BELAJAR SEPANJANG HAYAT


Catatan Harian Seorang Guru IPA







Selamat berkunjung di blog kami, semoga bermanfaat

Selasa, 15 November 2016

Cerita Pendek yang Sejati


(Apresiasi Atas Cerpen “Anak ini Mau Mengencingi Jakarta?” karya Ahmad Tohari)
Oleh Agus Pribadi*
Membaca cerpen “Anak ini Mau Mengencingi Jakarta?” karya Ahmad Tohari -yang dimuat Kompas, 13 September 2015- seperti membaca cerita pendek (cerpen) yang sejati. Dalam artian cerpen yang sebenar-benarnya cerpen.
Gambar Pixabay.com
Cerpen ini bercerita tentang kehidupan tiga orang warga penghuni pinggiran rel kereta api di Jakarta dengan segala suka dukanya dalam menikmati sepotong waktu (pagi hari). Digambarkan seorang bapa yang sedang menyuapi mi instan rebus pada anak lelakinya yang berusia lima tahunan, sementara emak si bocah atau entah siapanya sedang tertidur karena barangkali semalam sudah lelah bekerja. Kehidupan wong cilik, kaum papa, atau orang-orang yang terpinggirkan itu barangkali terpotret oleh penumpang, petugas kereta api, dan pramusaji yang sedang membuang bungkusan sisa makanan tepat di dekat ketiga kaum papa tersebut. Hal itu terjadi saat kereta malam dari timur arah Jakarta sedang berhenti. Anak kecil itu sebenarnya tertarik untuk mengambilnya namun ia kalah cepat dengan seekor anjing yang baru saja kencing di tempat itu. Pada akhir cerita si ayah memikirkan ucapannya pada anaknya. Ucapan yang mengatakan anaknya boleh kencing di mana pun di Jakarta asal tidak di dekat punggung emaknya. Dan mereka bertiga pun meninggalkan tempat itu agar tidak menjadi tontonan orang lain.
Ada beberapa alasan yang membuat cerpen tersebut merupakan cerpen yang sejati :
Pertama, cerpen ini mengandung keganjilan atau ironi. Sebagaimana menurut Agus Noor dan Seno Gumira Ajidarma, bahwa sebuah cerpen hendaknya mengandung hal tersebut. Perhatikan petikan cerpen tersebut di bawah ini :
”Nah, dengar ini! Kamu boleh kencing di mana pun seluruh Jakarta; di Menteng, di pinggir Jalan Thamrin, di lapangan belakang Stasiun Gambir, di sepanjang gili-gili Kebayoran Baru, juga boleh kencing di Senayan. Dengar itu?”
Paragraf di atas merupakan kalimat yang diucapkan oleh tokoh bapa kepada anaknya yang berumur lima tahunan, di sampingnya ada emaknya atau entah siapanya yang sedang tertidur. Ketiganya adalah warga yang tinggal di pinggiran rel kereta api di sebuah tempat di Jakarta. Sungguh, sebuah keganjilan sekaligus ironi, ketika seorang anak sambil disuapi mi instan rebus oleh bapanya bercanda ria hingga memunculkan percakapan seperti itu. Seperti pemandangan yang sangat kontras dengan magnet hingar bingar dan gemerlap kemewahan kota Jakarta yang mampu menyihir banyak orang untuk mengadu nasib ke kota itu. Kehidupan dan percakapan wong cilik, kaum papa, orang terpinggirkan begitu merdeka meski jika didengar oleh orang lain barangkali bisa memiliki makna yang beraneka macam tergantung dari siapa yang mendengarnya. Barangkali mereka-para kaum papa itu- tak mau tahu atau benar-benar tak tahu atau tak menyadari setiap ucapan yang keluar dari mulutnya karena bagi mereka yang penting bisa gembira dan merdeka meski hidup jauh dari kata standar minimal.
Kedua, cerpen ini berkisah dalam selang waktu ketika kereta berjalan, berhenti, kemudian akan berjalan lagi. Barangkali hanya sekitar setengah atau satu jam. Dalam waktu yang singkat itu Ahmad Tohari berhasil menarasikan dan mendeskripsikan alur, plot, latar tempat, latar gerak tubuh tokoh hingga menggelitik bahkan merangsang imajinasi pembaca. Barangkali ini hanya bisa dituliskan oleh penulis yang sudah berpengalaman. Sebagaimana Ahmad Tohari sudah berpengalaman menulis cerita pendek sejak tahun 1970an sampai sekarang. Sungguh, sebuah jam terbang yang menunjukkan pengalaman, dedikasi, dan konsistensi yang sudah teruji dan terbukti dalam mendarma baktikan karyanya di bidang prosa. Meski mengandung berbagai variasi penulisan, namun sebagian pendapat mengatakan bahwa sebuah cerpen mengandung sebuah kejadian yang singkat. Dan cerpen ini telah memenuhinya.
Ketiga, Ahmad Tohari tidak sekadar menulis cerita dengan segala imajinasi dan kepiawaian mendongeng, dan menabur diksi. Ibarat mendongeng, Ahmad Tohari tidak sekadar mendongeng hal-hal yang kosong dan mengawang-awang yang boleh jadi akan cepat dilupakan pembacanya. Lebih dari itu, Ahmad Tohari senantiasa membawa pesan-pesan agung dalam setiap cerpen yang ditulisnya termasuk cerpen ini. Perhatikan penggalan cerpen ini :
....Mata anak yang masih sejati itu bergulir-gulir mengikuti gerak ayunan tangan ayahnya yang menjimpit kantung mi istan....
Narasi yang dituliskan Ahmad Tohari mampu menyingkap dunia batin yang paling suci dari tokoh-tokoh rekaannya, termasuk tokoh bocah lima tahunan itu melalui kata-kata “mata anak yang masih sejati.”
Ahmad Tohari merupakan cerpenis yang sangat konsisten dengan visi kepengarangan dunia batin orang-orang kecil, kaum papa, dan kaum yang terpinggirkan. Mengenai dunia batin tokoh-tokoh rekaan Ahmad Tohari juka pernah diulas oleh S Prasetyo Utomo. Ahmad Tohari pun mengaku kurang tertarik menuliskan cerpen tentang dunia yang berkebalikan dengan dunia yang menjadi visi kepangarangannya selama ini. Salam takzim untuk Ahmad Tohari.[]

cerpen tersebut dapat diibaca di sini

Share:

0 komentar:

VIDEO PEMBELAJARAN

Arsip

Frequency Counter Pengunjung

Artikel Terbaru

LINK SAYA

Komentar Terbaru

Konsultasi IPA