Cerpen
Agus Pribadi (Satelitpost, 19 Desember 2013)
Aku
ingin mengatakan kepadamu. Ihwal diriku ini. Diri yang pernah mengalami
penyesalan yang sangat pada lidahku ini.
(Gambar Satelitpost)
Aku
bukan malaikat. Aku juga bukan setan. Aku manusia biasa, sama sepertimu. Punya
kelebihan dan kekurangan. Namun aku ingin menjadi orang yang baik pada setiap
orang. Aku ingin menghargai setiap orang selayaknya aku ingin dihargai sebagai
manusia tanpa membeda-bedakan jabatan, status sosial, dan sebagainya.
Aku
bekerja, menikah, punya anak. Sama seperti manusia lainnya. Aku suka bercanda
dengan kawan, dan suka humor. Aku suka bergaul dengan teman-teman dari berbagai
kalangan.
Awalnya
aku bisa menjaga etika pergaulan. Saling menghormati, menjaga ucapan, dan
menjaga agar tidak menyakiti perasaan orang lain. Aku berusaha menyaingi
malaikat. Setiap kata-kata yang kuolah dari lidahku adalah kata-kata terbaik.
Layaknya keluar dari mulut para penyampai kebenaran.
Namun,
itu hanya sementara. Di waktu yang lain, saat bercanda, saat bicara, saat
bergaul, terkadang aku menyakiti perasaan orang lain melalui ucapan yang keluar
dari mulutku. Itu menjadi awal untuk kesalahan-kesalahanku selanjutnya.
Kesalahan yang kulakukan melalui lidahku. Seakan setan-setan semakin banyak
yang bersarang di lidahku. Setan-setan dari berbagai jenis dan bentuknya.
Saat
merasa bersalah, biasanya aku akan pindah kerja. Dan berusaha untuk menjaga
perkataan dan perbuatan di tempat kerjaku yang baru.
“Mengapa
harus pindah kerja? Sepertinya kau di sini betah-betah saja. Prestasi kerjamu juga
bagus. Di tempat yang baru belum tentu kau akan sebetah saat bekerja di sini,”
ucap Pak Arman, atasanku saat aku mohon diri dari tempat kerja yang
dipimpinnya.
“Sebenarnya
saya sangat betah bekerja di sini. Namun, saya ingin mencari pengalaman baru yang
lebih menantang, Pak.” Kilahku padanya.
Pada
awal-awal bekerja di tempat yang baru, aku akan sangat menjaga perkataanku.
Namun lagi-lagi itu hanya sementara. Aku kembali menyakiti perasaan orang lain
melalui ucapanku. Bahkan sebenarnya aku tak tahu kalau lidahku telah membuat
orang lain tersinggung. Aku diberitahu tentang itu oleh kawanku yang lain.
“Seharusnya,
tadi kau tak mengatakan keadaan dirinya yang memang gemuk itu. Mukanya langsung
merah saat kau mengatakan kalau dia gemuk.”
“Wah,
aku tak bermaksud menyakitinya. Aku hanya ingin mengingatkannya kalau dia harus
menjaga tubuhnya agar tidak semakin gemuk.”
Demikian
seterusnya, aku berpindah-pindah kerja, juga berpindah-pindah tempat tinggal
menyesuaikan dengan tempat kerjaku yang baru. Sedikitnya sudah lima tempat
kerja yang pernah aku singgahi sebagai tempat mencari nafkah. Namun tetap saja,
aku menyakiti orang lain melalui ucapanku. Sebenarnya aku tak sengaja
mengucapkan kata-kata yang menyakiti orang lain. Namun mungkin karena lupa atau
keceplosan, sehingga aku mengeluarkan kata-kata yang menyakitkan itu.
Sepertinya setan-setan dalam lidahku sengaja menggerak-gerakkan lidahku agar
aku mengeluarkan ucapan yang menyakiti orang lain.
Sebenarnya
aku bukan orang yang cerewet. Aku bukan seperti ember bocor yang airnya tumpah
ke mana-mana. Bahkan aku sebenarnya pendiam. Namun kalau sedang bersama
kawan-kawanku yang lain, aku menjadi seorang yang periang dan banyak ngomong.
Entahlah mungkin karena sedang berkumpul dengan banyak teman sehingga aku jadi
tak terkendali karena senangnya. Setelah itu aku akan menyakiti perasaan orang
lain melalui lidahku.
Aku
jadi berpikir bagaimana caranya agar aku tak menyakiti orang lain lagi. Aku
meminta pendapat orang-orang yang aku anggap dapat memberikan pemecahan atas
masalahku ini. Bertanya pada kawan yang kuanggap alim. Bertanya pada kawan yang
kuanggap punya pengalaman hidup. Dan seterusnya.
