Cerpen
Agus Pribadi
Aku
tak menyangka ia akan datang ke rumahku. Bertamu, dan membicarakan tentang
dirinya dan aku yang katanya sok tahu.
Gambar Pixabay.com
Ia
adalah tokoh dalam cerita yang aku tulis dengan judul “Gadis Berkepala Gundul”.
Idenya memang aku dapatkan dari sebuah foto profil facebook. Saat melihat
fotonya yang gundul langsung terbersit ide untuk menuliskannya dalam sebuah
cerita pendek.
Ia
datang ke rumahku seorang diri setelah sebelumnya bertanya ke sana kemari. Ia
bercerita awal mula menemukan cerpen karyaku di sebuah koran yang ia yakini
terinspirasi dari dirinya. Namun ceritanya lain. Kalau dalam cerpen ia kembali
lagi dengan kekasihnya. Sedangkan di dunia nyata yang ia jalani kekasihnya tak
pernah kembali. Ia ingin menemuiku dan menyampaikan padaku bahwa alur cerita
dalam cerpen itu seharusnya tidak seperti itu. Ia ingin mengatakan kepadaku
bahwa seorang pengarang akan lebih baik jika memiliki kemampuan menerawang masa
depan seorang tokoh cerita yang ditulisnya, bukan sekadar berimajinasi saja.
Lantas ia menemuiku dan menceritakan tentang kisah hidupnya. Kisah hidup yang
lebih pilu dari cerpen yang aku tulis tentangnya.
“Aku
menyesal dan khilaf, ia sepertinya menjebakku di malam yang dingin penuh godaan
setan itu. Setelah perbuatan terlarang di malam itu ia berjanji akan
menikahiku. Namun ketika aku datang padanya dan mengabarkan bahwa benih yang
ditanamnya telah tumbuh dan berkembang di perutku maka ia berkelit bahkan
menyuruhku untuk mengguggurkannya. Serta merta aku menolaknya. Janin itu darah
dagingku tak mungkin aku melenyapkannya dari perutku. Lelaki pengecut itu
hilang lenyap seperti di telan kegelapan yang penuh dengan setan-setan. Aku
menduga ia telah menjadi salah satu makhluk penggoda yang paling menakutkan.
Sementara itu aku berjuang seorang diri menjaga kandunganku sampai berumur
sembilan bulan, sampai terlahir seorang bayi perempuan yang sangat aku sayangi.
Karena aku masih kuliah dan tak ingin kisah pribadiku ini diketahui banyak
orang, maka aku menitipkan buah hatiku pada saudaraku di sebuah tempat yang aku
rahasiakan. Dan lelaki tak bertanggung jawab itu tetap menghilang tak sekalipun
menunjukkan batang hidungnya.”
Ia
terus bercerita padaku, sementara aku hanya mendengarkannya dengan seksama.
Saat seperti itu ia mungkin hanya butuh didengarkan, tak perlu diberi nasehat
ini itu. Dari mendengarnya dengan seksama pula aku mengetahui kalau ia ternyata
seorang pengarang juga. Ia mengaku seringkali ia menulis cerita yang seperti
menerawang masa depan. Seringkali tokoh cerita yang ditulisnya mengalami alur
dan plot yang sama seperti apa yang ditulisnya. Dan sesuatu yang tak
kuduga-duga diceritakannya bahwa ia menulis cerita tentang dirinya sendiri yang
akhirnya menjadi pendamping hidupku.
“Tidak
mungkin,” kali ini aku memberi komentar singkat saat ia menceitakan alur cerita
yang ditulisnya bahwa aku akan menjadi pendamping hidupnya.
“Mungkin
saja,” jawabnya enteng sambil tersenyum, “Apa yang tidak mungkin dalam sebuah
kisah fiksi,” lanjutnya.
“Kalau
cuma di dunia fiksi sih memang mungkin saja,” jawabku ringan dan tersenyum.
Kalau sebatas fiksi aku setuju saja, namun kalau di dunia nyata pasti aku tak
setuju. Bukan karena gadis itu tak menarik, namun aku sudah memiliki kekasih
yang sangat setia kepadaku, aku tak ingin mengkhianati kekasihku yang
mencintaiku apa adanya.
Tiba-tiba
kekasihku datang ke rumahku, tak seperti biasanya ia datang tanpa memberi kabar
terlebih dahulu. Barangkali ia mendapatkan firasat yang kurang baik sehingga
tergesa-gesa datang ke rumahku hingga lupa mengabariku lebih dahulu. Seperti
dulu saat awal-awal aku menjalin hubungan dengannya. Ia tiba-tiba datang ke
rumahku karena mendapatkan firasat yang kurang baik, ternyata memang benar
ayahku sedang sakit dan aku belum sempat mengabarinya waktu itu.
“Siapa
dia?” kekasihku tampaknya kurang suka ada tamu seorang gadis cantik.
“Aku
tokoh cerita yang pernah ditulisnya,” gadis itu menjawab ketika aku belum
sempat membuka mulutku.
“Untuk
apa kau mendatangi seorang pengarang?” kekasihku bertanya pada tamuku.
Kekasihku juga seorang pengarang. Jadilah kami tiga orang pengarang saling
bertemu.
“Aku
penasaran pada seorang pengarang yang sebenarnya kreatif namun kurang jeli dan
teliti dalam menggarap alur dan plot,” gadis itu melirik ke arahku.
“Bebas
saja orang mau mengarang tentang apa dan bagaimana,” kekasihku agak ketus
menanggapi gadis itu.
Mereka
terus saja berdebat. Saling memberi argumen tentang dunia tulis menulis dan
dunia apa saja. Mereka tampak saling memiliki wawasan yang luas karena
barangkali bacaan mereka sangat banyak dan luas. Dari cara mereka berdebat
sepertinya dengan argumen yang kuat meski mereka adalah penulis fiksi. Aku
hanya memperhatikan mereka dengan seksama. Sampai gadis itu berpamitan untuk
pulang. Saat meninggalkan kami berdua, gadis itu tersenyum ke arahku, entah apa
maksudnya. Namun aku berusaha untuk menghindari lirikan matanya. Aku tak ingin
tenggelam dalam pusaran cerita yang telah ditulisnya karena aku dan kekasihku
esok hari akan menikah. Gadis itu berjalan kaki meninggalkan rumahku dan menghilang
di kelokan jalan, sementara aku dan kekasihku berbalik arah masuk ke rumahku.[]
Banyumas, 5
Maret 2016
0 komentar:
Posting Komentar