya menikah lagi dengan seorang perempuan yang sangat menyayangi swara layaknya anak kandungnya. Meskipun demikian Swara tetap terkenang-kenang pada ibu kandungnya.
Aku melihat swara bercerita kepadaku dengan tulus dan murni. Sepertinya tidak ditambah-tambah atau dikurangi. Aku mendengarkannya dengan seksama.
“Kamu yang tegar dan tabah ya. semoga kelak kau dapat bertemu dengan ibumu.” Aku memberinya semangat setelah ia selesai bercerita.
Hari-hari yang berlalu dilalui murid-murid kelasku, kelas 7 F dengan bersemangat, termasuk juga swara. Ketika acara perwalian aku mengisinya dengan motivasi yang aku berikan agar murid-muridku bersemangat dalam belajar dan mengukir prestasi. Seperti sebuah novel yang pernah saya baca yang mengandung ungkapan yang memberi semangat, yakni “man jadda wa jada” dalam novel yang berjudul Negeri 5 Menara” karya Ahmad Fuadi.
“Anak-anak, jika kita bersungguh-sungguh maka akan berhasil,” ucapku memberi suntikan semangat pada mereka. Murid-muridku pun tampak antusias di lihat dari duduknya yang agak condong ke depan.
Ketika ada lomba antar kelas, murid-muridku mempersiapkannya dengan baik, khususnya dalam perlombaan menyanyi secara beregu. Swara tampak aktif memberi masukan pada teman-temannya dalam hal olah suara dan gaya pada saat menyanyi. Dan hasilnya kelas kami menjadi juara satu. Tubuh Swara yang agak kecil diangkat oleh teman-temannya, demikian mereka mengekspresikan kemenangannya.
Ketika kenaikan kelas, Swara tidak mendapatkan ranking, namun banyak prestasi yang dicapainya di bidang menyanyi. Swara menyumbangkan lima piala lomba menyanyi kepada sekolah.
Tahun ajaran baru, swara kembali menjadi bagian dari kelas dimana aku menjadi wali kelasnya, yakni kelas 8C. Belum genap sebulan menjalani kelas barunya Swara sudah beberapa hari tidak masuk tanpa keterangan apapun. Saat aku berkunjung ke rumahnya, hanya neneknya yang menemuiku.
Menurut neneknya, Swara minta di antar ayahnya ke Jakarta untuk menemui ibu kandungnya. Aku pun menyayangkan orangtua swara yang tidak membuat surat ijin untuk anaknya. Seminggu sudah swara tidak masuk tanpa surat ijin. Mungkin swara sudah pindah sekolah di Jakarta.
Hari senin pagi aku terkejut karena swara berangkat kembali ke sekolah. Dan ia menemuiku meminta maaf karena surat ijin yang sudah dibuat ternyata tertinggal di tas teman yang dititipi surat itu. Di Jakarta Swara telah bertemu ibu kandungnya,dan berjanji pada ibunya itu akan terus berprestasi agar menjadi anak kebanggaan orang tua.
Aku bersyukur, swara bisa kembali bersekolah menggapai cita-citanya yang tergantung di langit.[]
Banyumas, 12 Maret 2016

Share:

VIDEO PEMBELAJARAN

Arsip

Frequency Counter Pengunjung

Artikel Terbaru

LINK SAYA

Komentar Terbaru

Konsultasi IPA