BELAJAR SEPANJANG HAYAT


Catatan Harian Seorang Guru IPA







Selamat berkunjung di blog kami, semoga bermanfaat

Sabtu, 24 November 2018

Dari Prasasti Sukabumi ke Antologi Doresani

Dari Prasasti Sukabumi ke Antologi Doresani

Oleh Jefrianto

Tata Gelar Kesusastraan Jawa
Pada tahun 1916, sebuah batu tulis ditemukan di Kediri. Lebih tepatnya pada sebuah perkebunan kopi di daerah Sukabumi, Pare. Batu bertulis tersebut kemudian dialih-aksarakan oleh seorang ahli purbakala bernama Stein Callenfels. Alih-aksara tersebut lalu diterbitkan dengan judul De Inscriptie van Soekaboemi (Inskripsi Sukabumi). Belakangan, ia lebih dikenal sebagai Prasasti Sukabumi alias Prasasti Harinjing.
Lalu, apa yang istimewa dari Prasasti Sukabumi?
Ia terasa istimewa, sebab oleh para peneliti purbakala dikukuhkan sebagai bukti tertua mengenai bahasa Jawa Kuno. Sebuah bahasa yang konon dianggap piranti bahasa paling mula dari masyarakat Jawa. Dan sejak itulah, tarikh 732 Saka yang tertera pada Prasasti Sukabumi, menjadi tanda sayonara bagi masa pra-sejarah di Jawa.
Secara umum, suatu masyarakat pastinya akan melahirkan suatu kebudayaan. Maka dari itu, masyarakat Jawa Kuno pun menghasilkan karya sastra berbhasa Jawa Kuno. Kita mengenalnya sebagai kakawin. Sebuah karya sastra berbahasa Jawa Kuno, berbentuk puisi, yang masih kental dengan metrum sastra India. Kakawin kurang lebih hidup dngan aman dan makmur di Jawa selama 4 abad.
Setelah berlalunya kejayaan kakawin, lahirlah kidung. Karya sastra ini memang terasa lebih membumi sebab ia mulai menggunakan metrum-metrum yang diyakini berasal asli dari Jawa. Dan tahun demi tahun, masyarakat Jawa juga senantiasa berubah. Karya sastra yang lebih membumi lahir kembali dalam bentuk tembang macapat. Format ini bahkan masih sangat digdaya hingga hari ini. Sebab ia dipakai pada karya-karya sastra yang sifatnya “wajib” semacam Wulangreh, Wedhatama, dan Candrarini.
Barangkali perubahan besar pada kesusatraan Jawa dimulai sejak tahun 1832, ketika sebuah Lembaga Bahasa Jawa didirikan di Surakarta. Dari lembaga tersebut, karya sastra Jawa yang tadinya bernafaskan istana sentris, mulai membaur dnegan amsyarakat. Format macapat tidak lagi menjadi format tunggal dalam khazanah kesustraan Jawa.
Sebab, Jawa mulai mengenal karya sastra berciri budaya barat seperti novel dan puisi. Hingga kini, kesusastraan Jawa yang digambar sejak era kakawin itu ternyata juga selalu berubah. Beberapa dasawarsa yang lalu ia memang seolah-olah “hanya” berada di Yogyakarta dan Surakarta. Namun, dalam dasawarsa terakhir ini, ruh Jawa terasa ada di mana-mana. Ia ada di Jawa Banyumasan, Jawa Tegalan, Jawa Banyuwangi, Jawa Surabayan, dan sebagainya.
Ini dibuktikan dengan pemenang Hadiah Sastera Rancage, sebuah anugrah bagi sastra daerah yang digagas oleh Ajip Rosidi sejak tahun 1989, yang tak hanya berasal dari karya sastra berbahasa Jawa baku (dialek Yogyakarta-Surakarta). Pada tahun 2007, Ahmad Tohari membuka dialektika tentang Jawa Raya, dengan memenangkan Hadiah Sastera Rancage untuk karyanya, Ronggeng Dukuh Paruk Banyumasan.
Di situ, tanda tanya tentang Jawa yang heterogen memulai perjalananannya. Dan pertanyaan itu kian mengena manakala Lanang Setiawan memenangkan Hadiah Sastra Rancage untuk jasanya dalam mengembangkan bahasa Tegalan.
Lama-kelamaan, Jawa yang heterogen ternyata bukan sekadar pertanyaan. Ia, telah menjadi sebuah keniscayaan. Di tahun 2017, Mohammad Syaiful dari Banyuwangi kian menambah heterogenitas jagat sastra Jawa melalui karya berbahasa Usingnya, Agul-agul Blambangan, yang memenangkan Hadiah Sastera Rancage.
Dengan ini, kian jelaslah bahwa Jawa masa kini bukanlah Jawa yang terpusat. Seluruh manusia Jawa hari ini bebas berekspresi menggunakan bahasa ibunya sendiri. Ia bebas berkespresi, menuangkan gagasannya dan imajinasinya dalam bentuk karya sastra, tanpa harus menggunakan bahasa Jawa baku.
Jawa yang heterogen, Jawa yang baru. Itulah yang tersaji di hari ini. Maka tidak anehlah ketika di awal tahun 2018, seorang guru IPA bernama Agus Pribadi ikut merayakan “kebebasan” tersebut dengan menerbitkan sebuah antologi cerita cekak (cerkak) bebahasa Banyumasan dengan judul Doresani.
Wana-Carita pada Pagina-pagina Doresani
Doresani merupakan monumen, tetenger pencapaian karya seorang Agus Pribadi. Kisah-kisah dalam Doresani ditulis pada rentang 2013–2017(?). Karya ini seakan menggambarkan perjalanan Agus dalam berolah diri dan berolah rasa menggunakan bahasa ibunya.
Hampir keseluruhan cerita dalam Doresani merupakan cerita mengenai kehidupan rakyat jelata. Ada kisah mengenai guru yang hidupnya pas-pasan, seperti yang digelar dalam cerkak Ban Kempes. Ada pula kisah mengenai kehidupan petani beserta keluguannya seperti yang tergambar melalui cerkak Wedang Teh.
