BELAJAR SEPANJANG HAYAT


Catatan Harian Seorang Guru IPA







Selamat berkunjung di blog kami, semoga bermanfaat

Minggu, 29 Juli 2018

Menziarahi Kebanyumasan Dalam Kumpulan Cerkak Doresani

Menziarahi Kebanyumasan
dalam Kumpulan Cerkak Doresani Karya Agus Pribadi
Oleh: Adhy Pramudya


Ziarah dalam perspektif masyarakat Banyumas tidak hanya dipandang sebagai ritus religi. Ziarah adalah laku menemukan diri. Diri sebagai bagian dari jagat raya dan diri sebagai makhluk angonan Tuhan YME. Dari ziarah yang merupakan bentuk laku tersebut, manusia diharap terus mengingat bahwa ia sedang di-angon oleh Si Empunya di jazirah jagat raya. Maka ia (manusia) mestinya berupaya menghayati asal mula dan ke mana ia akan kembali. Sangkan Paraning Dhumadi. Muasalnya kelahiran dan kepulangan kematian.
Masyarakat Banyumas, juga Jawa pada umumnya, menamakan tradisi ziarah dengan sebutan nyekar. Nyekar biasa dilakukan pada hari-hari dan bulan-bulan terentu. Namun yang ramai dilakukan adalah menjelang bulan ramadan dan hari raya idul fitri. Makam yang biasa diziarahi lazimnya makam anggota keluarga, leluhur, serta tokoh masyarakat. Tetapi sejatinya, bagi masyarakat Banyumas, ziarah merupakan jalan mengingat/perenungan/nasihat bahwa manusia dan semua makhluk di alam raya akan menemukan proses pulang atau mati. Boleh jadi demikian halnya dengan bahasa Penginyongan atau Banyumasan. Sebagai pemberian dari Tuhan, bahasa Penginyongan menempuh fase lahir, tumbuh, dan berkembang. Tetapi dalam kurun waktu tertentu boleh jadi bahasa Penginyongan akan mati. Dari kematiannya itu, hanya dua kemungkinan yang terjadi: dilupakan atau diingat.
Ziarah dalam Kumpulan Cerkak Doresani
Membaca kumpulan cerkak (cerita cekak) Doresani anggitan Agus Pribadi, saya merasa sedang menziarahi diri. Diri yang mewujud tanah asal, tanah kelahiran saya. Ada sesuatu yang rasanya membuat betah, berlama-lama di dalam teks yang ditulis dengan bahasa penginyongan. Teks tersebut memang ditulis menggunakan bahasa ibu sang penganggit, termasuk bahasa ibu saya, yaitu bahasa Jawa dialek Banyumasan. Saya seolah diajak mengingat kembali secara tegas dari mana saya berasal. Tak hanya soal muasal bahasa ibu, tetapi juga ihwal budaya sebagai bagian dari muasal saya tersebut. Seperti yang dikatakan Trianton (2013: 1) bahasa dapat menentukan jati diri seseorang, dan sebagai penanda kebudayaan tertentu.
Itulah sebabnya, dengan membaca cerkak-cerkak yang termaktub dalam kumpulan Cerkak Doresani, ada serpihan pengalaman ruang dan waktu, yang seolah dekat sekali dengan saya. Aneka pengalaman itu terkadang saling sapa, saling sahut, dan berkelindan dengan saya sebagai pembaca. Sesuatu yang semestinya dekat, bahkan bagian dari diri saya tetapi seolah teramat jauh. Asing. Seolah saya hanya pernah berjumpa di masa yang teramat lampau. Saya mencoba-coba mengingat kelampauan itu. Walhasil, memang ada kesulitan. Kesamaran demi kesamaran itu saya lawan, sampai akhirnya saya berhasil mengingatnya. Tentu tidak dengan ingatan yang sepenuhnya sempurna.
Itulah kenapa, ketika membaca cerkak-cerkak dalam Doresani, saya umpamakan sebagai bentuk menziarahi artefak kebudayaan. Mengunjungi hal-ihwal: kebanyumasan, perihal bahasa, kosa kata, dan idiom-idiom khas penginyongan yang disuguhkan cerkak-cerkak tersebut. Kosa kata seperti:  gadung, ngendong, dophokan, wedhang clebek, gedhang godhog, pedhangan, senthong, mluku, njrengkanang, dan wuru, semakin menandai identitas kebanyumasannya. Sederet kosa kata itu, rupanya telah menarik jiwa dan perhatian saya. Perhatian tersebut kemudian menggugah kesadaran. Sebenarnya masih banyak kosa kata yang mesti digali dan dipahami sebagai kearifan lokal yang tak dimiliki daerah lain. Saya yakin, idiom-idiom (ungkapan) semisal : trengginas, gipyak, kedimik-kedimik, ngonggor, nggleweh, bombong, bungah, senenge ora eram, nangis nggingging, membleb-membleb, getok  tular, blas ketipas,  dan doresani, merupakan daya pikat tersendiri yang hanya dimiliki masyarakat Banyumas.
