BELAJAR SEPANJANG HAYAT


Catatan Harian Seorang Guru IPA







Selamat berkunjung di blog kami, semoga bermanfaat

Sabtu, 12 November 2016

Lelaki Penunggang Kereta


Oleh Agus Pribadi

Lelaki itu masih muda. Setiap Sabtu menunggang kereta. Dari Purwokerto ke Jakarta. Dari Jakarta ke Purwokerto. Tanpa tujuan pasti. Sekedar menghilangkan lara hati. Menghibur diri yang sedih tak berperi.


Gambar Pixabay.com
Kuliahnya belum lagi rampung. Skripsinya terbengkalai. Terbias oleh problem hidupnya. Yang ia biarkan menjadi rahasia hatinya. Ia memilih bertani di rumah dengan orangtuanya. Melanjutkan sisa bara gairah hidupnya yang seakan padam diguyur ketidakberdayaan. Dirinya berasap, asap sisa bara yang pernah panas membara.

Sabtu pagi ini ia bergegas masuk ke dalam kereta. Siap-siap menunggu pemberangkatan kereta ekonomi. Di dalam kereta ia menemukan kesejukkan hatinya. Membuang segala yang menyesak di dada. Labuhan hatinya. Ia kerap membayangkan semasa aktif kuliah dulu. Ia seorang aktivis yang menjadi teladan adik-adik angkatannya.

“Jadi aktivis mahasiswa harus setegar karang,”ucapnya berapi-api dengan tangan mengepal dan mata bersinar. Adik-adik angkatannya mengangguk-angguk dengan mimik keluguan. Banyak mahasiswi yang mengidolakannya. Ganteng, cerdas, wibawa, bijaksana, dan seabrek sifat terpuji lainnya. Gadis mana yang tak jatuh cinta. Bunga kampus pun pernah ditolaknya. Entah apa yang dicarinya dalam hidup ini?

Tak ada yang menduga sebulan kemudian ia menghilang bak ditelan bumi. Tidak lagi berangkat ke kampus. Entah apa yang membuatnya demikian.

Tatkala teman-temannya mendatangi rumahnya. Ia sedang menanam cabai bareng ayahnya di sawah.
“Ilham!” panggil teman-teman kampusnya.
“Hoi!” balasnya. Ia pun mendekati teman-temannya dan mengajaknya pulang  dari sawah ke rumahnya yang tak jauh dari sawah.
“Kapan ke kampus?” tanya seorang temannya.
“Gampanglah nanti. Aku tinggal skripsi kok,” jawabnya santai. Ia memang paling pintar menyimpan rahasia hatinya.
Sebulan, setahun, dua tahun kemudian tak ada tanda-tanda ia berangkat ke kampus. Teman-temannya tak berhasil membujuknya. Satu persatu teman-temannya telah wisuda.

Ia tersadar dari lamunannya. Kini ia merasakan aroma khas kereta ekonomi yang penuh sesak. Asap rokok, bau tubuh-tubuh bercampur peluh, dan lain-lain yang bercampur aduk. Baginya semua itu adalah hiasan kereta yang indah. Ia merasa menjadi satria penunggang kuda, mengalahkan kejenuhan hidup yang mengungkungnya. Tiga ratus tiket kereta telah ia kumpulkan. Demi menunggang kereta kesayangan.

“Mau kemana Mas?” tanya seorang penumpang di sampingnya.
“Ke Jakarta,” jawabnya singkat.
Dan tatkala pulang ia akan ditanya pertanyaan serupa oleh penumpang lainnya.
“Ke Purwokerto,” jawabnya singkat pula.
***
Sabtu pagi. Ia terbangun kesiangan. Kereta pagi telah meringkik meninggalkannya. Ia hanya bisa terpekur di stasiun, sampai sejam kemudian televisi stasiun mengabarkan terjadi tabrakan kereta yang biasa ia tunggangi. Berpuluh nyawa menjadi korbannya.

Ia menitikkan airmata. Terbayang ke depan tak lagi menunggang kereta kesayangannya.

Kini, setiap Sabtu, ia menjadi penunggu kereta di stasiun. Sampai kemudian ia kembali menunggang kereta kesayangannya.

Tak terasa tiga puluh tahun sudah ia menunggang kereta. Rambutnya yang mulai memutih. Kesetiaannya pada kereta tak pernah pudar. Lelaki penunggang kereta. Menjadi lukisan hidup yang terpajang di dinding sepenggal kisah manusia. []

Share:

0 komentar:

VIDEO PEMBELAJARAN

Arsip

Frequency Counter Pengunjung

Artikel Terbaru

LINK SAYA

Komentar Terbaru

Konsultasi IPA