Cerpen
Agus Pribadi
Aku menyesal kenapa
harus menanyakan hal itu kepada muridku. Sebagai wali kelas aku terpaksa
menanyakan itu untuk suatu keperluan data sekolah di mana aku bekerja.
“Siapa yang tinggal
bersama orang tua kandung?”
“Siapa yang tinggal
bukan dengan orang tua kandung?”
Pada pertanyaan kedua
itu, ada salah satu muridku yang bernama Swara melinangkan airmata.
Gambar Pixabay.com
“Pak, Swara menangis,”
ucap Tekun teman sebangkunya. Awalnya aku tak mengetahui kenapa Swara menangis,
baru satu minggu aku menjadi wali kelasnya sehingga aku belum tahu latar
belakang keluarganya. Yang aku tahu waktu orientasi siswa baru, Swara yang nama
lengkapnya Swara Prakasa itu tampil ke depan menyanyikan sebuah lagi. Suaranya
amat merdu membuat teman-teman dan para guru yang mendengarnya terkesima. Saat
tampil menyanyi di depan teman-temannya, Swara sangat percaya diri. Dalam
bernyanyi, ia penuh penghayatan dan menguasai panggung. Itu sebabnya aku tak
percaya ketika melihat Swara melinangkan airmata.
Saat istirahat, aku memanggil
Swara ke ruanganku.
“Saya minta maaf jika
pertanyaan saya tadi membuatmu bersedih, Swara?”
“Tidak apa-apa, Pak,”
Swara kembali melinangkan airmata dan berusaha mengusapnya dengan tangannya.
“Saya boleh tahu kenapa
kamu bersedih?”
Dengan perlahan Swara
menceritakan tentang keluarganya. Sambil mengusap airmatanya yang terus
mengalir, Swara menceritakan bagaimana ia harus berpisah dengan ibu kandung
yang sangat disayanginya. Ibunya meninggalkannya ketika ia berusia lima tahun.
Ibunya pergi ke kota dan tidak pernah kembali. Saat Swara besar, ia kerap
mendengar selentingan orang-orang kalau ibunya menikah lagi dengan orang lain.
Sebagai anak lelaki semata wayangnya, Swara merasa kecewa dengan kelakuan
ibunya itu. Swara dibesarkan oleh ayahnya sampai saat ini. Ketika malam hari
Swara kerap bermimpi melihat ibunya sedang berjalan bersama lelaki lain yang
bukan ayahnya. Bahkan dalam mimpinya itu, ibunya menggendong seorang anak
balita yang bukan dirinya. Swara memanggil-manggil ibunya, namun ibunya hanya
melambaikan tangan dan meninggalkannya.
Ketika bersekolah di
SD, Swara terlihat bakatnya dalam bidang tarik suara, sedangkan di bidang
akademik prestasi Swara biasa saja. Guru keseniannya dapat menangkap bakat
menyanyi yang ada pada Swara. Swara dibimbing dengan tekun oleh gurunya itu
berlatih olah vokal. Dan kerja keras keduanya pun mulai membuahkan hasil.
Awalnya Swara mengikuti lomba menyanyi tunggal di kecamatan dan meraih juara
dua. Dan di tahun-tahun berikutnya ia banyak mengukir prestasi dalam bidang menyanyi
baik di tingkat kecamatan, kabupaten, bahkan provinsi. Piala-piala terpajang
rapi di lemari rumah. swara sangat ingin memperlihatkannya pada ibu kandungnya,
namun ibunya itu tidak juga pulang ke rumah. ketika swara kelas tiga SD,
ayahnya menikah lagi dengan seorang perempuan yang sangat menyayangi swara
layaknya anak kandungnya. Meskipun demikian Swara tetap terkenang-kenang pada
ibu kandungnya.
Aku melihat swara
bercerita kepadaku dengan tulus dan murni. Sepertinya tidak ditambah-tambah
atau dikurangi. Aku mendengarkannya dengan seksama.
“Kamu yang tegar dan
tabah ya. semoga kelak kau dapat bertemu dengan ibumu.” Aku memberinya semangat
setelah ia selesai bercerita.
Hari-hari yang berlalu
dilalui murid-murid kelasku, kelas 7 F dengan bersemangat, termasuk juga swara.
Ketika acara perwalian aku mengisinya dengan motivasi yang aku berikan agar
murid-muridku bersemangat dalam belajar dan mengukir prestasi. Seperti sebuah
novel yang pernah saya baca yang mengandung ungkapan yang memberi semangat,
yakni “man jadda wa jada” dalam novel yang berjudul Negeri 5 Menara” karya
Ahmad Fuadi.
“Anak-anak, jika kita
bersungguh-sungguh maka akan berhasil,” ucapku memberi suntikan semangat pada
mereka. Murid-muridku pun tampak antusias di lihat dari duduknya yang agak condong
ke depan.
Ketika ada lomba antar
kelas, murid-muridku mempersiapkannya dengan baik, khususnya dalam perlombaan
menyanyi secara beregu. Swara tampak aktif memberi masukan pada teman-temannya
dalam hal olah suara dan gaya pada saat menyanyi. Dan hasilnya kelas kami
menjadi juara satu. Tubuh Swara yang agak kecil diangkat oleh teman-temannya,
demikian mereka mengekspresikan kemenangannya.
Ketika kenaikan kelas,
Swara tidak mendapatkan ranking, namun banyak prestasi yang dicapainya di
bidang menyanyi. Swara menyumbangkan lima piala lomba menyanyi kepada sekolah.
Tahun ajaran baru,
swara kembali menjadi bagian dari kelas dimana aku menjadi wali kelasnya, yakni
kelas 8C. Belum genap sebulan menjalani kelas barunya Swara sudah beberapa hari
tidak masuk tanpa keterangan apapun. Saat aku berkunjung ke rumahnya, hanya
neneknya yang menemuiku.
Menurut neneknya, Swara
minta di antar ayahnya ke Jakarta untuk menemui ibu kandungnya. Aku pun
menyayangkan orangtua swara yang tidak membuat surat ijin untuk anaknya. Seminggu
sudah swara tidak masuk tanpa surat ijin. Mungkin swara sudah pindah sekolah di
Jakarta.
Hari senin pagi aku
terkejut karena swara berangkat kembali ke sekolah. Dan ia menemuiku meminta
maaf karena surat ijin yang sudah dibuat ternyata tertinggal di tas teman yang
dititipi surat itu. Di Jakarta Swara telah bertemu ibu kandungnya,dan berjanji
pada ibunya itu akan terus berprestasi agar menjadi anak kebanggaan orang tua.
Aku bersyukur, swara
bisa kembali bersekolah menggapai cita-citanya yang tergantung di langit.[]
Banyumas, 12
Maret 2016
0 komentar:
Posting Komentar