BELAJAR SEPANJANG HAYAT


Catatan Harian Seorang Guru IPA







Selamat berkunjung di blog kami, semoga bermanfaat

Sabtu, 05 November 2016

Hikayat Sepotong Lidah


Cerpen Agus Pribadi (Satelitpost, 19 Desember 2013)

Aku ingin mengatakan kepadamu. Ihwal diriku ini. Diri yang pernah mengalami penyesalan yang sangat pada lidahku ini.
(Gambar Satelitpost)
Aku bukan malaikat. Aku juga bukan setan. Aku manusia biasa, sama sepertimu. Punya kelebihan dan kekurangan. Namun aku ingin menjadi orang yang baik pada setiap orang. Aku ingin menghargai setiap orang selayaknya aku ingin dihargai sebagai manusia tanpa membeda-bedakan jabatan, status sosial, dan sebagainya.
Aku bekerja, menikah, punya anak. Sama seperti manusia lainnya. Aku suka bercanda dengan kawan, dan suka humor. Aku suka bergaul dengan teman-teman dari berbagai kalangan.
Awalnya aku bisa menjaga etika pergaulan. Saling menghormati, menjaga ucapan, dan menjaga agar tidak menyakiti perasaan orang lain. Aku berusaha menyaingi malaikat. Setiap kata-kata yang kuolah dari lidahku adalah kata-kata terbaik. Layaknya keluar dari mulut para penyampai kebenaran.
Namun, itu hanya sementara. Di waktu yang lain, saat bercanda, saat bicara, saat bergaul, terkadang aku menyakiti perasaan orang lain melalui ucapan yang keluar dari mulutku. Itu menjadi awal untuk kesalahan-kesalahanku selanjutnya. Kesalahan yang kulakukan melalui lidahku. Seakan setan-setan semakin banyak yang bersarang di lidahku. Setan-setan dari berbagai jenis dan bentuknya.
Saat merasa bersalah, biasanya aku akan pindah kerja. Dan berusaha untuk menjaga perkataan dan perbuatan di tempat kerjaku yang baru.
“Mengapa harus pindah kerja? Sepertinya kau di sini betah-betah saja. Prestasi kerjamu juga bagus. Di tempat yang baru belum tentu kau akan sebetah saat bekerja di sini,” ucap Pak Arman, atasanku saat aku mohon diri dari tempat kerja yang dipimpinnya.
“Sebenarnya saya sangat betah bekerja di sini. Namun, saya ingin mencari pengalaman baru yang lebih menantang, Pak.” Kilahku padanya.
Pada awal-awal bekerja di tempat yang baru, aku akan sangat menjaga perkataanku. Namun lagi-lagi itu hanya sementara. Aku kembali menyakiti perasaan orang lain melalui ucapanku. Bahkan sebenarnya aku tak tahu kalau lidahku telah membuat orang lain tersinggung. Aku diberitahu tentang itu oleh kawanku yang lain.
“Seharusnya, tadi kau tak mengatakan keadaan dirinya yang memang gemuk itu. Mukanya langsung merah saat kau mengatakan kalau dia gemuk.”
“Wah, aku tak bermaksud menyakitinya. Aku hanya ingin mengingatkannya kalau dia harus menjaga tubuhnya agar tidak semakin gemuk.”
Demikian seterusnya, aku berpindah-pindah kerja, juga berpindah-pindah tempat tinggal menyesuaikan dengan tempat kerjaku yang baru. Sedikitnya sudah lima tempat kerja yang pernah aku singgahi sebagai tempat mencari nafkah. Namun tetap saja, aku menyakiti orang lain melalui ucapanku. Sebenarnya aku tak sengaja mengucapkan kata-kata yang menyakiti orang lain. Namun mungkin karena lupa atau keceplosan, sehingga aku mengeluarkan kata-kata yang menyakitkan itu. Sepertinya setan-setan dalam lidahku sengaja menggerak-gerakkan lidahku agar aku mengeluarkan ucapan yang menyakiti orang lain.
Sebenarnya aku bukan orang yang cerewet. Aku bukan seperti ember bocor yang airnya tumpah ke mana-mana. Bahkan aku sebenarnya pendiam. Namun kalau sedang bersama kawan-kawanku yang lain, aku menjadi seorang yang periang dan banyak ngomong. Entahlah mungkin karena sedang berkumpul dengan banyak teman sehingga aku jadi tak terkendali karena senangnya. Setelah itu aku akan menyakiti perasaan orang lain melalui lidahku.