Biarpun tentang rakyat jelata, kisah-kisah dalam Doresani ternyata memiliki nuansa yang mampu membuat pembacanya merenung sejenak. Sebagaimana percakapan antara tokoh Inyong dan istrinya dalam cerkak Lilin:
“Kiye agi ngrasa ayem pisan kayong jaman gemiyen dhong agi urung ana listrik neng umah.”
“Iya ya, Kang. Kahanan kaya kiye malah kayong tenang pisan. Senajan lampune urung murub lan mung nganggo lilin, ningen malah neng ati kayong tenang lan padhang, ora krasa nggrungsang.
(Doresani, hal. 70)
Si tokoh Inyong dalam cuplikan di atas rasanya seperti penggambaran manusia masa kini. Manusia modern yang kerapkali dihantam rindu-dendam terhadap wujud-wujud hidup tradisional. Seakan-akan memang tidak ada ssuatu yang kukuh dalam hidup manusia. Atau dengan meminjam kalimat Goenawan Mohammad: tak ada yang absolut di dunia ini!
Rasa-rasanya, nilai-nilai itu menjadi suatu keunggulan tersendiri antologi Doresani. Sebab hal-hal macam demikian mampu menjadi suatu asupan solilokui bagi pembaca, khususnya mereka yang berbahasa ibu Banyumasan. Nelson Mandela pernah berujarr: Berbicaralah kepada seseorang menggunakan bahasa ibunya. Maka, apa yang kau ucapkan akan masuk ke dalam hatinya.
Selain menyajikan cerita, melalui kumpulan cerkaknya ini, rupa-rupanya Agus Pribadi juga mendedahkan berbagai varian kosakata bahasa Banyumasan terhadap pembaca. Sebagaimana yang telah dibahas di muka, bahwasanya Jawa itu tidak tunggal, Bnayumasan pun demikian. Orang Cilacap, jarang yang mengetahui arti dari kata macam doresani, clebek, ataupun kongang. Apalagi anak-anak berbahasa ibu Banyumasan masa kini. Mereka sudah tidak akarab lagi dengan bahasa-bahasa yang terkesan ndesa macam itu.
Dengan demikian, antologi Doresai secara tidak langsung adalah hadir upaya pemertahanan bahasa ibu di masa kini. Sebab, dewasa ini, bahasa ibu kian tergerus poisisinya oleh bahasa nasional dan internasional.
Biarpun demikian, cerita-cerita yang muncul dalam Doresani ini rasanya masih muncul sebagai purwarupa. Dalam artian bahwa cerita-cerita tersebut sebenarnya masih bisa dikembangkan dan diolah kembali sehingga menjadi sebuah karya sastra yang lebih sublim.
Memang, salah satu kelemahan umum dari karya sastra berbahasa daerah adalah kerapkali ia muncul sebagai sesuatu “uneg-uneg” yang disampaikan menggunakan bahasa ibu. Sangat jarang, sebuah karya sastra sastra berbahasa aerah, utamanya yang berformat cerita, menggunakan teknik & strategi bercerita layaknya cerita pendek berbahasa Indonesia.
Sungguh sangat diharapkan, Agus Pribadi akan terus berkarya dan mendarmabaktikan pengetahuan, pengalaman, dan imajinasinya dalam berolah diri menggunakan bahasa ibunya sendiri. Sehingga pada akhirnya nanti, karya sastra berbahasa Banyumasan yang sublim, yang “meneror” pembaca, akan lahir dari tangannya.
Kecuali itu, secara gramatikal Doresani masih perlu disempurnakan. Karena kerap dalam pembacaaan yang dilakukan, masisih ditemukan berbagai kosakata yang masih “Indonesia” sekali. Namun demikian halnya, hal tersebut bisa diatasi suntingan untuk cetakan buku berikutnya.
Sejatinya, yang tak kalah penting dari Doresani adalah kehadirannya pada hingar bingar bernama semangat nguri-uri budaya. Di saat banyak orang sibuk berkampanye untuk nguri-uri budaya, ternyata seorang Agus Pribadi dengan kalemnya menyodorkan karya sastra berbahasa Banyumasan kepada masyarakat. Tanpa harus berkoar-koar, Agus Pribadi, jelas, melalui Doresani, tampil sebagai kridawan budaya yang mumpuni!
Kehadiran Doresani bisa dianggap sebagai sumbangan penting bagi khazanah kesusastraan Jawa. Ia hadir untuk menambah kesemarakan pada khazanah sastra Jawa. Tentu saja bukan sastra Jawa yang itu-itu saja. Yang kerap kali ditemui dalam bahasa Jawa dialek Yogyakarta-Surakarta.
Sastra Jawa masa kini adalah sastra Jawa yang disokong oleh bahasa ibu pengarangnya. Ia kini tak lagi harus takluk pada bahasa Jawa baku. Belum banyak karya sastra Jawa yang menggunakan bahasa Jawa non dialek Yogyakarta-Surakarta, utamanya yang sudah beruwujud buku.
Sangat diharapkan bahwasanya Antologi Doresani akan mampu memantik bagi para sastrawan di Banyumas yang menulis dalam baahsa ibunya sendiri, untuk kemudian menerbitkan buku. Sebab, seperti kata Suparto Brata, sang begawan sastra Jawa, sastra itu buku. Ia tak hanya untuk kita di masa ini. Ia akan diwariskan kepada anak cucu. Merekalah pelanjut semangat, pelanjut laku-budaya dalam dunia yang semakin kikis batasnya ini.
Esai ini disampikan pada Bedah Buku Doresani karya Agus Pribadi di Universitas Muhammadiyah Purwokerto, April 2018.

