Cerpen
Agus Pribadi
Umur
Kang Dirin sekitar empat puluh delapan tahun. Ia memiliki seorang anak lelaki
yang bersekolah kelas delapan SMP. Istrinya bekerja ke luar negeri dan sudah
lama tak kembali. Menurut kabar tak sedap yang berembus, istrinya telah pacaran
lagi dengan lelaki sesama perantau di negeri orang.
Kaya ngenteni bun temetes
(seperti menunggu embun menetes), barangkali ungkapan itu yang paling tepat
tentang penantian kang Dirin pada istri yang telah sepuluh tahun lebih tak juga
pulang menemuinya dan anak semata wayangnya.
Gambar Pixabay.com
Hari-hari
dilalui kang Dirin untuk membesarkan anaknya yang kala itu baru berumur satu
tahun saat istrinya pergi untuk bekerja ke luar negeri. Dengan sabar kang Dirin
menjalani hari-hari memasak nasi, menggoreng mendoan, memasak sayur dan
kegiatan rumah tangga lainnya. Adapun pekerjaannya adalah serabutan, terkadang
menjadi buruh bangunan, sambil memelihara ayam, kambing, dan burung dara.
Lambat
laun kang Dirin terbiasa hidup tanpa istri. Anaknya pun terbiasa hidup dengan
ayahnya. Walaupun tetap saja berbeda keadaan rumah saat ada seorang istri dan
ibu bagi anaknya. Dulu saat istrinya masih bersama, rumah kang Dirin tampak
rapih baik di halaman rumah maupun di dalam rumah.Namun saat ini rumahnya seringkali
tampak seperti kapal pecah. Baju-baju kotor terkadang beterbangan di mana-mana.
Malam-malam
yang dilewati Kang Dirin penuh mimpi-mimpi indah. Ia terkadang bermimpi
berkenalan dengan bidadari-bidadari cantik. Pada orang-orang kampung ia
bercerita hampir setiap malam ia bermimpi berkenalan dengan bidadari-bidadari
cantik. Rambutnya panjang tergerai, ada sayap di punggung, betisnya seperti
bulir padi. Demikian gambaran sosok bidadari yang diceritakan kang Dirin setiap
ada kesempatan di pos ronda atau di teras tetangga.
Ia
juga seringkali bermimpi mendapat pujian dari ibu-ibu muda yang menjadi
tetangganya. Namun saat terbangun kang Dirin mendapati dirinya seorang diri.
Perihal ini Kang Dirin tidak mau menceritakannya pada siapapun. Ia hanya
bercermin dan mematut diri sambil bertanya, “Benarkah aku masih tampan?” hal
itu dilakukannya setiap kali bermimpi dipuji atas ketampanannya oleh ibu-ibu
muda tetangganya. Ia menyimpan dengan rapi mimpinya itu hingga bertahun-tahun
lamanya. Sampai ia mendengar kabar kalau istrinya akan pulang beberapa hari
lagi. Awalnya ia sangat gembira mendengar kabar itu. Ia melambung. Akan ada
yang menemani hari-harinya. Akan ada yang mencuci bajunya, memasak untuknya,
dan membikinkan secangkir kopi di pagi hari, serta di malam hari ia tak akan
kedinginan lagi karena ada istri yang selalu setia mendampinginya. Namun apa
yang diharapkannya jauh panggang dari api. Istrinya pulang bersama lelaki lain,
kalaupun menemui kang Dirin hanya untuk sebuah kata yang menjadi tujuannya,
“Kang, aku minta cerai.” Mendengar ucapan dari istrinya yang lama tak
menemuinya itu sebenarnya kang Dirin tidak terlalu kaget tersebab ia sudah
mendengar selentingan orang-orang kampung perihal istrinya yang memiliki pacar
lagi di negeri tetangga. Kang Dirin pasrah saja. Selama mengurus perceraian
istri Kang Dirin tidak mau tidur serumah dengan suaminya, ia tidur di rumah
orang tuanya. Setelah urusan perceraian selesai, istri kang Dirin kembali
berangkat ke luar negeri bersama lelaki lain itu.
Menghadapi
keadaan yang menyayat hati sebenarnya kang Dirin nyaris tumbang seperti pohon
yang ditebang. Namun ia bertahan meski mungkin hatinya sangat rapuh. Ia
berusaha tetap gembira meski ia telah sah menyandang status duda. Dengan status
barunya itu Kang Dirin menjadi bertambah sering bermimpi tentang bidadari dan
ibu-ibu muda kampung yang selalu memujinya.
Secara
fisik Kang Dirin tidak terlalu tinggi juga tidak terlalu tampan. Cara
berpakaiannya pun kurang rapi. Terkadang tampak hanya memakai celana pendek dan
kaos dalam saja saat keluar rumah. Namun mimpi-mimpinya seakan merupakan hal
yang nyata dalam kehidupan sehari-hari. Karena terlalu lama menjalani hidup
seorang diri dan hanya berteman mimpi-mimpi indah, Kang dirin menjadi susah
membedakan mana dunia mimpi dan mana dunia nyata. Ia mencampur adukan antara
kejadian di alam mimpi dengan kejadian di alam nyata. Baginya mimpi-mimpi
adalah selingan kehidupan nyata yang menurutnya pahit seperti kopi bikinannya
sendiri yang lebih sering kurang gula. Ketika diajak bicara oleh ibu-ibu muda
kampung, Kang dirin menjadi melambung, hatinya berbunga-bunga, dan tak lupa
melihat cermin untuk mematut diri. padahal ibu-ibu muda kampung hanya berbicara
biasa tentang kehidupan sehari-hari, namun kang dirin mengartikannya lebih
jauh. Seolah-olah ibu-ibu muda itu memuji ketampanan Kang dirin sehingga saat
berbincang-bincang dengan ibu muda kampung, wajah kang dirin seperti tersipu
malu dan berseri-seri menunjukkan kebahagiaan tingkat tinggi.
Setelah
berbincang-bincang dengan ibu muda tetangganya, biasanya kang dirin akan
bercerita pada orang lain.
“Wah
sepertinya ibu muda itu naksir sama aku, tapi sayang ia sudah menikah,” ucap
Kang drin pada teman kentalnya, lantas biasanya teman kentalnya itu akan
menimpali, “Jangan berbesar hati dulu, barangkali ibu muda itu Cuma sekadar
bicara biasa, bukan maksud apa-apa.” Biasanya kang dirin akan menimmpali dengan
sanggahan yang melemahkan pendapat lawan bicaranya itu dan menguatkan
pendapatnya sendiri. dan lawan bicaranya ituu biasanya akan tersenyum saja tak
mau meladeninya lagi.
Suatu
pagi Kang dirin tampak berdandan rapi, sepertinya ia akan pergi seorang diri.
entah kenapa ia tak membawa serta anaknya. Barangkali anaknya dititipkan pada
saudaranya.
“Mau
kemana, Kang?” tanya seorang warga kampung.”
“Menemui
bidadari.” Jawab Kang dirin singkat. Langkahnya sangat mantap, seperti ada
harapan membuncah di dadanya. []
Banyumas, 7 Maret 2016
0 komentar:
Posting Komentar