Cerpen
Agus Pribadi
Aku
banyak meniru majikanku, Bu Binah. Janda satu anak itu sangat melindungi buah
hatinya. Bahkan nyawa pun, barangkali rela ia korbankan demi anaknya itu.
Gambar Pixabay.com
Pernah
aku melihat majikanku melabrak anak tetangga yang telah memukul Toni, anaknya.
“Itu
anakmu tolong dihajar ya, biar tak kurang ajar. Anakmu memukul anakku sampai
bibirnya berdarah!” Semprot majikanku di depan rumah tetangganya, seorang ibu
muda yang hanya bisa gemetaran dan mengeluarkan keringat dingin.
“Maafkan
anak saya, Bu,” ucap tetangganya itu.
“Maaf...maaf...enak
saja!” Majikanku meninggalkan rumah tetangganya dengan bibir dimonyongkan. Aku
mengikutinya dari belakang bersama kedelapan anakku yang baru menetas beberapa
hari yang lalu.
“Petok...petok...petok!”
teriakku seakan ikut mengamini majikanku yang sedang marah.
“Piyek...piyek...piyek!”
anak-anakku ikut berteriak-teriak.
Aku
dipelihara majikanku sejak menetas. Aku tahu tabiat majikanku itu. Sejak
suaminya dan dua anaknya yang lain meninggal dunia karena sebuah kecelakaan,
majikanku menjadi sangat melindungi Toni, anak bungsunya yang menemani hidupnya
kini. Jika ada teman sebaya, ataupun orang yang lebih tua menganggunya sedikit saja,
baik serius maupun becanda, pasti akan dilabraknya. Toni sangat dikasihinya, aku
sampai iri melihatnya. Sebagai babon, aku merasa perhatianku terbagi delapan ke
anak-anakku sementara majikanku seratus persen perhatiannya untuk anaknya itu.
***
Aku
puas memelihara babon itu. Kedelapan anaknya sangat dilindunginya. Pernah ada
seekor ular yang mencoba memakan salah satu anaknya. Namun induk ayam itu
dengan sigap melawannya. Sebelum ular itu mematuk anaknya, induk ayam itu
dengan kecepatan tinggi mematuk kepala ular dengan paruhnya yang panjang. Ular
itu pun melarikan diri menghilang di semak belukar. Aku takjub melihatnya.
Andai dua anakku yang lain masih hidup, aku pasti akan melindungi semua anakku
dengan sepenuh hati.
Aku
kerap duduk di beranda rumah, menyaksikan induk ayam itu sedang mengais-ngais
makanan di halaman rumah untuk kedelapan anaknya. Tingkahnya kadang lucu. Jika
ada orang melintas, pasti akan diserangnya sehingga jarang yang berani melintas
di depan rumahku. Mungkin menurut induk ayam itu, setiap orang yang melintas
akan mengganggu anak-anaknya. Atau di mata babon itu, setiap orang yang
melintas adalah pencuri ayam yang jahat.
Pernah
suatu hari, seorang nenek penjual gorengan lari tunggang langgang dikejar babon
peliharaanku itu. Sampai-sampai nenek itu jatuh terjerembab di depan rumahku.
Babon itu pun menerjang sang nenek.
“Tolong...!”
teriak nenek penjual gorengan ketakutan. Aku pura-pura tidak tahu, padahal aku
mengintipnya dari balik tirai. Seorang lelaki muda yang melintas menolong nenek
yang terjatuh tak berdaya itu sebelum di hajar habis oleh induk ayamku.
Ternyata
yang menolong nenek penjual gorengan adalah Darno, adik iparku yang
pengangguran, suka berjudi, dan suka minum-minum. Ia menolong pasti ada maunya.
Mungkin karena ia sedang naksir sama Ningsih, kembang desa anak penjual
gorengan itu.
“Terima
kasih ya Mas Darno,” ucap nenek penjual gorengan.
