BELAJAR SEPANJANG HAYAT


Catatan Harian Seorang Guru IPA







Selamat berkunjung di blog kami, semoga bermanfaat

Selasa, 25 Desember 2012

Gadis Penunggu Embun



Cerpen Agus Pribadi
            Gadis itu selalu duduk di taman kota. Memandangi embun yang bergelayut di atas daun-daun dan bunga-bunga. Bahkan di hari lain ketika hujan turun, ia berteduhkan payung, tetap memandangi embun yang telah berbaur dengan cipratan air hujan. Hari Minggu pun aku melihatnya sedang memandangi embun. Siapakah gerangan gadis itu?
            Aku melihat gadis itu di taman kota saban hari. Jalan menuju tempat kerjaku memang melewati lokasi yang tertata indah itu. Hampir setiap hari Minggu aku sekedar lari pagi atau jalan sehat melewati tempat itu.
(Gambar. Henkykuntartofiles.wordpress.com)
            Awalnya aku melihatnya seperti sedang mengamati daun-daun dan bunga-bunga. Namun ketika kuamati dengan seksama, ternyata ia sedang memandangi embun dan membelainya mesra.
            Beribu tanya dalam hati mendorongku untuk berkenalan dengannya. Di suatu Minggu pagi nan sejuk, aku menuju taman kota. Dan kulihat gadis itu sedang melakukan hal yang sama, memandangi embun dan menunggunya sampai terbang menguap dicumbui hangat mentari.
            “Boleh kenalan?” tanyaku setelah duduk di sampingnya.
            “Boleh.”
            “Anton. Namamu?”
            “Sulasih.”
            “Nampaknya, kamu setiap hari duduk sendiri di pagi hari?”
            “Benar.”
            “Kalau boleh tahu, kenapa?”
            “Tidak apa-apa. Memang ada yang salah?”
            “Tidak. Cuma ingin tahu saja.”
            Meski Sulasih belum mau menjawab alasan mengapa dia selalu menunggu embun, tapi aku senang bisa berkenalan dengannya. Ya aku memang kesepian, sejak ditinggal pergi istriku menghadap-Nya tiga tahun yang lalu, karena sakit yang tak terobati. Padahal kami baru sebulan menikah. Kini ada Sulasih, gadis penunggu embun yang mampu mengisi kekosongan ruang hatiku. Setiap hari Minggu, aku selalu menemaninya menunggui embun sampai melayang hilang dicumbui hangat mentari.
            “Apa kamu tidak lelah tiap pagi menunggui embun?” tanyaku di suatu hari Minggu pagi.
            “Tidak.”
            “Bolehkah aku singgah ke rumahmu?”
            “Ini rumahku.”
            “Aku serius.”
            “Aku lebih serius.”
            Hatiku gundah. Tampaknya Sulasih tidak bersedia aku datangi rumahnya. Mungkin dia tidak mau hubungan ini lebih jauh. Padahal benih-benih cinta telah mengembun di hatiku. Ada getar-getar halus tatkala aku duduk di sampingnya. Senyumnya, pakaian yang dikenakannya, bau harum wewangian yang dipakainya, semuanya serasi dengan embun dan taman yang selalu dicumbunya.
            “Aku mencintaimu, Sulasih?” tanyaku di suatu hari Minggu.
            “Cinta?”
            “Iya, aku ingin menikahimu.”
            “Aku hanya mencintai embun.”
            “Mengapakah embun?”
            “Embun selalu menyejukkan hatiku, setia menemaniku di pagi hari, meski sebentar, ia selalu ada untukku.”
            “Aku juga setia?”
            “Ah. Lelaki sama saja. Tunanganku, pergi meninggalkanku di suatu pagi di taman ini, saat kami memandangi embun. Ia pergi meninggalkanku tanpa kembali. Janjinya kembali di taman ini, saat embun belum dicumbu hangat mentari. Sampai pagi ini, ia belum lagi muncul. Aku telah terlanjur mencintai embun, bukan manusia.”
            “Aku juga kehilangan istriku, ia telah dipanggil-Nya tiga tahun yang lalu.”
            “Seharusnya kamu tetap setia pada istrimu meski ia telah di tempat lain. Karena melalui embun mungkin ia menitip salam untukmu. Tidakkah engkau ingin membalas salamnya melalui embun juga. Dengan senang hati embun akan bersedia menghantarkannya untukmu dan untuk istrimu.”
            Selepas kata-kata yang terucap dari bibir Sulasih yang merekah indah, aku merasakan galau yang menyesak dada. Sore hari aku mengunjungi makam istriku, menaburkan bunga-bunga dan memanjatkan doa-doa.
            Seminggu kemudian, aku kembali menemui Sulasih. Duduk di sampingnya.
            “Sini, bersama-sama menunggui embun. Sampaikanlah salam untuk istrimu pada embun!” ucapnya dengan tatapan hangat.
            Aku tak mampu berkata-kata, hanya tersenyum kemudian meninggalkan Sulasih seorang diri.
            “Lelaki memang sama! Pergi tanpa jelas apa yang dicari!” umpatnya mengiringi kepergianku.
            Aku tak lagi mengunjunginya. Kuputuskan untuk melupakan sejenak gadis penunggu embun itu. Kujalani aktivitasku tanpanya.
Namun setelah beberapa minggu aku tak mengunjunginya, ada rasa kangen yang meronta mengajakku mengunjungi taman bunga. Aku memutuskan untuk menemui Sulasih. Hari Sabtu aku masih melihatnya duduk di taman kota mengenakan gaun hijau dan berteduhkan payung warna ungu, berhiaskan rintik hujan dan pelangi di atas taman. Sungguh pemandangan hidup yang indah.
Hari Minggu, aku bergegas menemui Sulasih di saat embun-embun sedang memeluk daun-daun dan bunga-bunga. Tapi! Aku tak mendapati Sulasih. Ia tak berada di taman. Pada siapa aku harus bertanya? Ke mana kuharus mencarinya? Tampaknya tak ada yang peduli padanya selain aku.
“Gadis itu “penunggu” taman ini. Ia telah meninggal di tempat ini setahun yang lalu. Kekasihnya yang telah membunuhnya, karena tak mau mempertanggungjawabkan perbuatannya menodai gadis itu,” ucap seorang lelaki petugas kebersihan kota yang telah duduk di sampingku. Ternyata lelaki itu mengamati gerak-gerikku setiap hari Minggu berbicara dengan embun.
“Syukurlah, sekarang gadis itu sudah kembali ke alamnya,” ucap lelaki itu, dari suaranya ia seperti seorang yang mempunyai ilmu agama yang mendalam.
Aku terdiam mengembun kemudian serasa terbang dicumbui hangat mentari. Tubuhku lunglai, tersadar tatkala telah diantar lelaki itu sampai ke rumahku.[]

(Juara Favorit Lomba Cerpen Remaja Kategori Umum/ Guru Tingkat Nasional Writing Revolution 2012)
Share:

2 komentar:

Rezha Rizqy N. mengatakan...

aku suka cerpen-cerpennya, sederhana, mudah dibaca dan berisi.

Agus Pribadi mengatakan...

terimakasih apresiasinya

VIDEO PEMBELAJARAN

Frequency Counter Pengunjung

Artikel Terbaru

LINK SAYA

Komentar Terbaru

Konsultasi IPA