Cerpen
Agus Pribadi
Sebagai
pengarang yang mulai naik daun, hari ini aku merasa heran. Tak ada ide. Sudah
kucoba mencarinya, namun tak juga kumenemukannya. Aku mencoba keluar rumah,
pergi ke sawah, naik sepeda, mengunjungi saudara. Tetap saja tak ada ide.
Gambar Pixabay.com
Entahlah
mungkin karena hari ini aku begitu sibuk. Tadi malam ada yang mengundangku jadi
pembicara seputar kepenulisan. Pulangnya kehujanan. Ya, mungkin itu salah satu
penyebabnya. Tapi belum tentu juga. Aku tak boleh menyalahkan sesuatu di luar
diriku. Aku harus menemukan ide. Jangan sampai aku kembali tenggelam gara-gara
tak menemukan ide.
Biasanya
aku menulis dengan mudah, melihat orang ditepi jalan saja bisa kujadikan ide
menulis cerita. Melihat foto profil Facebook juga bisa menjadi ide cerita.
Seakan-akan dunia ini dipenuhi dengan cerita. Menuliskannya pun sangat mengalir
seperti air yang mengalir pada pipa besar bebas hambatan. Seperti air terjun
yang airnya mengalir deras ke bawah.
Dan
hari ini aku benar-benar menyerah. Aku sudah mengunjungi salah satu pakar
cerpen yang kebetulan juga temanku.
“Apa
harus menulis setiap hari?” tanya Bondan, temanku yang juga pakar cerpen.
“Ya
tidak harus sih. Tapi aku kan sedang mencoba menulis setiap hari.”
“Bisa
saja menulis setiap hari, tapi kan tidak harus dipaksakan.”
“Jadi
saranmu padaku?”
“Ya,
itu tadi.”
Aku
meinggalkan temanku ketika aku belum paham benar apa yang dia ucapkan, seperti
ia tidak mendukungku. Dia ingin aku yang wajar-wajar saja, tapi aku ingin
berarya sebanyak-banyaknya.
Esok
harinya aku kebali mencoba mencari ide. Tadi malam aku tidur nyenyak dengan
harapan esok paginya pikiranku segar kebali dan ide akan berdatangan. Tapi
harapanku itu tak juga menjadi kenyataann. Pagi hari yang sejuk tak juga muncul
ide sampai matahari mulai malu-malu memancarkan sinarnya. Aku kembali mencoba
mencari ide. Aku mondar-mandir di depan rumah seperti orang sedang memikirkan
sesuatu yang berat.
“Hei,
Di. Apa yang sedang kau pikirkan tampaknya kau begitu serius?” tanya Anto
temanku sejak kecil.kebetulan ia sedang lewat rumahku, pulang dari warung.
“Tak
memikirkan apa-apa, To,” sahutku santai.
Aku
pun pergi ke pantai. Melihat lautan yang luas. Aku bertanya pada diri sendiri.
kenapa pikiranku tak seluas lautan itu? aku tak mampu menampung ide-ide yang
sebenarnya banyak sekali namun menjadi tidak ada karena mungkin pikiranku yang
terlalu sempit. Andai pikiranku seluas lautan itu pasti aku akan menulis cerita
sebanyak-banyaknya.
Ketika
aku melihat debur ombak membentur batu karang, aku iri pada batu karang yang dengan
teguh bertahan dari hempasan ombak. Sementara aku, merasa kesulitan menemukan
ide dan belum mampu mengatasinya.
Aku
menyewa sebuah perahu, bersama pemilik perahu aku mengarungi lautan. Indah
sekali pemandangannya. Namun aku tetap saja tidak menemukan ide. Padahal aku
melewati tanaman bakau yang indah. Ada burung-burung di atasnya. Ada kepiting
di tepian.
Aku
pulang ke rumah dengan pikiran hampa. Pada hari ketiga sejak aku merasa tak
menemukan ide, tetap saja aku tak memiliki ide. Aku membaca-baca lagi
karya-karyaku yang sudah dimuat di koran-koran. Cerpen-cerpen yang aku tulis
dengan mudah, hanya dengan melihat sesuatu saja, pada waktu itu, bisa aku
tuliskan menjadi sebuah cerpen yang menawan.
Aku
juga membaca cerpen-cerpen karya penulis lain baik yang ada di koran, maupun
yang ada pada buku antologi baik yang tunggal ataupun yang banyak orang.
Tulisan-tulisan mereka umumnya bagus, diksinya kaya, ceitanya enak dinikmati
dan diresapi maknanya. Aku suka penulis-penulis dalam negeri baik yang sudah
lama berkecimpung maupun yang belum lama.
Pada
hari ketujuh tanpa ide, kebetulan hari minggu, aku benar-benar tak peduli lagi
dengan ide. Aku memutuskan akan istirahat tanpa menulis di rumah saudara. Aku
tak membawa laptop. Aku juga tak membawa android. Aku tak berkesempatan lagi
untuk menulis apa-apa. Aku akan santai-santai saja di rumah saudara.
“Kenapa
kau tak membawa laptop? Biasanya kau membawa laptop saat kemari, apa karena kau
tak cinta lagi sama menulis? Baru setahun dua tahun kau menulis tapi sepertinya
kau merasa sudah cukup ilmu,” tanya saudaraku yang juga sesekali menulis cerpen
atau puisi ke media, ada yang dimuat tapi banyak yang ditolaknya juga.
“Aku
tetap cinta menulis, hanya saja aku ingin beristirahat sehari ini.”
“Bagus
itu, itu berarti kau tak egois hanya memikirkan diri sendiri. ada orang di
sekitarmu juga butuh perhatianmu, misalnya anak dan istri. Mereka juga memiliki
hak untuk bisa berkomunikasi denganmu secara langsung tanpa disertai dengan
melakukan aktivitas lain, mengetik misalnya.
Dan
ketika aku benar-benar mulai menerima atas tak adanya ide itu, muncullah ide
menulis cerita. Aku mencari-cari laptop. Biasanya begitu ide ketemu aku
langsung membuka laptop dan berusaha mengetik ide itu dan menjadikannya cerita.
Kali ini tak ada fasilitas yang bisa kugunakan untuk menulis cerita. Semua ada
di rumah. aku enggan mengambilnya karena jaraknya sekitar 40 km. Akhirnyal ide
yang kudapatkan kembali menguap. Aku seperti menjadi pengarang tanpa karya.
Banyumas, 30
Maret 2016
0 komentar:
Posting Komentar