“Sama-sama,”
ucap Darno berlagak jagoan.
***
Malam
pekat. Lamat-lamat dari dalam kandang, aku melihat sesosok tubuh kekar dengan
kain sarung menutup wajahnya. Ia mengendap mendekati kandang yang berada di belakang rumah. Cahaya bulan
membantuku melihat kedua matanya yang tajam seakan ingin segera menangkapku.
Dengan balok kayu di tangan kiri, orang berkain sarung itu semakin mendekati
kandang dimana aku dan kedelapan anakku tinggal.
“Jangan
ambil ayamku!” Toni berteriak saat tangan pencuri itu siap membuka pintu
kandang. Orang itu menoleh ke arah sumber suara. Mendekatinya dengan balok kayu
siap dihantamkan.
“Beraninya
jangan sama anak kecil!” Majikanku datang, menghalangi orang asing itu yang
akan memukulkan balok kayu itu ke kepala Toni. Majikanku menangkis balok kayu
dengan tangan besarnya. Toni selamat, dan berlindung di belakang tubuh ibunya
yang tambun.
“Buang
balok kayu itu. Jadi lelaki jangan pengecut. Hadapi aku dengan tangan kosong!”
Majikanku membentak orang asing itu. Balok kayu itu dilemparkan orang asing
itu. Kini ia berhadap-hadapan dengan majikanku. Dua orang berbeda jenis kelamin
siap saling serang.
***
Aku
melihat seekor ular yang cukup besar memasuki kandang dimana babon dan
anak-anaknya berada di dalamnya. Aku tak mungkin menolongnya. Karena di
hadapanku ada pencuri ayam yang siap menyerangku dengan kepalan tangannya yang
besar dan keras. Pencuri itu mengayunkan tinjunya ke arahku, aku menghindar.
Saat masih gadis, aku pernah belajar ilmu silat, sehingga sudah terbiasa dengan
serangan pukulan. Apalagi pukulan itu sepertinya tak terlatih. Sebelum aku
ayunkan kakiku ke arah organ vitalnya, aku sempat melihat babonku melakukan
perlawanan pada ular yang akan menyerangnya.
Secepat
kilat, aku ayunkan kakiku tepat mengenai organ vitalnya. Pencuri itu tersungkur
kesakitan.
“Ampun...ampun...ampun,”
suara itu terdengar seperti tidak asing lagi.
“Buka
sarungnya!” bentakku.
“Baiklah!”
Mataku
terbelalak, ternyata ia adalah Darno, adik iparku yang pengangguran. Rumah
Darno berada sekitar satu kilometer dari rumahku. Darno mungkin ingin menjual
ayamku untuk berjudi, atau membeli minuman. Ia memang pemuda pengangguran yang
meresahkan masyarakat.
“Ampun,
Yu...Ampun, aku kapok,” Darno bersimpuh
di depanku.
“Awas
kalo kamu ulangi lagi, akan aku laporkan ke polisi!” ancamku.
“Aku
kapok Yu.”
***
Aku
terkaget ketika seekor ular cukup besar menyerangku. Padahal aku sedang melihat
majikanku beraksi menghajar orang asing itu.
Meski
aku melawan dengan segenap kemampuanku, tapi kali ini aku kewalahan menghadapi
ular itu. Aku dipatukannya. Tapi aku rela, biarlah aku dimangsanya dari pada
anak-anakku yang dimangsanya.
Semuanya
gelap setelah tubuhku seperti disayat-sayat cairan yang berasal dari rahang
ular itu. Aku terkapar.
***
Aku
meraung melihat babonku terkapar tak bergerak. Ular yang mematuknya
meninggalkan kandang itu sebelum aku, anakku dan Darno sempat memburu ular itu.
Aku
melinangkan air mata. Demi anak-anaknya, induk ayamku rela mengorbankan
nyawanya.[]
Banyumas, 29 Oktober
2012
0 komentar:
Posting Komentar