Sumber: Medium.com
Share:

Rabu, 07 November 2018

Resensi Buku Unggas-Unggas Bersayap Putih


Merenungi Makna Kehidupan dalam Sebuah Cerita
Oleh Sam Edy Yuswanto*
 
Judul Buku      : Unggas-Unggas Bersayap Putih
Penulis             : Agus Pribadi
Penerbit           : Cipta Media Edukasi
Cetakan           : I, April 2018
Tebal               : vi + 98 halaman
ISBN               : 978-602-5812-12-5

            Banyak cara yang bisa digunakan untuk merenungi makna kehidupan ini. Salah satunya melalui sebuah cerita pendek atau cerpen. Meskipun cerita pendek merupakan karya fiksi, akan tetapi kisah dan tokoh-tokoh di dalamnya kerap terinspirasi oleh kejadian sehari-hari yang ada di lingkungan sekitar kita.
            Agus Pribadi, penulis buku ini misalnya. Biasanya cerpen-cerpen yang ia tulis berdasarkan kejadian sehari-hari yang ia saksikan secara tak sengaja. Misalnya cerpen berjudul “Kendaraan Terbaik”, ia mengaku terinspirasi saat sedang mengendarai sepeda motor menuju tempat kerjanya. “Di atas kendaraan itu, saya menangkap ide cerpen dengan tema kendaraan terbaik yang bagi saya adalah keranda jenazah” papar Agus dalam kata pengantarnya.
            Dalam cerpen tersebut, dikisahkan seorang lelaki yang memiliki cita-cita selalu berubah-ubah seiring bertambahnya usia. Sewaktu kecil, si lelaki ingin menjadi seorang masinis. Alasannya, naik kendaraan panjang dengan banyak penumpang itu menyenangkan. Lalu, saat mulai masuk sekolah, ia bercita-cita ingin memiliki sepeda ontel. Sayangnya, ayah tak memiliki uang cukup untuk membelikannya sepeda ontel.
            Singkat cerita, ketika usianya beranjak dewasa, si lelaki memiliki cita-cita ingin memiliki sepeda motor. Lantas, ketika sudah bisa membeli sepeda motor, ia ingin memiliki mobil. Dan ketika sudah memiliki mobil, ia ingin naik pesawat terbang dalam setiap perjalanannya. Ya, cita-cita si lelaki selalu berubah seiring usia bertambah dan kekayaan yang melingkupi kehidupannya. Sayangnya, ia belum sempat kesampaian naik pesawat terbang karena ajal keburu datang menjemput. Ia baru menyadari semuanya ketika sedang berada di atas keranda jenazah yang tengah ditandu oleh anak cucunya (hal 9-12).
            Cerpen selanjutnya yang terinsiprasi dari kejadian di sekitar penulis berjudul “Sihir Bisa Ular”. Cerpen tersebut terinspirasi dari tetangga penulis yang meninggal dunia karena digigit ular kobra. “Dari kejadian itu, saya imajinasikan dengan hadirnya sosok bidadari pada mimpi-mimpi tokoh yang digigit ular” ungkap Agus Pribadi dalam kata pengantar buku ini.
            Cerpen “Sihir Bisa Ular” bercerita tentang seorang lelaki bernama Sona, seorang pengamen jalanan dan juga berprofesi sebagai penangkap ular untuk dijual. Setiap sore, ia menuju ke area persawahan, lantas memeriksa lubang-lubang yang berada di tepi tegalan atau di pinggir sungai dekat sawah. Saat ia melihat ular menyembul dari lubang tersebut, ia akan berusaha menangkap dengan tangannya, tanpa menggunakan pelindung apa pun (hal 13).
            Karena tanpa pelindung, Sona sering digigit oleh ular-ular hasil tangkapannya. Bahkan, ia secara sengaja membiarkan tangannya digigit ular-ular tersebut. Ia memang mengaku sakit, tapi berusaha tak dirasakannya. Karena rasa sakit itu hanya sebentar dan akan sembuh dengan sendirinya. Biasanya, usai digigit, saat malam hari ia akan bermimpi didatangi bidadari berwajah cantik yang ingin berteman dengannya.
Singkat cerita, suatu ketika Sona mengaduh kesakitan saat digigit seekor ular berkepala gepeng. Tak seperti biasanya, rasa sakit itu tak kunjung sembuh, bahkan semakin hari kondisi tubuh Sona semakin melemah. Anehnya, setiap malam saat tidur, wajah Sona justru terlihat berseri-seri. Ternyata ia tengah bermimpi bertemu bidadari yang ingin dinikahinya (hal 17).
            Masih banyak cerpen-cerpen menarik lainnya dalam buku ini yang selain menghibur juga sarat akan makna kehidupan. Misalnya, cerpen berjudul “Suami Setia” mengisahkan kesetiaan seorang lelaki terhadap istri yang dicintainya, cerpen berjudul “Unggas-Unggas Bersayap Putih” bercerita tentang seorang perempuan yang lalai menjaga anak yang tengah bermain sendirian hingga akhirnya tenggelam di dalam kolam, dan lain sebagainya.
Meskipun di dalam buku ini masih dijumpai beberapa kesalahan penulisan, tapi tak sampai mempengaruhi kisah-kisah menarik yang ditulis oleh pria kelahiran Purbalingga Jawa Tengah, yang saat ini selain berprofesi sebagai penulis, juga sebagai guru SMPN 5 Mrebet Purbalingga.
***
             *Peresensi: Sam Edy Yuswanto, penulis lepas mukim di Kebumen.

