Cerpen
Agus Pribadi
Gadis itu selalu duduk di taman
kota. Memandangi embun yang bergelayut di atas daun-daun dan bunga-bunga.
Bahkan di hari lain ketika hujan turun, ia berteduhkan payung, tetap memandangi
embun yang telah berbaur dengan cipratan air hujan. Hari Minggu pun aku
melihatnya sedang memandangi embun. Siapakah gerangan gadis itu?
Aku melihat gadis itu di taman kota
saban hari. Jalan menuju tempat kerjaku memang melewati lokasi yang tertata
indah itu. Hampir setiap hari Minggu aku sekedar lari pagi atau jalan sehat
melewati tempat itu.
(Gambar. Henkykuntartofiles.wordpress.com)
Awalnya aku melihatnya seperti
sedang mengamati daun-daun dan bunga-bunga. Namun ketika kuamati dengan
seksama, ternyata ia sedang memandangi embun dan membelainya mesra.
Beribu tanya dalam hati mendorongku
untuk berkenalan dengannya. Di suatu Minggu pagi nan sejuk, aku menuju taman
kota. Dan kulihat gadis itu sedang melakukan hal yang sama, memandangi embun
dan menunggunya sampai terbang menguap dicumbui hangat mentari.
“Boleh kenalan?” tanyaku setelah
duduk di sampingnya.
“Boleh.”
“Anton. Namamu?”
“Sulasih.”
“Nampaknya, kamu setiap hari duduk
sendiri di pagi hari?”
“Benar.”
“Kalau boleh tahu, kenapa?”
“Tidak apa-apa. Memang ada yang
salah?”
“Tidak. Cuma ingin tahu saja.”
Meski Sulasih belum mau menjawab
alasan mengapa dia selalu menunggu embun, tapi aku senang bisa berkenalan
dengannya. Ya aku memang kesepian, sejak ditinggal pergi istriku menghadap-Nya
tiga tahun yang lalu, karena sakit yang tak terobati. Padahal kami baru sebulan
menikah. Kini ada Sulasih, gadis penunggu embun yang mampu mengisi kekosongan
ruang hatiku. Setiap hari Minggu, aku selalu menemaninya menunggui embun sampai
melayang hilang dicumbui hangat mentari.
“Apa kamu tidak lelah tiap pagi
menunggui embun?” tanyaku di suatu hari Minggu pagi.
“Tidak.”
“Bolehkah aku singgah ke rumahmu?”
“Ini rumahku.”
“Aku serius.”
“Aku lebih serius.”
Hatiku gundah. Tampaknya Sulasih
tidak bersedia aku datangi rumahnya. Mungkin dia tidak mau hubungan ini lebih
jauh. Padahal benih-benih cinta telah mengembun di hatiku. Ada getar-getar
halus tatkala aku duduk di sampingnya. Senyumnya, pakaian yang dikenakannya,
bau harum wewangian yang dipakainya, semuanya serasi dengan embun dan taman
yang selalu dicumbunya.
“Aku mencintaimu, Sulasih?” tanyaku
di suatu hari Minggu.
“Cinta?”
“Iya, aku ingin menikahimu.”
“Aku hanya mencintai embun.”
“Mengapakah embun?”
“Embun selalu menyejukkan hatiku,
setia menemaniku di pagi hari, meski sebentar, ia selalu ada untukku.”
“Aku juga setia?”
“Ah. Lelaki sama saja. Tunanganku,
pergi meninggalkanku di suatu pagi di taman ini, saat kami memandangi embun. Ia
pergi meninggalkanku tanpa kembali. Janjinya kembali di taman ini, saat embun
belum dicumbu hangat mentari. Sampai pagi ini, ia belum lagi muncul. Aku telah
terlanjur mencintai embun, bukan manusia.”
“Aku juga kehilangan istriku, ia
telah dipanggil-Nya tiga tahun yang lalu.”
“Seharusnya kamu tetap setia pada
istrimu meski ia telah di tempat lain. Karena melalui embun mungkin ia menitip
salam untukmu. Tidakkah engkau ingin membalas salamnya melalui embun juga.
Dengan senang hati embun akan bersedia menghantarkannya untukmu dan untuk
istrimu.”
Selepas kata-kata yang terucap dari
bibir Sulasih yang merekah indah, aku merasakan galau yang menyesak dada. Sore
hari aku mengunjungi makam istriku, menaburkan bunga-bunga dan memanjatkan
doa-doa.
Seminggu kemudian, aku kembali
menemui Sulasih. Duduk di sampingnya.
“Sini, bersama-sama menunggui embun.
Sampaikanlah salam untuk istrimu pada embun!” ucapnya dengan tatapan hangat.
Aku tak mampu berkata-kata, hanya
tersenyum kemudian meninggalkan Sulasih seorang diri.
“Lelaki memang sama! Pergi tanpa
jelas apa yang dicari!” umpatnya mengiringi kepergianku.
Aku tak lagi mengunjunginya.
Kuputuskan untuk melupakan sejenak gadis penunggu embun itu. Kujalani aktivitasku
tanpanya.
Namun
setelah beberapa minggu aku tak mengunjunginya, ada rasa kangen yang meronta mengajakku
mengunjungi taman bunga. Aku memutuskan untuk menemui Sulasih. Hari Sabtu aku
masih melihatnya duduk di taman kota mengenakan gaun hijau dan berteduhkan
payung warna ungu, berhiaskan rintik hujan dan pelangi di atas taman. Sungguh
pemandangan hidup yang indah.
Hari
Minggu, aku bergegas menemui Sulasih di saat embun-embun sedang memeluk
daun-daun dan bunga-bunga. Tapi! Aku tak mendapati Sulasih. Ia tak berada di
taman. Pada siapa aku harus bertanya? Ke mana kuharus mencarinya? Tampaknya tak
ada yang peduli padanya selain aku.
“Gadis
itu “penunggu” taman ini. Ia telah meninggal di tempat ini setahun yang lalu.
Kekasihnya yang telah membunuhnya, karena tak mau mempertanggungjawabkan
perbuatannya menodai gadis itu,” ucap seorang lelaki petugas kebersihan kota
yang telah duduk di sampingku. Ternyata lelaki itu mengamati gerak-gerikku
setiap hari Minggu berbicara dengan embun.
“Syukurlah,
sekarang gadis itu sudah kembali ke alamnya,” ucap lelaki itu, dari suaranya ia
seperti seorang yang mempunyai ilmu agama yang mendalam.
Aku
terdiam mengembun kemudian serasa terbang dicumbui hangat mentari. Tubuhku
lunglai, tersadar tatkala telah diantar lelaki itu sampai ke rumahku.[]
(Juara Favorit Lomba Cerpen Remaja
Kategori Umum/ Guru Tingkat Nasional Writing Revolution 2012)
2 komentar:
aku suka cerpen-cerpennya, sederhana, mudah dibaca dan berisi.
terimakasih apresiasinya
Posting Komentar