Cerpen Agus Pribadi (SatelitPost, 16 Desember 2012)
Aku tak percaya kalau adikku semata wayang dimakan
buaya siluman. Aku lebih percaya kalau adikku hanyut ditelan air sungai Serayu
yang meluap.
Setiap melihat sungai Serayu, hatiku seperti diiris
sembilu. Perih. Seperti saat ini ketika gerimis semakin menderas menjadi hujan.
Aku melihat sungai Serayu dari teras rumah. Sungai yang cukup lebar, yang
menjadi salah satu sumber pengairan utama di Banyumas.
Bayangan adik
lelakiku yang sedang bermain-main di tepi sungai itu terus membayang. Adikku
baru berumur 10 tahun, sedang riang-riangnya menjalani denyut kehidupan. Sedang
senang-senangnya berangkat sekolah kelas empat SD. Dia anak yang pintar. Selalu
ranking satu di kelasnya. Namun dia harus meregang nyawa.
Sore itu hujan turun dengan derasnya. Aku dan adikku
sedang menonton televisi di ruang keluarga. Adikku melihat sesosok gadis berteduh
di teras rumah kami. Aku juga melihat sepintas gadis itu. Rambutnya panjang
tergerai, kulitnya putih kekuningan. Andai punya kuasa, aku ingin menemuinya.
Mengakrabinya, dan mengajaknya menjalin hubungan yang lebih serius. Jika
hubungan serius itu berlanjut, aku akan melamarnya, menjadikan dia istriku.
Dengan demikian, rumahku tak akan sepi seperti kuburan lagi. Tapi aku tak punya
kuasa apa-apa. Aku tak punya nyali, bahkan sekedar menemuinya.
“Mas, ada cewek yang berteduh, cantik lho!” ucap
adikku seperti menyuruhku untuk melihat gadis itu. Namun aku lebih asyik dengan
acara bola di televisi.
“Ya biarkan saja, mungkin dia juga sudah punya
pacar,” jawabku sekenanya.
Adikku kemudian menuju keluar. Mungkin penasaran
dengan sosok gadis itu. Sementara aku asyik tenggelam dengan acara kegemaranku.
Ternyata adikku tidak sekedar melongok keluar, tapi
menemui gadis itu. Entah apa yang mereka bicarakan. Sekitar lima menit
kemudian, adikku masuk kembali. Mengambil sesuatu ke dapur, kemudian keluar
lagi.
“Minuman untuk gadis itu?” tanyaku saat adikku
melewatiku sambil membawa segelas teh hangat. Asapnya mengepul dari dalam gelas.
“Iya Mas, kasihan dia menggigil kedinginan. Dia
orangnya baik lho, aku juga dikasih permen olehnya.” Adikku melangkah keluar
lagi dengan gembira. Ada keinginanku untuk menemui gadis itu, namun rasa tak
percaya diriku muncul. Begitulah mengapa aku belum punya kekasih sampai saat
ini.
Hujan pun reda. Adikku masuk memberitahukan kalau
gadis itu sudah berpamitan. Aku menuju keluar. Hanya melihat punggung gadis itu
dan rambutnya yang panjang tergerai berlatar pemandangan sungai Serayu yang
berada tak jauh di depan rumahku. Ia mengenakan baju putih lengan panjang,
celana panjang warna hitam. Seperti seorang sales.
“Apa yang kamu bicarakan dengan gadis itu?” tanyaku
penasaran.
“Biasa saja, Mas. Aku menanyakan namanya, tapi gadis
itu hanya tersenyum. Manis sekali, Mas. Gadis itu hanya bercerita kalau dia
numpang berteduh karena menurutnya cuacanya sedang tidak baik.”
Setelah percakapan itu, adikku berpamitan untuk
mandi di tepi sungai Serayu bareng teman-temannya. Aku menyesal tak
mencegahnya.
“Aku bareng teman-teman, Mas. Tak usah khawatir,
hanya mandi di tepi, tak ke tengah sungai,” kata-kata terakhir adikku.
Setelah itu adikku tak pulang. Hanya adikku yang
hilang. Menurut teman-temannya yang waktu itu mandi bersama adikku, adikku
terbawa arus sungai.