Pertama-tama, itulah impresi yang saya rasakan ketika berziarah di dalam kumpulan Cerkak Doresani.  Masa lampau, peristiwa dan ungkapan yang terselip di dalam fiksionalitas itu melebur. Seolah-olah menjadi nyata. Saya seakan-akan turut mengalami dan merasakan kejadian dalam ruang dan waktu semu tersebut. Gambaran itu, amat saya rasakan ketika membaca cerkak berjudul Doresani. Dorenasi jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia,  bisa bermakna belas kasihan, keprihatinan dan empati yang amat dalam. Pendeknya, orang akan terpancing mengatakan doresani, ketika melihat seseorang atau kerabat sewaktu ditimpa musibah. Baik kesripahan/kematian (mikro kosmos) atau bencana alam (makro kosmos). Itulah kenapa, kala membaca Doresani, saya pun merasa sedang melayat Kang Dimin.  Turut berbelasungkawa dengan perasaan amat purba. Atas berpulangnya mendiang ke tanah asal. Saya kira, doresani memang tepat untuk menggambarkan keadaan Kang Dimin yang memprihatinkan.
Doresani. Tembung kuwe kayong sing paling memper kanggo nggambaraken kahanane Kang Dimin. Apamaning wong liya, keluargane dhewek kayong ora nggople-nggoplea awit dheweke mriyang butul matine. (D: 47)
“Kang Dimin wis mati,” wong-wong pada aweh ngerti getok tular nganti sekampung krungu kabeh. Inyong gagean mlayu niliki apa bener kabar kuwe. Ora perduli urung dandan, ora preduli kudunge menceng apa ora. Ora preduli sandal sing tak enggo selan selen apa ora. Inyong mrebes mili turut dalan. Meh baen inyong nabrak wit gedhang saking nggrungsange atine inyong. Kayong ana sing mlumpat-mlumpat neng njero dadane inyong. Sedawane dalan inyong kemutan gemiyen agi esih sekolah. Kang Dimin batir sekolah sing mbejud, seneng gelut karo bocah lanang, lan senenge nggleweh maring bocah wadhon.  (D: 47
Selain bahasa, perihal penamaan orang (tokoh) di dalam cerkak-cerkat tersebut juga memliliki keunikan tersendiri. Hal itu terdapat dalam cerkak berjudul Kaki Bengel. Kaki Bengel adalah nama tokoh yang menjadi gagasan cerita. Kocap kacarita, Kaki Bengel sebenarnya merupakan pelekatan nama yang disematkan oleh masyarakat kepada Kaki Dipa (Kakek Dipa). Ia sendiri hakikatnya orang melarat, hidupnya pas-pasan, memiliki anak empat, namun tak mau menerima keadaan. Ia tergolong orang yang konsumtif, berlindung kemewahan. Walhasil,  biduk rumah tangganya menjadi tidak karu-karuan. Berantakan. Ekonominya kandas. Besar pasak ketimbang tiang. Melihat kondisi yang dilematis tersebut, orang-orang lingkungan tersebut justru sepakat, menamakan Kaki Dipa menjadi Kaki Bengel.
Embuh sapa sing njenengi. Wong-wong ngarani Kaki Bengel. Bengel ya padha baen karo puyeng. Janen jenenge kaki Dipa, ningen embuh awit kapan koh wong-wong padha ngarani kaya kuwe. Gali ngarani ora neng ngarepe wonge. Nang mburi, dadine ya sing diarani ora ngerti. (KB:7)
Pelabelan nama di Banyumas, hakikatnya merupakan renungan atas sifat, tabiat, dan karakter seseorang. Itulah sebabnya, atas sikap Kaki Dipa yang kemaruk, masyarakat membuat  konvensi (kesepakatan) menamakan Kaki Dipa menjadi Kaki Bengel. Yang nuwun sewunya, sebenarnya hal tersebut sama saja turut mengutuk kesengsaraan seseorang. Namun begitulah, lelucon itu rupanya hanya dimaksudkan sebagai cara masyarakat Banyumas untuk mendatangkan hiburan. Sekalipun dengan cara-cara yang murah.
Sementara itu, di dalam cerkak bertajuk Ngendong, terdapat nama-nama tokoh yang merupakan ejawantah dari pelakunya. Setiap tokoh yang membawakan laku tertentu, menjadi penanda untuk penamaan tertentu pula. Seperti halnya Yu Luwes. Ia merupakan tokoh yang tidak banyak bicara, namun ringan tangan.  Luwes yang dimaksud tentu menandakan perilaku yang menyenangkan. Berbeda dengan tokoh Yu Lemu, yang dikonotasikan sebagai keprihatinan. Citra tersebut tergambarkan manakala Yu Lemu berjalan pelan sekali,  menanggung beban tubuh beratnya yang membuat ia payah.
Kayong sing dilakoni neng Yu Lemu. Meh saben dina Minggu, wong kae ngendong maring gone Yu Luwe, mboke inyong. Kayong jenenge, wonge nek mlaku kayong kaboten awak, unduk-unduk alon banget. (Ng: 12)
