BELAJAR SEPANJANG HAYAT


Catatan Harian Seorang Guru IPA







Selamat berkunjung di blog kami, semoga bermanfaat

Selasa, 08 November 2016

Unggas-Unggas Bersayap Putih


Cerpen Agus Pribadi (Satelitpost, 6 September 2015)

Gambar Pixabay.com
Awalnya kau menyalahkan keadaan dan orang-orang di sekitarmu. Caci maki mengiringi kegoncangan jiwamu mengingkari kenyataan yang tak bisa kau terima. Namun lambat laun kau mulai menyalahkan dirimu sendiri. Menyesali keadaan yang telah terjadi. Nasi telah menjadi bubur.
Waktu bukanlah pita kaset yang bisa seenaknya diputar oleh pemiliknya. Waktu juga bukan sesuatu  yang mudah dikendalikan. Ia melesat seperti anak panah yang dilepaskan dari busurnya dan tak akan pernah kembali lagi.
Anak perempuan semata wayangmu yang kau beri nama Cinta sedang lucu-lucunya dan sedang senang-senangnya menjalani denyut kehidupan. Ia sangat menyukai makan bakso. Hampir setiap pulang kerja kau membawakannya  sebungkus bakso. Dan ketika tanggal satu tiba, kau akan membelikan bakso super untuknya. Bakso yang besarnya hampir sama dengan bola plastik yang biasa anakmu mainkan di depan sebuah kolam yang jika hujan airnya menggenang. Kau sempat khawatir kalau-kalau anakmu itu tercebur ke dalamnya saat melempar bola ke sana ke mari di dekat kolam. Namun seorang perempuan paruh baya lajang yang kau beri tugas untuk menjaganya selalu saja meyakinkanmu.
“Kau tenang saja, Cinta aman dalam pantauanku. Apalagi Cinta adalah keponakanku sendiri. Pasti aku akan menjaganya dengan sepenuh hati. Kau tenang saja saat bekerja.”
Dan ucapan kakak perempuanmu itu seperti mampu menyihirmu. Membuatmu tak lagi was-was saat meninggalkan Cinta untuk menuju tempat kerja. Membuatmu tak lagi cemas memikirkan mantan suamimu yang sewaktu-waktu bisa saja membawa Cinta meninggalkanmu.
Ketika kau pulang kerja, kau akan mendapati Cinta berlari ke arahmu.
“Ibu, baksonya mana...?”
Lantas kau akan menghidangkan satu mangkok bakso untuknya lengkap dengan kecap kesukaannya.
Atau jika Cinta sedang bermain di samping rumah, kau akan memanggil-manggil namanya.
“Cinta...kemarilah. Ibu membawakan satu mangkok bakso untukmu.”
Lantas kau akan mendengar suara langkah kaki mungil suaranya semakin keras menuju ke arahmu. Dengan kebiasaan anakmu itu, kau merasa terhibur dan mampu melupakan kisah cintamu dengan mantan suamimu yang kandas karena orang ketiga dalam kehidupan rumah tanggamu. Dia meninggalkanmu dan menyisakan Cinta yang kau pertahankan dengan sepenuh jiwamu.
“Silahkan kau pergi meninggalkanku, Mas. Asal jangan kau bawa serta Cinta dariku. Aku rela hidup tanpamu. Tapi aku tak rela jika harus berpisah dengan Cinta.”
Itu kalimat yang terucap dari bibirmu saat terakhir kali kau berjumpa dengan mantan suamimu. Dan sepertinya mantan suamimu itu mengindahkan ucapanmu itu. Ia tak pernah datang lagi menemuimu atau menemui Cinta, meski ada utusan yang datang untuk memberikan sejumlah uang untuk keperluan hidup Cinta. Meski kau tahu, mantan suamimu begitu sangat ingin bertemu dengan Cinta. Itu kau tahu dari utusan yang menyampaikan kerinduan yang dia pendam untuk anaknya itu. Namun kau belum juga mengizinkan dia untuk bertemu dengan anakmu. Pun saat Lebaran kemarin, kau belum juga merelakan anakmu untuk ditemui ayahnya.
Sampai tibalah suatu hari yang tak mungkin terlupakan sepanjang hidupmu. Hari itu tanggal satu. Sepulang kerja kau mampir ke sebuah warung bakso yang ramai pembeli. Kau membeli tiga bungkus bakso super untuk nantinya kau makan bersama Cinta dan penjaganya.
Kau memacu kendaraan lebih cepat. Meski secepat apapun kau memacu motor matic-mu namun baru setengah jam kemudian kau akan sampai ke rumahmu.
Di rumah, kakak perempuanmu sedang asyik memencet-mencet tombol telepon genggam yang belum lama dibelinya. Ia tak menghiraukan seorang anak kecil berumur empat tahun yang kesulitan mengambil bola plastik yang tercebur ke dalam kolam samping rumah.
Kakak perempuanmu masih saja asyik dengan telepon genggamnya. Sepertinya ia sedang berkomunikasi dengan seseorang, mungkin dengan teman karibnya. Atau mungkin saja dengan kekasihnya. Sementara seorang anak kecil yang seharusnya selalu dalam pengawasannya kini sudah menceburkan diri ke dalam kolam yang sebenarnya tidak terlalu dalam. Mungkin ia menirukan beberapa ekor unggas yang kerap dilihatnya sedang menceburkan diri sambil mengepakkan sayapnya. Namun anak itu tak menyadari kalau dirinya tak punya sayap. Kaki mungil itu terpeleset ketika akan naik kembali ke daratan setelah berhasil mengambil bola plastik. Ia kembali tercebur ke air kolam yang berwarna coklat. Suara kecipak air tak mampu menjangkau telinga wanita yang sedang asyik mengenakan earphone itu.
Suara sepeda motor matik juga tak terdengar oleh telinga perempuan yang sedang tenggelam di dunia maya itu.
“Mana Cinta?” baru ketika pertanyaan itu terlontar dari jarak dua meter, perempuan itu melepaskan earphone-nya.
“Cinta sedang bermain di samping rumah.” Ucap perempuan itu santai.
“Cinta...kemarilah, ibu membawakan semangkuk bakso super untukmu.” Biasanya Cinta akan berlari mendekati sumber suara. Namun kali ini tidak. Tak ada sahutan ataupun suara langkah kaki mendekat.
Dadamu kini bergemuruh. Jantungmu seperti berlompatan. Kau teringat mimpimu tadi malam. Anakmu dibawa terbang oleh tiga ekor unggas bersayap putih yang berenang di air kolam samping rumah. Dalam mimpimu itu, anakmu memiliki sayap seperti ketiga ekor unggas yang membawanya terbang. Kali ini kau sangat terpengaruh oleh mimpimu itu.
Kau pun berlari ke samping rumah setelah sebelumnya dengan spontan kau buang bakso dalam mangkok dan juga yang masih terbungkus dalam plastik. Semuanya tumpah ruah di atas lantai. Benar saja, kau mendapati tubuh anak tercintamu itu telah kaku, mengapung di air kolam.[]
Banyumas, 19 Juli 2015

Share:

0 komentar:

VIDEO PEMBELAJARAN

Arsip

Frequency Counter Pengunjung

Artikel Terbaru

LINK SAYA

Komentar Terbaru

Konsultasi IPA