( Dimuat di Radar Sampit, 4 November 2018 )


Share:

Minggu, 29 Juli 2018

Menziarahi Kebanyumasan Dalam Kumpulan Cerkak Doresani

Menziarahi Kebanyumasan
dalam Kumpulan Cerkak Doresani Karya Agus Pribadi
Oleh: Adhy Pramudya


Ziarah dalam perspektif masyarakat Banyumas tidak hanya dipandang sebagai ritus religi. Ziarah adalah laku menemukan diri. Diri sebagai bagian dari jagat raya dan diri sebagai makhluk angonan Tuhan YME. Dari ziarah yang merupakan bentuk laku tersebut, manusia diharap terus mengingat bahwa ia sedang di-angon oleh Si Empunya di jazirah jagat raya. Maka ia (manusia) mestinya berupaya menghayati asal mula dan ke mana ia akan kembali. Sangkan Paraning Dhumadi. Muasalnya kelahiran dan kepulangan kematian.
Masyarakat Banyumas, juga Jawa pada umumnya, menamakan tradisi ziarah dengan sebutan nyekar. Nyekar biasa dilakukan pada hari-hari dan bulan-bulan terentu. Namun yang ramai dilakukan adalah menjelang bulan ramadan dan hari raya idul fitri. Makam yang biasa diziarahi lazimnya makam anggota keluarga, leluhur, serta tokoh masyarakat. Tetapi sejatinya, bagi masyarakat Banyumas, ziarah merupakan jalan mengingat/perenungan/nasihat bahwa manusia dan semua makhluk di alam raya akan menemukan proses pulang atau mati. Boleh jadi demikian halnya dengan bahasa Penginyongan atau Banyumasan. Sebagai pemberian dari Tuhan, bahasa Penginyongan menempuh fase lahir, tumbuh, dan berkembang. Tetapi dalam kurun waktu tertentu boleh jadi bahasa Penginyongan akan mati. Dari kematiannya itu, hanya dua kemungkinan yang terjadi: dilupakan atau diingat.
Ziarah dalam Kumpulan Cerkak Doresani
Membaca kumpulan cerkak (cerita cekak) Doresani anggitan Agus Pribadi, saya merasa sedang menziarahi diri. Diri yang mewujud tanah asal, tanah kelahiran saya. Ada sesuatu yang rasanya membuat betah, berlama-lama di dalam teks yang ditulis dengan bahasa penginyongan. Teks tersebut memang ditulis menggunakan bahasa ibu sang penganggit, termasuk bahasa ibu saya, yaitu bahasa Jawa dialek Banyumasan. Saya seolah diajak mengingat kembali secara tegas dari mana saya berasal. Tak hanya soal muasal bahasa ibu, tetapi juga ihwal budaya sebagai bagian dari muasal saya tersebut. Seperti yang dikatakan Trianton (2013: 1) bahasa dapat menentukan jati diri seseorang, dan sebagai penanda kebudayaan tertentu.
Itulah sebabnya, dengan membaca cerkak-cerkak yang termaktub dalam kumpulan Cerkak Doresani, ada serpihan pengalaman ruang dan waktu, yang seolah dekat sekali dengan saya. Aneka pengalaman itu terkadang saling sapa, saling sahut, dan berkelindan dengan saya sebagai pembaca. Sesuatu yang semestinya dekat, bahkan bagian dari diri saya tetapi seolah teramat jauh. Asing. Seolah saya hanya pernah berjumpa di masa yang teramat lampau. Saya mencoba-coba mengingat kelampauan itu. Walhasil, memang ada kesulitan. Kesamaran demi kesamaran itu saya lawan, sampai akhirnya saya berhasil mengingatnya. Tentu tidak dengan ingatan yang sepenuhnya sempurna.
Itulah kenapa, ketika membaca cerkak-cerkak dalam Doresani, saya umpamakan sebagai bentuk menziarahi artefak kebudayaan. Mengunjungi hal-ihwal: kebanyumasan, perihal bahasa, kosa kata, dan idiom-idiom khas penginyongan yang disuguhkan cerkak-cerkak tersebut. Kosa kata seperti:  gadung, ngendong, dophokan, wedhang clebek, gedhang godhog, pedhangan, senthong, mluku, njrengkanang, dan wuru, semakin menandai identitas kebanyumasannya. Sederet kosa kata itu, rupanya telah menarik jiwa dan perhatian saya. Perhatian tersebut kemudian menggugah kesadaran. Sebenarnya masih banyak kosa kata yang mesti digali dan dipahami sebagai kearifan lokal yang tak dimiliki daerah lain. Saya yakin, idiom-idiom (ungkapan) semisal : trengginas, gipyak, kedimik-kedimik, ngonggor, nggleweh, bombong, bungah, senenge ora eram, nangis nggingging, membleb-membleb, getok  tular, blas ketipas,  dan doresani, merupakan daya pikat tersendiri yang hanya dimiliki masyarakat Banyumas.
