BELAJAR SEPANJANG HAYAT


Catatan Harian Seorang Guru IPA







Selamat berkunjung di blog kami, semoga bermanfaat

Sabtu, 12 November 2016

Kang Dirin Menemui Bidadari


Cerpen Agus Pribadi

Umur Kang Dirin sekitar empat puluh delapan tahun. Ia memiliki seorang anak lelaki yang bersekolah kelas delapan SMP. Istrinya bekerja ke luar negeri dan sudah lama tak kembali. Menurut kabar tak sedap yang berembus, istrinya telah pacaran lagi dengan lelaki sesama perantau di negeri orang.
Kaya ngenteni bun temetes (seperti menunggu embun menetes), barangkali ungkapan itu yang paling tepat tentang penantian kang Dirin pada istri yang telah sepuluh tahun lebih tak juga pulang menemuinya dan anak semata wayangnya.

Gambar Pixabay.com
Hari-hari dilalui kang Dirin untuk membesarkan anaknya yang kala itu baru berumur satu tahun saat istrinya pergi untuk bekerja ke luar negeri. Dengan sabar kang Dirin menjalani hari-hari memasak nasi, menggoreng mendoan, memasak sayur dan kegiatan rumah tangga lainnya. Adapun pekerjaannya adalah serabutan, terkadang menjadi buruh bangunan, sambil memelihara ayam, kambing, dan burung dara.
Lambat laun kang Dirin terbiasa hidup tanpa istri. Anaknya pun terbiasa hidup dengan ayahnya. Walaupun tetap saja berbeda keadaan rumah saat ada seorang istri dan ibu bagi anaknya. Dulu saat istrinya masih bersama, rumah kang Dirin tampak rapih baik di halaman rumah maupun di dalam rumah.Namun saat ini rumahnya seringkali tampak seperti kapal pecah. Baju-baju kotor terkadang beterbangan di mana-mana.
Malam-malam yang dilewati Kang Dirin penuh mimpi-mimpi indah. Ia terkadang bermimpi berkenalan dengan bidadari-bidadari cantik. Pada orang-orang kampung ia bercerita hampir setiap malam ia bermimpi berkenalan dengan bidadari-bidadari cantik. Rambutnya panjang tergerai, ada sayap di punggung, betisnya seperti bulir padi. Demikian gambaran sosok bidadari yang diceritakan kang Dirin setiap ada kesempatan di pos ronda atau di teras tetangga.
Ia juga seringkali bermimpi mendapat pujian dari ibu-ibu muda yang menjadi tetangganya. Namun saat terbangun kang Dirin mendapati dirinya seorang diri. Perihal ini Kang Dirin tidak mau menceritakannya pada siapapun. Ia hanya bercermin dan mematut diri sambil bertanya, “Benarkah aku masih tampan?” hal itu dilakukannya setiap kali bermimpi dipuji atas ketampanannya oleh ibu-ibu muda tetangganya. Ia menyimpan dengan rapi mimpinya itu hingga bertahun-tahun lamanya. Sampai ia mendengar kabar kalau istrinya akan pulang beberapa hari lagi. Awalnya ia sangat gembira mendengar kabar itu. Ia melambung. Akan ada yang menemani hari-harinya. Akan ada yang mencuci bajunya, memasak untuknya, dan membikinkan secangkir kopi di pagi hari, serta di malam hari ia tak akan kedinginan lagi karena ada istri yang selalu setia mendampinginya. Namun apa yang diharapkannya jauh panggang dari api. Istrinya pulang bersama lelaki lain, kalaupun menemui kang Dirin hanya untuk sebuah kata yang menjadi tujuannya, “Kang, aku minta cerai.” Mendengar ucapan dari istrinya yang lama tak menemuinya itu sebenarnya kang Dirin tidak terlalu kaget tersebab ia sudah mendengar selentingan orang-orang kampung perihal istrinya yang memiliki pacar lagi di negeri tetangga. Kang Dirin pasrah saja. Selama mengurus perceraian istri Kang Dirin tidak mau tidur serumah dengan suaminya, ia tidur di rumah orang tuanya. Setelah urusan perceraian selesai, istri kang Dirin kembali berangkat ke luar negeri bersama lelaki lain itu.
Menghadapi keadaan yang menyayat hati sebenarnya kang Dirin nyaris tumbang seperti pohon yang ditebang. Namun ia bertahan meski mungkin hatinya sangat rapuh. Ia berusaha tetap gembira meski ia telah sah menyandang status duda. Dengan status barunya itu Kang Dirin menjadi bertambah sering bermimpi tentang bidadari dan ibu-ibu muda kampung yang selalu memujinya.
Secara fisik Kang Dirin tidak terlalu tinggi juga tidak terlalu tampan. Cara berpakaiannya pun kurang rapi. Terkadang tampak hanya memakai celana pendek dan kaos dalam saja saat keluar rumah. Namun mimpi-mimpinya seakan merupakan hal yang nyata dalam kehidupan sehari-hari. Karena terlalu lama menjalani hidup seorang diri dan hanya berteman mimpi-mimpi indah, Kang dirin menjadi susah membedakan mana dunia mimpi dan mana dunia nyata. Ia mencampur adukan antara kejadian di alam mimpi dengan kejadian di alam nyata. Baginya mimpi-mimpi adalah selingan kehidupan nyata yang menurutnya pahit seperti kopi bikinannya sendiri yang lebih sering kurang gula. Ketika diajak bicara oleh ibu-ibu muda kampung, Kang dirin menjadi melambung, hatinya berbunga-bunga, dan tak lupa melihat cermin untuk mematut diri. padahal ibu-ibu muda kampung hanya berbicara biasa tentang kehidupan sehari-hari, namun kang dirin mengartikannya lebih jauh. Seolah-olah ibu-ibu muda itu memuji ketampanan Kang dirin sehingga saat berbincang-bincang dengan ibu muda kampung, wajah kang dirin seperti tersipu malu dan berseri-seri menunjukkan kebahagiaan tingkat tinggi.
Setelah berbincang-bincang dengan ibu muda tetangganya, biasanya kang dirin akan bercerita pada orang lain.
“Wah sepertinya ibu muda itu naksir sama aku, tapi sayang ia sudah menikah,” ucap Kang drin pada teman kentalnya, lantas biasanya teman kentalnya itu akan menimpali, “Jangan berbesar hati dulu, barangkali ibu muda itu Cuma sekadar bicara biasa, bukan maksud apa-apa.” Biasanya kang dirin akan menimmpali dengan sanggahan yang melemahkan pendapat lawan bicaranya itu dan menguatkan pendapatnya sendiri. dan lawan bicaranya ituu biasanya akan tersenyum saja tak mau meladeninya lagi.
Suatu pagi Kang dirin tampak berdandan rapi, sepertinya ia akan pergi seorang diri. entah kenapa ia tak membawa serta anaknya. Barangkali anaknya dititipkan pada saudaranya.
“Mau kemana, Kang?” tanya seorang warga kampung.”
“Menemui bidadari.” Jawab Kang dirin singkat. Langkahnya sangat mantap, seperti ada harapan membuncah di dadanya. []
Banyumas, 7 Maret 2016

Share:

0 komentar:

VIDEO PEMBELAJARAN

Arsip

Frequency Counter Pengunjung

Artikel Terbaru

LINK SAYA

Komentar Terbaru

Konsultasi IPA