Oleh Agus Pribadi
Lelaki itu masih muda.
Setiap Sabtu menunggang kereta. Dari Purwokerto ke Jakarta. Dari Jakarta ke
Purwokerto. Tanpa tujuan pasti. Sekedar menghilangkan lara hati. Menghibur diri
yang sedih tak berperi.
Gambar Pixabay.com
Kuliahnya belum lagi
rampung. Skripsinya terbengkalai. Terbias oleh problem hidupnya. Yang ia
biarkan menjadi rahasia hatinya. Ia memilih bertani di rumah dengan
orangtuanya. Melanjutkan sisa bara gairah hidupnya yang seakan padam diguyur
ketidakberdayaan. Dirinya berasap, asap sisa bara yang pernah panas membara.
Sabtu pagi ini ia
bergegas masuk ke dalam kereta. Siap-siap menunggu pemberangkatan kereta
ekonomi. Di dalam kereta ia menemukan kesejukkan hatinya. Membuang segala yang
menyesak di dada. Labuhan hatinya. Ia kerap membayangkan semasa aktif kuliah
dulu. Ia seorang aktivis yang menjadi teladan adik-adik angkatannya.
“Jadi aktivis mahasiswa
harus setegar karang,”ucapnya berapi-api dengan tangan mengepal dan mata
bersinar. Adik-adik angkatannya mengangguk-angguk dengan mimik keluguan. Banyak
mahasiswi yang mengidolakannya. Ganteng, cerdas, wibawa, bijaksana, dan seabrek
sifat terpuji lainnya. Gadis mana yang tak jatuh cinta. Bunga kampus pun pernah
ditolaknya. Entah apa yang dicarinya dalam hidup ini?
Tak ada yang menduga
sebulan kemudian ia menghilang bak ditelan bumi. Tidak lagi berangkat ke
kampus. Entah apa yang membuatnya demikian.
Tatkala teman-temannya
mendatangi rumahnya. Ia sedang menanam cabai bareng ayahnya di sawah.
“Ilham!” panggil teman-teman
kampusnya.
“Hoi!” balasnya. Ia pun
mendekati teman-temannya dan mengajaknya pulang
dari sawah ke rumahnya yang tak jauh dari sawah.
“Kapan ke kampus?”
tanya seorang temannya.
“Gampanglah nanti. Aku
tinggal skripsi kok,” jawabnya santai. Ia memang paling pintar menyimpan
rahasia hatinya.
Sebulan, setahun, dua
tahun kemudian tak ada tanda-tanda ia berangkat ke kampus. Teman-temannya tak
berhasil membujuknya. Satu persatu teman-temannya telah wisuda.
Ia tersadar dari
lamunannya. Kini ia merasakan aroma khas kereta ekonomi yang penuh sesak. Asap
rokok, bau tubuh-tubuh bercampur peluh, dan lain-lain yang bercampur aduk.
Baginya semua itu adalah hiasan kereta yang indah. Ia merasa menjadi satria
penunggang kuda, mengalahkan kejenuhan hidup yang mengungkungnya. Tiga ratus
tiket kereta telah ia kumpulkan. Demi menunggang kereta kesayangan.
“Mau kemana Mas?” tanya
seorang penumpang di sampingnya.
“Ke Jakarta,” jawabnya
singkat.
Dan tatkala pulang ia
akan ditanya pertanyaan serupa oleh penumpang lainnya.
“Ke Purwokerto,”
jawabnya singkat pula.
***
Sabtu pagi. Ia
terbangun kesiangan. Kereta pagi telah meringkik meninggalkannya. Ia hanya bisa
terpekur di stasiun, sampai sejam kemudian televisi stasiun mengabarkan terjadi
tabrakan kereta yang biasa ia tunggangi. Berpuluh nyawa menjadi korbannya.
Ia menitikkan airmata. Terbayang
ke depan tak lagi menunggang kereta kesayangannya.
Kini, setiap Sabtu, ia
menjadi penunggu kereta di stasiun. Sampai kemudian ia kembali menunggang
kereta kesayangannya.
Tak terasa tiga puluh
tahun sudah ia menunggang kereta. Rambutnya yang mulai memutih. Kesetiaannya
pada kereta tak pernah pudar. Lelaki penunggang kereta. Menjadi lukisan hidup
yang terpajang di dinding sepenggal kisah manusia. []
0 komentar:
Posting Komentar