Pertama-tama, itulah impresi yang saya rasakan ketika berziarah di dalam kumpulan Cerkak Doresani.  Masa lampau, peristiwa dan ungkapan yang terselip di dalam fiksionalitas itu melebur. Seolah-olah menjadi nyata. Saya seakan-akan turut mengalami dan merasakan kejadian dalam ruang dan waktu semu tersebut. Gambaran itu, amat saya rasakan ketika membaca cerkak berjudul Doresani. Dorenasi jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia,  bisa bermakna belas kasihan, keprihatinan dan empati yang amat dalam. Pendeknya, orang akan terpancing mengatakan doresani, ketika melihat seseorang atau kerabat sewaktu ditimpa musibah. Baik kesripahan/kematian (mikro kosmos) atau bencana alam (makro kosmos). Itulah kenapa, kala membaca Doresani, saya pun merasa sedang melayat Kang Dimin.  Turut berbelasungkawa dengan perasaan amat purba. Atas berpulangnya mendiang ke tanah asal. Saya kira, doresani memang tepat untuk menggambarkan keadaan Kang Dimin yang memprihatinkan.
Doresani. Tembung kuwe kayong sing paling memper kanggo nggambaraken kahanane Kang Dimin. Apamaning wong liya, keluargane dhewek kayong ora nggople-nggoplea awit dheweke mriyang butul matine. (D: 47)
“Kang Dimin wis mati,” wong-wong pada aweh ngerti getok tular nganti sekampung krungu kabeh. Inyong gagean mlayu niliki apa bener kabar kuwe. Ora perduli urung dandan, ora preduli kudunge menceng apa ora. Ora preduli sandal sing tak enggo selan selen apa ora. Inyong mrebes mili turut dalan. Meh baen inyong nabrak wit gedhang saking nggrungsange atine inyong. Kayong ana sing mlumpat-mlumpat neng njero dadane inyong. Sedawane dalan inyong kemutan gemiyen agi esih sekolah. Kang Dimin batir sekolah sing mbejud, seneng gelut karo bocah lanang, lan senenge nggleweh maring bocah wadhon.  (D: 47
Selain bahasa, perihal penamaan orang (tokoh) di dalam cerkak-cerkat tersebut juga memliliki keunikan tersendiri. Hal itu terdapat dalam cerkak berjudul Kaki Bengel. Kaki Bengel adalah nama tokoh yang menjadi gagasan cerita. Kocap kacarita, Kaki Bengel sebenarnya merupakan pelekatan nama yang disematkan oleh masyarakat kepada Kaki Dipa (Kakek Dipa). Ia sendiri hakikatnya orang melarat, hidupnya pas-pasan, memiliki anak empat, namun tak mau menerima keadaan. Ia tergolong orang yang konsumtif, berlindung kemewahan. Walhasil,  biduk rumah tangganya menjadi tidak karu-karuan. Berantakan. Ekonominya kandas. Besar pasak ketimbang tiang. Melihat kondisi yang dilematis tersebut, orang-orang lingkungan tersebut justru sepakat, menamakan Kaki Dipa menjadi Kaki Bengel.
Embuh sapa sing njenengi. Wong-wong ngarani Kaki Bengel. Bengel ya padha baen karo puyeng. Janen jenenge kaki Dipa, ningen embuh awit kapan koh wong-wong padha ngarani kaya kuwe. Gali ngarani ora neng ngarepe wonge. Nang mburi, dadine ya sing diarani ora ngerti. (KB:7)
Pelabelan nama di Banyumas, hakikatnya merupakan renungan atas sifat, tabiat, dan karakter seseorang. Itulah sebabnya, atas sikap Kaki Dipa yang kemaruk, masyarakat membuat  konvensi (kesepakatan) menamakan Kaki Dipa menjadi Kaki Bengel. Yang nuwun sewunya, sebenarnya hal tersebut sama saja turut mengutuk kesengsaraan seseorang. Namun begitulah, lelucon itu rupanya hanya dimaksudkan sebagai cara masyarakat Banyumas untuk mendatangkan hiburan. Sekalipun dengan cara-cara yang murah.
Sementara itu, di dalam cerkak bertajuk Ngendong, terdapat nama-nama tokoh yang merupakan ejawantah dari pelakunya. Setiap tokoh yang membawakan laku tertentu, menjadi penanda untuk penamaan tertentu pula. Seperti halnya Yu Luwes. Ia merupakan tokoh yang tidak banyak bicara, namun ringan tangan.  Luwes yang dimaksud tentu menandakan perilaku yang menyenangkan. Berbeda dengan tokoh Yu Lemu, yang dikonotasikan sebagai keprihatinan. Citra tersebut tergambarkan manakala Yu Lemu berjalan pelan sekali,  menanggung beban tubuh beratnya yang membuat ia payah.