Bar kuwe Yu Luwes ngetokna wedang clebek sing clebeke dibebek dhewek nang lumpang. Dekancani godhogan gedhang. Kayong wis apal nek ana suara reketekkkkkk brati Yu Lemu sing agi njagong neng risban. (N: 13)
Banjur Yu Lemu ndopok werna-werna banget. Sing diomongna anak wadone. Ngomongna anak mantune. Ngomong keluarga bojone. Lan liya-liyane. Yu Luwes ya ngrungokna dopokane Yu Lemu ana kalane desambi karo mbebek clebek, utawane njangan lan nggoreng tempe. (N: 13)
Secara khas pula, fragmen Ngendong di atas mencirikan watak dan karakter orang Banyumas yang lekat dengan budaya ndopoknya (bercerita). Meski demikian, hakikak dari cerita yang digambarkan, sebenarnya bermuatan kritik kepada tokoh yang malas. Hal ini dicitrakan dalam tokoh Yu Lemu yang rentan dengan tubuh besarnya, gemar bercerita, dan suka menceritakan masalah keluarga kepada orang lain. Gambaran tersebut bertolak dengan sifat dan watak orang Banyumas yang cacundan (trengginas dan giat bekerja). Namun tidak dipungkiri, kebiasaan ngendong dalam kehidupan nyata sendiri, perlahan mulai mengikis. Itulah yang sebenarnya ingin direkatkan kembali pada cerkak Ngendong.
Kritik terhadap sikap dan karakter jati diri masyarakat Banyumas juga terselip dalam cerkak bertajuk Kaki Bengel. Perihal penamaan yang dilabelkan (dilegitimasi) oleh masyarakat hakikatnya merupakan kritik atas hilangnya nilai-nilai kearifan dan jati diri masyarakat Banyumas yang giat bekerja, sabar lan narima.  Lain halnya ketika menilik penokohan cerpen karangan Ahmad Tohari yang berjudul Senyum Karyamin. Watak dan penokohan Karyamin lebih mewakili sebagai masyarakat Banyumas yang nrima ing pandum. Dalam cerpen tersebut, Karyamin dikonotasikan sebagai sifat sabar dan menerima keadaan sekalipun hakikatnya sangat berat. Sebagai penambang batu yang hidupnya pas-pasan, sekalipun perutnya sudah tak dapat menahan lapar, ia tetap menolak dihutangi makanan. Pada gilirannya, Karyamin jatuh, tubuhnya tergelincir dan tumpah beserta batu-baru yang ia pikul di keranjang. Meskipun demikian, hal ini justru menarik. Sebab, dengan penokohan Kaki Bengel inilah, Agus Pribadi sedang mengkritisi tokoh yang kehilangan jati diri kebanyumasannya, yaitu kehilangan watak sabar lan narimanya.
Doresani. Adalah satu ungkapan khas yang tepat untuk menggambarkan keadaan Banyumas dewasa ini. Saya pun merasa prihatin, di era yang milenial, bahasa penginyongan nampaknya kurang diminati oleh sebagian kawula muda. Bahkan bukan saja perihal bahasa yang mulai mengikis. Nama orang, sandang, papan dan pangan sikap dan karakter masyarakat Banyumas yang terikat dengan nilai-nilai luhur pun mulai terpinggirkan. Demikianlah yang terangkum dalam kumpulan cerkak Doresani. Beberapa tradisi dan kebudayaan kebanyumasan yang digambarkan tengah mengalami metamorfosa dengan cukup kentara.
Bilamana generasi muda (khususnya masyarakat Banyumas) malu dan enggan menggunakan bahasa penginyongan, baik secara lisan atau tulisan, niscaya akan nambah ndoresani. Beruntung, saya masih menemukan perbendaharaan bahasa pengingyongan yang tergarap dengan baik di dalam kumpulan cerkak Doresani, anggitan Agus Pribadi. Itulah kenapa, saat membaca kumpulan cerkak tersebut, saya seolah sedang menemukan diri yang sejati. Diri di mana saya dilahirkan (proses mendapatkan bahasa ibu) dan menyerahkan kembali (bahasa ibu) ke muasal saya. Membaca cerkak-cerkak tersebut, pada gilirannya membuat saya manunggal bersama cerita. Antara teks dan pembaca seolah tak ada jarak yang memisahkan. Meski demikian, Doresani tetaplah artefak yang dapat ditilik untuk menziarahi Banyumas melalui karya sastra. Inilah laku sangkan paraning dhumadi yang dihayati oleh Agus Pribadi untuk kembali ke tanah asal, melalui bahasa ibunya.
Pinggir Kali Serayu, 15 Maret 2018

Share:

VIDEO PEMBELAJARAN

Frequency Counter Pengunjung

Artikel Terbaru

LINK SAYA

Komentar Terbaru

Konsultasi IPA