Aku seperti siang yang tiba-tiba berubah menjadi
malam. Tanpa adikku, dunia ini terasa gelap. Aku sudah kehilangan ibu dan bapak
yang meninggal karena kecelakaan sepeda motor. Aku berjuang membesarkan adikku
dengan biayaku sendiri dari bekerja sambil kuliah. Bekerja apa saja, yang
penting halal. Menjadi Loper koran, jualan kue pernah aku lakoni. Semua demi
adikku. Namun takdir berkata lain. Adikku meninggalkanku seorang diri.
Kabar hilangnya adikku tersiar di seluruh penjuru
kampung. Menyebar dari mulut ke mulut. Menjadi beragam cerita yang berkembang.
Ada yang menduga adikku terbawa arus deras sungai
Serayu. Atau tenggelam di dasar sungai Serayu.
Ada yang meyakini, adikku dimakan buaya yang
sesekali muncul di daerah tertentu sungai Serayu. Ihwal buaya ini, konon ada beberapa
orang yang pernah melihatnya. Aku sendiri belum pernah melihat buaya di sungai
Serayu. Meskipun beberapa kali aku pernah ikut sebuah ekspedisi menyusuri
sungai Serayu menggunakan perahu karet.
Ada yang percaya adikku dimakan buaya siluman.
Menurut orang yang percaya akan hal itu, gadis yang berteduh di teras rumahku
itu sebenarnya merupakan makhluk jadi-jadian. Jelmaan buaya siluman yang sedang
mencari korban.
Dari sekian cerita, cerita terakhir yang paling tak
aku percayai. Aku lebih meyakini kematian adikku sudah digariskan Tuhan, dengan
jalan terseret arus deras sungai Serayu.
Setiap
hari dilakukan pencarian jasad adikku oleh pihak-pihak yang berwenang dan
orang-orang yang peduli dengan hilangnya adikku. Pada hari ketujuh membuahkan
hasil. Orang-orang menemukan jasad adikku di dasar sungai Serayu dalam keadaan seperti
dicaplok buaya. Tubuhnya koyak. Setelah diangkat, ternyata adikku tak bisa berenang
menyelamatkan diri karena terbelenggu oleh sampah plastik hitam dan terjebak di
sebuah sampah kotak televisi rusak yang menganga seperti buaya.
Meski
jasad adikku telah ditemukan, dan misteri penyebab kematiannya telah terang
benderang, namun keyakinan orang-orang tentang kematian adikku tetap saja
beragam. Bagiku kematian adikku sudah jelas, yakni terjebak sampah di dasar
sungai Serayu. Bukan karena buaya, apalagi buaya Siluman.
Lamunanku dihentikan oleh datangnya sesosok gadis
yang ingin ikut berteduh di teras rumahku. Rambutnya panjang tergerai, kulitnya
putih kekuningan. Ia mengenakan baju putih lengan panjang, celana panjang warna
hitam. Seperti seorang sales.
“Boleh ikut berteduh, Mas?” suara halus gadis itu
membuatku terpaku. Lidahku kelu untuk menjawab. Kakiku seperti ditusuk paku
besar ke dalam bumi. Gadis itu persis seperti yang berteduh waktu yang lalu
sesaat sebelum tenggelamnya adikku di sungai Serayu.
Gadis itu masih berdiri di depan rumahku, diguyur
hujan yang kian menderas. Aku masih bergeming di tempatku semula. Aku tak mempunyai kekuatan untuk
menghilangkan kelu di lidahku dan mencabut paku besar di kakiku. Aku tak berani
menatap wajah gadis itu. Aku tak mau ada bayangan seekor buaya di depanku. Aku
memejamkan mata sambil menyebut Asma Tuhan. Tak tahu apakah gadis itu akan berlari ke arahku atau akan pergi
meninggalkanku. Aku hanya mendengar suara langkah kaki berkecipak karena hujan.
Namun aku tak tahu suara langkah kaki mendekat atau menjauhiku. Aku tak bisa
membedakannya. Karena hujan yang menderas atau mungkin degup jantungku yang
terdengar lebih keras.[]
Banyumas, 6 Desember 2012
Agus Pribadi, Ketua Para Penulis Muda Banyumas
(Penamas). Salah satu cerpennya berjudul “Cicak” dimuat di koran Suara Merdeka.
Cerpen-cerpennya yang lain termaktub dalam antologi Balada Seorang Lengger (2011),
Kunang-Kunang Kenangan (2012), dan Cindaga
(2012).
0 komentar:
Posting Komentar