Kayong sing dilakoni neng Yu Lemu. Meh saben dina Minggu, wong kae ngendong maring gone Yu Luwe, mboke inyong. Kayong jenenge, wonge nek mlaku kayong kaboten awak, unduk-unduk alon banget. (Ng: 12)
Bar kuwe Yu Luwes ngetokna wedang clebek sing clebeke dibebek dhewek nang lumpang. Dekancani godhogan gedhang. Kayong wis apal nek ana suara reketekkkkkk brati Yu Lemu sing agi njagong neng risban. (N: 13)
Banjur Yu Lemu ndopok werna-werna banget. Sing diomongna anak wadone. Ngomongna anak mantune. Ngomong keluarga bojone. Lan liya-liyane. Yu Luwes ya ngrungokna dopokane Yu Lemu ana kalane desambi karo mbebek clebek, utawane njangan lan nggoreng tempe. (N: 13)
Secara khas pula, fragmen Ngendong di atas mencirikan watak dan karakter orang Banyumas yang lekat dengan budaya ndopoknya (bercerita). Meski demikian, hakikak dari cerita yang digambarkan, sebenarnya bermuatan kritik kepada tokoh yang malas. Hal ini dicitrakan dalam tokoh Yu Lemu yang rentan dengan tubuh besarnya, gemar bercerita, dan suka menceritakan masalah keluarga kepada orang lain. Gambaran tersebut bertolak dengan sifat dan watak orang Banyumas yang cacundan (trengginas dan giat bekerja). Namun tidak dipungkiri, kebiasaan ngendong dalam kehidupan nyata sendiri, perlahan mulai mengikis. Itulah yang sebenarnya ingin direkatkan kembali pada cerkak Ngendong.
Kritik terhadap sikap dan karakter jati diri masyarakat Banyumas juga terselip dalam cerkak bertajuk Kaki Bengel. Perihal penamaan yang dilabelkan (dilegitimasi) oleh masyarakat hakikatnya merupakan kritik atas hilangnya nilai-nilai kearifan dan jati diri masyarakat Banyumas yang giat bekerja, sabar lan narima.  Lain halnya ketika menilik penokohan cerpen karangan Ahmad Tohari yang berjudul Senyum Karyamin. Watak dan penokohan Karyamin lebih mewakili sebagai masyarakat Banyumas yang nrima ing pandum. Dalam cerpen tersebut, Karyamin dikonotasikan sebagai sifat sabar dan menerima keadaan sekalipun hakikatnya sangat berat. Sebagai penambang batu yang hidupnya pas-pasan, sekalipun perutnya sudah tak dapat menahan lapar, ia tetap menolak dihutangi makanan. Pada gilirannya, Karyamin jatuh, tubuhnya tergelincir dan tumpah beserta batu-baru yang ia pikul di keranjang. Meskipun demikian, hal ini justru menarik. Sebab, dengan penokohan Kaki Bengel inilah, Agus Pribadi sedang mengkritisi tokoh yang kehilangan jati diri kebanyumasannya, yaitu kehilangan watak sabar lan narimanya.
Doresani. Adalah satu ungkapan khas yang tepat untuk menggambarkan keadaan Banyumas dewasa ini. Saya pun merasa prihatin, di era yang milenial, bahasa penginyongan nampaknya kurang diminati oleh sebagian kawula muda. Bahkan bukan saja perihal bahasa yang mulai mengikis. Nama orang, sandang, papan dan pangan sikap dan karakter masyarakat Banyumas yang terikat dengan nilai-nilai luhur pun mulai terpinggirkan. Demikianlah yang terangkum dalam kumpulan cerkak Doresani. Beberapa tradisi dan kebudayaan kebanyumasan yang digambarkan tengah mengalami metamorfosa dengan cukup kentara.
Bilamana generasi muda (khususnya masyarakat Banyumas) malu dan enggan menggunakan bahasa penginyongan, baik secara lisan atau tulisan, niscaya akan nambah ndoresani. Beruntung, saya masih menemukan perbendaharaan bahasa pengingyongan yang tergarap dengan baik di dalam kumpulan cerkak Doresani, anggitan Agus Pribadi. Itulah kenapa, saat membaca kumpulan cerkak tersebut, saya seolah sedang menemukan diri yang sejati. Diri di mana saya dilahirkan (proses mendapatkan bahasa ibu) dan menyerahkan kembali (bahasa ibu) ke muasal saya. Membaca cerkak-cerkak tersebut, pada gilirannya membuat saya manunggal bersama cerita. Antara teks dan pembaca seolah tak ada jarak yang memisahkan. Meski demikian, Doresani tetaplah artefak yang dapat ditilik untuk menziarahi Banyumas melalui karya sastra. Inilah laku sangkan paraning dhumadi yang dihayati oleh Agus Pribadi untuk kembali ke tanah asal, melalui bahasa ibunya.
Pinggir Kali Serayu, 15 Maret 2018