Aku jadi berpikir bagaimana caranya agar aku tak menyakiti orang lain lagi. Aku meminta pendapat orang-orang yang aku anggap dapat memberikan pemecahan atas masalahku ini. Bertanya pada kawan yang kuanggap alim. Bertanya pada kawan yang kuanggap punya pengalaman hidup. Dan seterusnya.
Namun jawaban mereka tak ada yang memuaskan hatiku. Saran dari mereka terlalu sulit untuk aku lakukan. Ada yang menyuruhku untuk puasa bicara. Bicara yang perlu-perlu saja. Ada yang menyuruhku untuk konsultasi ke psikolog.
Aku sempat berkeinginan untuk menyepi, mengasingkan diri dari hiruk pikuk keramaian manusia. Namun aku makhluk sosial, sama seperti manusia lainnya. Aku urungkan niatku itu.
***
Sudah seminggu aku tidak masuk kerja. Tubuhku lesu dan lunglai seperti tak bertenaga. Tulang-tulangku seperti menghilang dari tubuhku. Dokter menyarankan aku untuk banyak istirahat. Istriku juga menganggap aku sakit karena kelelahan.
Aku akhirnya memutuskan untuk keluar dari pekerjaan terbaruku. Istriku tidak kaget, karena aku terbiasa pindah-pindah kerja. Istriku menganggap, secepatnya aku akan mendapat pekerjaan baru.
Namun dugaan istriku meleset. Aku tak juga mencari pekerjaan. Aku lebih banyak merenung diri dalam kamar.
Aku tetap saja menyakiti orang lain karena lidahku. Orang itu adalah istriku sendiri. Aku kerap cekcok dengan istriku karena masalah ekonomi.
“Dasar istri yang tidak pengertian. Suami sedang punya masalah bukannya menghibur hati malah menyakiti!”
“Kau yang tidak pengertian. Suami macam apa setiap hari kerjanya hanya mengurung diri di kamar. Dasar suami tidak bertanggung jawab!”
“Kau yang tidak pengertian!”
“Kau!”
“Kau!”
***
Istriku beserta anakku pulang ke rumah orang tuanya. Mungkin karena tak kuat mendengarkan umpatan dan kata-kata kotor yang keluar melalui lidahku.
Sejak itu aku tinggal seorang diri di kota asing ini. Kota yang jauh dari kampung halaman. Kota yang tak jauh dari pantai.
Aku jadi semakin kalut. Aku mencoba untuk menghibur diri dengan pergi ke pantai. Menikmati panorama alam. Menjadi saksi saat matahari tenggelam. Namun tak juga mampu menghilangkan perasaan itu.
Dalam kalutku aku memiliki ide gila. Ide itu sempat aku tepis, namun muncul lagi. Aku tepis lagi, dan muncul lagi. Demikian seterusnya.
Hingga suatu hari, aku mengambil gunting. Aku sempat membuang gunting itu ke lantai. Namun aku ambil lagi. Aku buang lagi, dan aku ambil lagi. Demikian seterusnya.
Hingga akhirnya aku bulatkan tekad. Aku mengambil gunting itu lagi. Aku berdiri di depan cermin. Aku menjulurkan lidah. Dan selanjutnya kamu pasti tahu apa yang terjadi padaku. Sepotong lidah terjatuh ke lantai.
Aku tak mempunyai lidah lagi. Aku tak mampu bicara lagi. Aku bisu.
Aku ngomong dengan orang-orang memakai bahasa isyarat, dengan gerakan tangan, dengan senyuman, dan tatapan mata.
***
Aku kembali bekerja. Ada yang mau menerimaku bekerja meski aku tak punya lidah. Aku pun tak pernah menyakiti teman-teman kerjaku melalui perkataan.
Saat istriku datang kembali kepadaku, ia mau menerimaku apa adanya. Suami yang tak punya lidah. Dan sejak itu aku tak pernah menyakiti orang lain dengan kata-kataku.
“Ada orang bisu. Itu orangnya. Tampan sih, tapi tak punya lidah.”
“Iya, wah sayang sekali ya. Tampan tapi bisu. Bicaranya sulit untuk dipahami.”
Kalimat itu kerap aku dengar dari orang-orang, namun aku tak sakit hati. Aku berusaha menerima seberapa pun pedasnya ucapan orang lain. Biarlah mereka menyakitiku dengan lidahnya, yang penting aku tak menyakiti mereka dengan lidahku. Karena aku tak memiliki lidah lagi.
Aku bicara padamu ini pun dengan bahasa isyarat. Semoga kau memahami ceritaku ini. Meski tanpa suara, dan tanpa kata yang kau dengar dari mulutku.[]


Share:

0 komentar:

VIDEO PEMBELAJARAN

Arsip

Frequency Counter Pengunjung

Artikel Terbaru

LINK SAYA

Komentar Terbaru

Konsultasi IPA