(Apresiasi Atas Cerpen “Anak ini Mau Mengencingi Jakarta?” karya Ahmad Tohari)
Oleh
Agus Pribadi*
Membaca
cerpen “Anak ini Mau Mengencingi Jakarta?” karya Ahmad Tohari -yang dimuat
Kompas, 13 September 2015- seperti membaca cerita pendek (cerpen) yang sejati.
Dalam artian cerpen yang sebenar-benarnya cerpen.
Gambar Pixabay.com
Cerpen
ini bercerita tentang kehidupan tiga orang warga penghuni pinggiran rel kereta
api di Jakarta dengan segala suka dukanya dalam menikmati sepotong waktu (pagi
hari). Digambarkan seorang bapa yang sedang menyuapi mi instan rebus pada anak
lelakinya yang berusia lima tahunan, sementara emak si bocah atau entah
siapanya sedang tertidur karena barangkali semalam sudah lelah bekerja.
Kehidupan wong cilik, kaum papa, atau orang-orang yang terpinggirkan itu
barangkali terpotret oleh penumpang, petugas kereta api, dan pramusaji yang
sedang membuang bungkusan sisa makanan tepat di dekat ketiga kaum papa
tersebut. Hal itu terjadi saat kereta malam dari timur arah Jakarta sedang
berhenti. Anak kecil itu sebenarnya tertarik untuk mengambilnya namun ia kalah
cepat dengan seekor anjing yang baru saja kencing di tempat itu. Pada akhir
cerita si ayah memikirkan ucapannya pada anaknya. Ucapan
yang mengatakan
anaknya boleh kencing di mana pun di Jakarta asal tidak di dekat punggung
emaknya. Dan mereka bertiga pun meninggalkan tempat itu agar tidak menjadi
tontonan orang lain.
Ada
beberapa alasan yang membuat cerpen tersebut merupakan cerpen yang sejati :
Pertama,
cerpen ini mengandung keganjilan atau ironi. Sebagaimana menurut Agus Noor dan
Seno Gumira Ajidarma, bahwa sebuah cerpen hendaknya mengandung hal tersebut.
Perhatikan petikan cerpen tersebut di bawah ini :
”Nah,
dengar ini! Kamu boleh kencing di mana pun seluruh Jakarta; di Menteng, di
pinggir Jalan Thamrin, di lapangan belakang Stasiun Gambir, di sepanjang
gili-gili Kebayoran Baru, juga boleh kencing di Senayan. Dengar itu?”
Paragraf
di atas merupakan kalimat yang diucapkan oleh tokoh bapa kepada anaknya yang
berumur lima tahunan, di sampingnya ada emaknya atau entah siapanya yang sedang
tertidur. Ketiganya adalah warga yang tinggal di pinggiran rel kereta api di
sebuah tempat di Jakarta. Sungguh, sebuah keganjilan sekaligus ironi, ketika
seorang anak sambil disuapi mi instan rebus oleh bapanya bercanda ria hingga
memunculkan percakapan seperti itu. Seperti pemandangan yang sangat kontras
dengan magnet hingar bingar dan gemerlap kemewahan kota Jakarta yang mampu
menyihir banyak orang untuk mengadu nasib ke kota itu. Kehidupan dan percakapan
wong cilik, kaum papa, orang terpinggirkan begitu merdeka meski jika didengar
oleh orang lain barangkali bisa memiliki makna yang beraneka macam tergantung
dari siapa yang mendengarnya. Barangkali mereka-para kaum papa itu- tak mau
tahu atau benar-benar tak tahu atau tak menyadari setiap ucapan yang keluar
dari mulutnya karena bagi mereka yang penting bisa gembira dan merdeka meski
hidup jauh dari kata standar minimal.
Kedua,
cerpen ini berkisah dalam selang waktu ketika kereta berjalan, berhenti,
kemudian akan berjalan lagi. Barangkali hanya sekitar setengah atau satu jam.
Dalam waktu yang singkat itu Ahmad Tohari berhasil menarasikan dan
mendeskripsikan alur, plot, latar tempat, latar gerak tubuh tokoh hingga
menggelitik bahkan merangsang imajinasi pembaca. Barangkali ini hanya bisa
dituliskan oleh penulis yang sudah berpengalaman. Sebagaimana Ahmad Tohari
sudah berpengalaman menulis cerita pendek sejak tahun 1970an sampai sekarang.
Sungguh, sebuah jam terbang yang menunjukkan pengalaman, dedikasi, dan
konsistensi yang sudah teruji dan terbukti dalam mendarma baktikan karyanya di
bidang prosa. Meski mengandung berbagai variasi penulisan, namun sebagian
pendapat mengatakan bahwa sebuah cerpen mengandung sebuah kejadian yang
singkat. Dan cerpen ini telah memenuhinya.
Ketiga,
Ahmad Tohari tidak sekadar menulis cerita dengan segala imajinasi dan
kepiawaian mendongeng, dan menabur diksi. Ibarat mendongeng, Ahmad Tohari tidak
sekadar mendongeng hal-hal yang kosong dan mengawang-awang yang boleh jadi akan
cepat dilupakan pembacanya. Lebih dari itu, Ahmad Tohari senantiasa membawa
pesan-pesan agung dalam setiap cerpen yang ditulisnya termasuk cerpen ini.
Perhatikan penggalan cerpen ini :
....Mata
anak yang masih sejati itu bergulir-gulir mengikuti gerak ayunan tangan ayahnya
yang menjimpit kantung mi istan....
Narasi
yang dituliskan Ahmad Tohari mampu menyingkap dunia batin yang paling suci dari
tokoh-tokoh rekaannya, termasuk tokoh bocah lima tahunan itu melalui kata-kata
“mata anak yang masih sejati.”
Ahmad
Tohari merupakan cerpenis yang sangat konsisten dengan visi kepengarangan dunia
batin orang-orang kecil, kaum papa, dan kaum yang terpinggirkan. Mengenai dunia
batin tokoh-tokoh rekaan Ahmad Tohari juka pernah diulas oleh S Prasetyo Utomo.
Ahmad Tohari pun mengaku kurang tertarik menuliskan cerpen tentang dunia yang
berkebalikan dengan dunia yang menjadi visi kepangarangannya selama ini. Salam
takzim untuk Ahmad Tohari.[]
cerpen tersebut dapat diibaca di sini
0 komentar:
Posting Komentar