Share:

Sabtu, 21 April 2018

Guru SMP 5 Mrebet Luncurkan Tiga Buah Buku


Guru SMP 5 Mrebet Luncurkan Tiga Buah Buku
27 Februari 2018 | Suara Banyumas (Suara Merdeka)



PURBALINGGA- Guru mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) SMP Negeri 5 Mrebet Purbalingga, Agus Pribadi akan meluncurkan tiga buah buku, di RM Wapo Kebon Kelapa, Wirasana, Purbalingga, Minggu (4/3). Guru ini ternyata cukup produktif menghasilkan karya sastra.
Tiga buku yang akan diluncurkan itu, terdiri atas 36 Rahasia Bisa Menulis, kumpulan cerita cekak penginyongan Doresani, dan kumpulan cerita pendek Unggas- Unggas Bersayap Putih.
Ketiga buku itu akan dibedah oleh Ryan Rachman, wartawan Suara Merdeka dan aktivis Komunitas Teater dan Sastra Perwira (Kata Sapa) dan Agustav Triono (penyair).
”Menulis adalah sebuah proses yang tidak terlalu mudah, tetapi juga tidak terlalu susah. Menulis butuh ketekunan, ketelatenan, dan keuletan. Terkadang butuh waktu bertahun-tahun untuk dapat menerbitkan sebuah buku.
Jika hanya satu atau dua hari, akan sangat sulit,” ujar Agus Pribadi ketika ditanya proses kreatifnya dalam menekuni dunia tulis-menulis, Minggu (25/2).
Beberapa Tahun
Buku pertama, berjudul 36 Rahasia Bisa Menulis yang berisi panduan bagi siapa saja yang ingin belajar menulis fiksi, nonfiksi, dan blog. Buku itu ditulis berdasarkan perenungan dan penghayatan saat menulis untuk media online maupun media cetak. Diterbitkan oleh Penerbit Leutikaprio, Jogyakarta, Desember 2017.
Sedangkan Doresani merupakan kumpulan cerita pendek berbahasa Jawa dialek Banyumasan. Buku ini ini berisi 16 cerita tentang kehidupan sehari-hari yang mengandung hikmah kehidupan.
Diterbitkan oleh Satria Indra Prasta-SIP Publishing, Banyumas, Januari 2018. Buku ketiga, berjudul Unggas-Unggas Bersayap Putih berisi 15 cerita pendek.
Cerpen-cerpen dalam buku itu pernah dimuat di berbagai media seperti Suara Merdeka, Kedaulatan Rakyat, Satelitpost, dan media lainnya. Diterbitkan oleh Pustaka Media Guru, Surabaya, Desember 2017.
”Materi-materi yang ada pada ketiga buku tersebut tidak kami tulis dalam waktu singkat, namun beberapa tahun lamanya. Kemudian dikumpulkan dan dijadikan buku,” ujarnya.
Melalui peluncuran ketiga buku tersebut, Agus Pribadi yang kelahiran Purbalingga 10 Mei 1978 ini mengajak para penulis di Banyumas, Purbalingga, dan sekitarnya untuk terus berkarya dalam proses panjang dan tiada henti.

”Harapan saya, para penulis dari Banyumas Raya dapat semakin berkiprah di tingkat regional, nasional, bahkan internasional,” kata alumnus Fakultas Biologi Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto yang diangkat sebagai CPNS tahun 2009 ini.(K35-72)

Harus Memperkaya Nuansa Lokalitas
06 Maret 2018 | Suara Banyumas (Suara Merdeka)

PURBALINGGA-Bertempat di Rumah Makan Wapo Wirasana Purbalingga, peluncuran tiga buku karya Agus Pribadi berlangsung meriah. Ibu Pristiani Florida, rekan kerja sekaligus pimpinan di mana Agus Pribadi bekerja, meluncurkan ketiga buku itu, yakni buku kumpulan cerkak banyumasan Doresani, 36 Rahasia Bisa Menulis, dan buku kumpulan cerpen Unggas-Unggas Bersayap Putih, pada Minggu 4 Maret 2018.