Namun
jawaban mereka tak ada yang memuaskan hatiku. Saran dari mereka terlalu sulit
untuk aku lakukan. Ada yang menyuruhku untuk puasa bicara. Bicara yang
perlu-perlu saja. Ada yang menyuruhku untuk konsultasi ke psikolog.
Aku
sempat berkeinginan untuk menyepi, mengasingkan diri dari hiruk pikuk keramaian
manusia. Namun aku makhluk sosial, sama seperti manusia lainnya. Aku urungkan niatku
itu.
***
Sudah
seminggu aku tidak masuk kerja. Tubuhku lesu dan lunglai seperti tak bertenaga.
Tulang-tulangku seperti menghilang dari tubuhku. Dokter menyarankan aku untuk
banyak istirahat. Istriku juga menganggap aku sakit karena kelelahan.
Aku
akhirnya memutuskan untuk keluar dari pekerjaan terbaruku. Istriku tidak kaget,
karena aku terbiasa pindah-pindah kerja. Istriku menganggap, secepatnya aku
akan mendapat pekerjaan baru.
Namun
dugaan istriku meleset. Aku tak juga mencari pekerjaan. Aku lebih banyak
merenung diri dalam kamar.
Aku
tetap saja menyakiti orang lain karena lidahku. Orang itu adalah istriku
sendiri. Aku kerap cekcok dengan istriku karena masalah ekonomi.
“Dasar
istri yang tidak pengertian. Suami sedang punya masalah bukannya menghibur hati
malah menyakiti!”
“Kau
yang tidak pengertian. Suami macam apa setiap hari kerjanya hanya mengurung
diri di kamar. Dasar suami tidak bertanggung jawab!”
“Kau
yang tidak pengertian!”
“Kau!”
“Kau!”
***
Istriku
beserta anakku pulang ke rumah orang tuanya. Mungkin karena tak kuat
mendengarkan umpatan dan kata-kata kotor yang keluar melalui lidahku.
Sejak
itu aku tinggal seorang diri di kota asing ini. Kota yang jauh dari kampung
halaman. Kota yang tak jauh dari pantai.
Aku
jadi semakin kalut. Aku mencoba untuk menghibur diri dengan pergi ke pantai.
Menikmati panorama alam. Menjadi saksi saat matahari tenggelam. Namun tak juga
mampu menghilangkan perasaan itu.
Dalam
kalutku aku memiliki ide gila. Ide itu sempat aku tepis, namun muncul lagi. Aku
tepis lagi, dan muncul lagi. Demikian seterusnya.
Hingga
suatu hari, aku mengambil gunting. Aku sempat membuang gunting itu ke lantai.
Namun aku ambil lagi. Aku buang lagi, dan aku ambil lagi. Demikian seterusnya.
Hingga
akhirnya aku bulatkan tekad. Aku mengambil gunting itu lagi. Aku berdiri di
depan cermin. Aku menjulurkan lidah. Dan selanjutnya kamu pasti tahu apa yang
terjadi padaku. Sepotong lidah terjatuh ke lantai.
Aku
tak mempunyai lidah lagi. Aku tak mampu bicara lagi. Aku bisu.
Aku
ngomong dengan orang-orang memakai bahasa isyarat, dengan gerakan tangan,
dengan senyuman, dan tatapan mata.
***
Aku
kembali bekerja. Ada yang mau menerimaku bekerja meski aku tak punya lidah. Aku
pun tak pernah menyakiti teman-teman kerjaku melalui perkataan.
Saat
istriku datang kembali kepadaku, ia mau menerimaku apa adanya. Suami yang tak
punya lidah. Dan sejak itu aku tak pernah menyakiti orang lain dengan
kata-kataku.
“Ada
orang bisu. Itu orangnya. Tampan sih, tapi tak punya lidah.”
“Iya,
wah sayang sekali ya. Tampan tapi bisu. Bicaranya sulit untuk dipahami.”
Kalimat
itu kerap aku dengar dari orang-orang, namun aku tak sakit hati. Aku berusaha
menerima seberapa pun pedasnya ucapan orang lain. Biarlah mereka menyakitiku
dengan lidahnya, yang penting aku tak menyakiti mereka dengan lidahku. Karena
aku tak memiliki lidah lagi.
Aku
bicara padamu ini pun dengan bahasa isyarat. Semoga kau memahami ceritaku ini.
Meski tanpa suara, dan tanpa kata yang kau dengar dari mulutku.[]
0 komentar:
Posting Komentar