BELAJAR SEPANJANG HAYAT


Catatan Harian Seorang Guru IPA







Selamat berkunjung di blog kami, semoga bermanfaat

Sabtu, 12 November 2016

Babon


Cerpen Agus Pribadi

Aku banyak meniru majikanku, Bu Binah. Janda satu anak itu sangat melindungi buah hatinya. Bahkan nyawa pun, barangkali rela ia korbankan demi anaknya itu.
Gambar Pixabay.com
Pernah aku melihat majikanku melabrak anak tetangga yang telah memukul Toni, anaknya.
“Itu anakmu tolong dihajar ya, biar tak kurang ajar. Anakmu memukul anakku sampai bibirnya berdarah!” Semprot majikanku di depan rumah tetangganya, seorang ibu muda yang hanya bisa gemetaran dan mengeluarkan keringat dingin.
“Maafkan anak saya, Bu,” ucap tetangganya itu.
“Maaf...maaf...enak saja!” Majikanku meninggalkan rumah tetangganya dengan bibir dimonyongkan. Aku mengikutinya dari belakang bersama kedelapan anakku yang baru menetas beberapa hari yang lalu.
“Petok...petok...petok!” teriakku seakan ikut mengamini majikanku yang sedang marah.
“Piyek...piyek...piyek!” anak-anakku ikut berteriak-teriak.
Aku dipelihara majikanku sejak menetas. Aku tahu tabiat majikanku itu. Sejak suaminya dan dua anaknya yang lain meninggal dunia karena sebuah kecelakaan, majikanku menjadi sangat melindungi Toni, anak bungsunya yang menemani hidupnya kini. Jika ada teman sebaya, ataupun orang yang lebih tua menganggunya sedikit saja, baik serius maupun becanda, pasti akan dilabraknya. Toni sangat dikasihinya, aku sampai iri melihatnya. Sebagai babon, aku merasa perhatianku terbagi delapan ke anak-anakku sementara majikanku seratus persen perhatiannya untuk anaknya itu.
***
Aku puas memelihara babon itu. Kedelapan anaknya sangat dilindunginya. Pernah ada seekor ular yang mencoba memakan salah satu anaknya. Namun induk ayam itu dengan sigap melawannya. Sebelum ular itu mematuk anaknya, induk ayam itu dengan kecepatan tinggi mematuk kepala ular dengan paruhnya yang panjang. Ular itu pun melarikan diri menghilang di semak belukar. Aku takjub melihatnya. Andai dua anakku yang lain masih hidup, aku pasti akan melindungi semua anakku dengan sepenuh hati.
Aku kerap duduk di beranda rumah, menyaksikan induk ayam itu sedang mengais-ngais makanan di halaman rumah untuk kedelapan anaknya. Tingkahnya kadang lucu. Jika ada orang melintas, pasti akan diserangnya sehingga jarang yang berani melintas di depan rumahku. Mungkin menurut induk ayam itu, setiap orang yang melintas akan mengganggu anak-anaknya. Atau di mata babon itu, setiap orang yang melintas adalah pencuri ayam yang jahat.
Pernah suatu hari, seorang nenek penjual gorengan lari tunggang langgang dikejar babon peliharaanku itu. Sampai-sampai nenek itu jatuh terjerembab di depan rumahku. Babon itu pun menerjang sang nenek.
“Tolong...!” teriak nenek penjual gorengan ketakutan. Aku pura-pura tidak tahu, padahal aku mengintipnya dari balik tirai. Seorang lelaki muda yang melintas menolong nenek yang terjatuh tak berdaya itu sebelum di hajar habis oleh induk ayamku.
Ternyata yang menolong nenek penjual gorengan adalah Darno, adik iparku yang pengangguran, suka berjudi, dan suka minum-minum. Ia menolong pasti ada maunya. Mungkin karena ia sedang naksir sama Ningsih, kembang desa anak penjual gorengan itu.