Secara simbolis Agus Pribadi menyerahkan buku Doresani kepada Prasetyo, Guru Bahasa Jawa SMP Negeri 1 Bukateja, sebagai salah satu sesepuh pegiat literasi di Purbalingga.

Setelah peluncuran ketiga buku tersebut, acara dilanjutkan dengan bedah buku Doresani, dengan pembedah Ryan Rachman (sastrawan) dan Agustav Triono (penyair), dengan moderator Indra Defandra (novelis). Sebelum buku dibedah, Agustav Triono yang biasa melatih ekstrakurikuler teater di beberapa sekolah di Purbalingga membacakan salah satu cerkak dalam buku Doresani. Sekitar 30 peserta yang hadir dalam acara itu tampak terhibur saat mendengarkan Agustav membacakan cerkak berjudul ‘’Wedang Teh’’.
Patut Dibaca
Wartawan Suara Merdeka, Ryan Rachman, dalam ulasannya tentang buku Doresani menyampaikan, meski masih sederhana, namun karya Agus Pribadi tersebut patut dibaca khususnya oleh generasi muda. ”Saya salut dengan Agus Pribadi yang mampu mengambil kejadian keseharian menjadi sebuah cerkak,” katanya.
Sementara itu, Agustav Triono memaparkan ada beberapa hal yang perlu diperhatikan agar cerita pendek berbahasa banyumas karya Agus Pribadi lebih memperkaya nuansa lokalitasnya. ”Misalnya penggunaan jenis makanan yang lebih bervariasi, dan penggunaan kosa kata yang lebih murni bahasa banyumasan,” ujarnya. Dalam acara tersebut juga dibahas tentang bahasa dan sastra khususnya bahasa Jawa dialek banyumasan, serta bagaimana cara menggali ide dan menuliskannya menjadi sebuah karya sastra.(K35-46)

Share:

Kamis, 05 April 2018

Antologi Doresani, Ekspresi Penggunaan Bahasa Ibu

“Buku antologi Doresani merupakan salah satu ekspresi penggunaan bahasa Ibu. Seluruh manusia Jawa hari ini bebas berekspresi menggunakan bahasa ibunya sendiri. Ia bebas berekspresi menggunakan gagasan dan imajinasinya dalam bentuk karya sastra, tanpa harus menggunakan bahasa Jawa baku.” Hal itu dikatakan Jefrianto, kritikus sastra penginyongan, dalam acara bedah Buku antologi cerkak berbahasa Jawa dialek Banyumasan “Doresani” karya Agus Pribadi.
Kegiatan tersebut diselenggarakan oleh Komunitas Penyair Institute, bertempat di kampus Universitas Muhammadiyah Purwokerto pada Senin, 2 April 2018 pukul 19.30 sampai selesai. Kegiatan yang diikuti sekitar seratusan peserta itu, dihadiri oleh mahasiswa, dosen, dan pegiat sastra di Banyumas. Dari kalangan dosen hadir Eko Sri Israhayu, Teguh Trianton, dan Achmad Sultoni. Dari pegiat sastra hadir Dharmadi, Abdul Aziz Rasjid, Irfan M. Nugroho, dan para pegiat sastra lainnya. Hadir pula dosen prodi sastra Jawa Universitas Indonesia, Dwi Puspitorini.
Dalam kesempatan tersebut, Jefrianto juga mengatakan antologi Doresani hadir sebagai upaya pemertahanan bahasa ibu yang posisinya kian tergerus oleh bahasa nasional dan internasional.
Diterangkan oleh pembedah pertama buku tersebut, bukti tertua Bahasa Jawa Kuno tertulis dalam Prasasti Sukabumi (Tarikh 732 Saka). Sastra Jawa Kuno pada mulanya berbentuk kakawin, kidung, kemudian macapat. Kemudian  sejak 1832 mulai dikenal bentuk karya sastra berciri budaya barat seperti novel dan puisi. Dalam dasawarsa terakhir ini ruh Jawa terasa ada di mana-mana. Ia ada di Jawa Banyumasan, Jawa Tegalan, Jawa Banyuwangi, Jawa Surabayan, dan sebagainya.
Sementara itu Adhy Pramudya, dramawan Banyumas, mengatakan, “Antologi Doresani kental dengan bahasa Banyumasan. Bagi saya yang asli Banyumas, membaca buku tersebut seperti masuk ke dalam suasana cerita dan akrab dengan tokoh-tokohnya.”
Pembedah kedua tersebut juga mengungkapkan, cerkak-cerkak Agus Pribadi mengingatkan pada karya-karya Ahmad Tohari yang kerap bercerita tentang tokoh wong cilik. Cerkak “Wedhang Teh” mengingatkan pada cerpen “Jasa-Jasa Buat Sanwirya”, cerkak “Gadung” mengingatkan pada cerpen “Surabanglus”.[]

Share:

VIDEO PEMBELAJARAN

Frequency Counter Pengunjung

Artikel Terbaru

LINK SAYA

Komentar Terbaru

Konsultasi IPA