Cerpen Agus Pribadi (Satelitpost, 6 September 2015)
Gambar Pixabay.com
Awalnya
kau menyalahkan keadaan dan orang-orang di sekitarmu. Caci maki mengiringi
kegoncangan jiwamu mengingkari kenyataan yang tak bisa kau terima. Namun lambat
laun kau mulai menyalahkan dirimu sendiri. Menyesali keadaan yang telah
terjadi. Nasi telah menjadi bubur.
Waktu
bukanlah pita kaset yang bisa seenaknya diputar oleh pemiliknya. Waktu juga
bukan sesuatu yang mudah dikendalikan.
Ia melesat seperti anak panah yang dilepaskan dari busurnya dan tak akan pernah
kembali lagi.
Anak
perempuan semata wayangmu yang kau beri nama Cinta sedang lucu-lucunya dan
sedang senang-senangnya menjalani denyut kehidupan. Ia sangat menyukai makan
bakso. Hampir setiap pulang kerja kau membawakannya sebungkus bakso. Dan ketika tanggal satu tiba,
kau akan membelikan bakso super untuknya. Bakso yang besarnya hampir sama
dengan bola plastik yang biasa anakmu mainkan di depan sebuah kolam yang jika
hujan airnya menggenang. Kau sempat khawatir kalau-kalau anakmu itu tercebur ke
dalamnya saat melempar bola ke sana ke mari di dekat kolam. Namun seorang perempuan
paruh baya lajang yang kau beri tugas untuk menjaganya selalu saja
meyakinkanmu.
“Kau
tenang saja, Cinta aman dalam pantauanku. Apalagi Cinta adalah keponakanku
sendiri. Pasti aku akan menjaganya dengan sepenuh hati. Kau tenang saja saat
bekerja.”
Dan
ucapan kakak perempuanmu itu seperti mampu menyihirmu. Membuatmu tak lagi
was-was saat meninggalkan Cinta untuk menuju tempat kerja. Membuatmu tak lagi
cemas memikirkan mantan suamimu yang sewaktu-waktu bisa saja membawa Cinta
meninggalkanmu.
Ketika
kau pulang kerja, kau akan mendapati Cinta berlari ke arahmu.
“Ibu,
baksonya mana...?”
Lantas
kau akan menghidangkan satu mangkok bakso untuknya lengkap dengan kecap
kesukaannya.
Atau
jika Cinta sedang bermain di samping rumah, kau akan memanggil-manggil namanya.
“Cinta...kemarilah.
Ibu membawakan satu mangkok bakso untukmu.”
Lantas
kau akan mendengar suara langkah kaki mungil suaranya semakin keras menuju ke
arahmu. Dengan kebiasaan anakmu itu, kau merasa terhibur dan mampu melupakan
kisah cintamu dengan mantan suamimu yang kandas karena orang ketiga dalam
kehidupan rumah tanggamu. Dia meninggalkanmu dan menyisakan Cinta yang kau
pertahankan dengan sepenuh jiwamu.
“Silahkan
kau pergi meninggalkanku, Mas. Asal jangan kau bawa serta Cinta dariku. Aku
rela hidup tanpamu. Tapi aku tak rela jika harus berpisah dengan Cinta.”
Itu
kalimat yang terucap dari bibirmu saat terakhir kali kau berjumpa dengan mantan
suamimu. Dan sepertinya mantan suamimu itu mengindahkan ucapanmu itu. Ia tak
pernah datang lagi menemuimu atau menemui Cinta, meski ada utusan yang datang
untuk memberikan sejumlah uang untuk keperluan hidup Cinta. Meski kau tahu,
mantan suamimu begitu sangat ingin bertemu dengan Cinta. Itu kau tahu dari
utusan yang menyampaikan kerinduan yang dia pendam untuk anaknya itu. Namun kau
belum juga mengizinkan dia untuk bertemu dengan anakmu. Pun saat Lebaran
kemarin, kau belum juga merelakan anakmu untuk ditemui ayahnya.
Sampai
tibalah suatu hari yang tak mungkin terlupakan sepanjang hidupmu. Hari itu
tanggal satu. Sepulang kerja kau mampir ke sebuah warung bakso yang ramai
pembeli. Kau membeli tiga bungkus bakso super untuk nantinya kau makan bersama
Cinta dan penjaganya.
Kau
memacu kendaraan lebih cepat. Meski secepat apapun kau memacu motor matic-mu namun baru setengah jam
kemudian kau akan sampai ke rumahmu.
Di
rumah, kakak perempuanmu sedang asyik memencet-mencet tombol telepon genggam
yang belum lama dibelinya. Ia tak menghiraukan seorang anak kecil berumur empat
tahun yang kesulitan mengambil bola plastik yang tercebur ke dalam kolam
samping rumah.
Kakak
perempuanmu masih saja asyik dengan telepon genggamnya. Sepertinya ia sedang berkomunikasi
dengan seseorang, mungkin dengan teman karibnya. Atau mungkin saja dengan
kekasihnya. Sementara seorang anak kecil yang seharusnya selalu dalam
pengawasannya kini sudah menceburkan diri ke dalam kolam yang sebenarnya tidak
terlalu dalam. Mungkin ia menirukan beberapa ekor unggas yang kerap dilihatnya
sedang menceburkan diri sambil mengepakkan sayapnya. Namun anak itu tak
menyadari kalau dirinya tak punya sayap. Kaki mungil itu terpeleset ketika akan
naik kembali ke daratan setelah berhasil mengambil bola plastik. Ia kembali
tercebur ke air kolam yang berwarna coklat. Suara kecipak air tak mampu
menjangkau telinga wanita yang sedang asyik mengenakan earphone itu.
Suara
sepeda motor matik juga tak terdengar
oleh telinga perempuan yang sedang tenggelam di dunia maya itu.
“Mana
Cinta?” baru ketika pertanyaan itu terlontar dari jarak dua meter, perempuan
itu melepaskan earphone-nya.
“Cinta
sedang bermain di samping rumah.” Ucap perempuan itu santai.
“Cinta...kemarilah,
ibu membawakan semangkuk bakso super untukmu.” Biasanya Cinta akan berlari
mendekati sumber suara. Namun kali ini tidak. Tak ada sahutan ataupun suara
langkah kaki mendekat.
Dadamu
kini bergemuruh. Jantungmu seperti berlompatan. Kau teringat mimpimu tadi
malam. Anakmu dibawa terbang oleh tiga ekor unggas bersayap putih yang berenang
di air kolam samping rumah. Dalam mimpimu itu, anakmu memiliki sayap seperti
ketiga ekor unggas yang membawanya terbang. Kali ini kau sangat terpengaruh
oleh mimpimu itu.
Kau
pun berlari ke samping rumah setelah sebelumnya dengan spontan kau buang bakso
dalam mangkok dan juga yang masih terbungkus dalam plastik. Semuanya tumpah
ruah di atas lantai. Benar saja, kau mendapati tubuh anak tercintamu itu telah
kaku, mengapung di air kolam.[]
Banyumas,
19 Juli 2015
0 komentar:
Posting Komentar