“Terima kasih ya Mas Darno,” ucap nenek penjual gorengan.
“Sama-sama,” ucap Darno berlagak jagoan.
***
Malam pekat. Lamat-lamat dari dalam kandang, aku melihat sesosok tubuh kekar dengan kain sarung menutup wajahnya. Ia mengendap mendekati kandang  yang berada di belakang rumah. Cahaya bulan membantuku melihat kedua matanya yang tajam seakan ingin segera menangkapku. Dengan balok kayu di tangan kiri, orang berkain sarung itu semakin mendekati kandang dimana aku dan kedelapan anakku tinggal.
“Jangan ambil ayamku!” Toni berteriak saat tangan pencuri itu siap membuka pintu kandang. Orang itu menoleh ke arah sumber suara. Mendekatinya dengan balok kayu siap dihantamkan.
“Beraninya jangan sama anak kecil!” Majikanku datang, menghalangi orang asing itu yang akan memukulkan balok kayu itu ke kepala Toni. Majikanku menangkis balok kayu dengan tangan besarnya. Toni selamat, dan berlindung di belakang tubuh ibunya yang tambun.
“Buang balok kayu itu. Jadi lelaki jangan pengecut. Hadapi aku dengan tangan kosong!” Majikanku membentak orang asing itu. Balok kayu itu dilemparkan orang asing itu. Kini ia berhadap-hadapan dengan majikanku. Dua orang berbeda jenis kelamin siap saling serang.
***
Aku melihat seekor ular yang cukup besar memasuki kandang dimana babon dan anak-anaknya berada di dalamnya. Aku tak mungkin menolongnya. Karena di hadapanku ada pencuri ayam yang siap menyerangku dengan kepalan tangannya yang besar dan keras. Pencuri itu mengayunkan tinjunya ke arahku, aku menghindar. Saat masih gadis, aku pernah belajar ilmu silat, sehingga sudah terbiasa dengan serangan pukulan. Apalagi pukulan itu sepertinya tak terlatih. Sebelum aku ayunkan kakiku ke arah organ vitalnya, aku sempat melihat babonku melakukan perlawanan pada ular yang akan menyerangnya.
Secepat kilat, aku ayunkan kakiku tepat mengenai organ vitalnya. Pencuri itu tersungkur kesakitan.
“Ampun...ampun...ampun,” suara itu terdengar seperti tidak asing lagi.
“Buka sarungnya!” bentakku.
“Baiklah!”
Mataku terbelalak, ternyata ia adalah Darno, adik iparku yang pengangguran. Rumah Darno berada sekitar satu kilometer dari rumahku. Darno mungkin ingin menjual ayamku untuk berjudi, atau membeli minuman. Ia memang pemuda pengangguran yang meresahkan masyarakat.
“Ampun, Yu...Ampun, aku kapok,” Darno bersimpuh di depanku.
“Awas kalo kamu ulangi lagi, akan aku laporkan ke polisi!” ancamku.
“Aku kapok Yu.”
***
Aku terkaget ketika seekor ular cukup besar menyerangku. Padahal aku sedang melihat majikanku beraksi menghajar orang asing itu.
Meski aku melawan dengan segenap kemampuanku, tapi kali ini aku kewalahan menghadapi ular itu. Aku dipatukannya. Tapi aku rela, biarlah aku dimangsanya dari pada anak-anakku yang dimangsanya.
Semuanya gelap setelah tubuhku seperti disayat-sayat cairan yang berasal dari rahang ular itu. Aku terkapar.
***
Aku meraung melihat babonku terkapar tak bergerak. Ular yang mematuknya meninggalkan kandang itu sebelum aku, anakku dan Darno sempat memburu ular itu.
Aku melinangkan air mata. Demi anak-anaknya, induk ayamku rela mengorbankan nyawanya.[]
Banyumas, 29 Oktober 2012

Share:

0 komentar:

VIDEO PEMBELAJARAN

Arsip

Frequency Counter Pengunjung

Artikel Terbaru

LINK SAYA

Komentar Terbaru

Konsultasi IPA