BELAJAR SEPANJANG HAYAT


Catatan Harian Seorang Guru IPA







Selamat berkunjung di blog kami, semoga bermanfaat

Selasa, 25 Desember 2012

Buaya



Cerpen Agus Pribadi (SatelitPost, 16 Desember 2012)

Aku tak percaya kalau adikku semata wayang dimakan buaya siluman. Aku lebih percaya kalau adikku hanyut ditelan air sungai Serayu yang meluap.
Setiap melihat sungai Serayu, hatiku seperti diiris sembilu. Perih. Seperti saat ini ketika gerimis semakin menderas menjadi hujan. Aku melihat sungai Serayu dari teras rumah. Sungai yang cukup lebar, yang menjadi salah satu sumber pengairan utama di Banyumas.
 Bayangan adik lelakiku yang sedang bermain-main di tepi sungai itu terus membayang. Adikku baru berumur 10 tahun, sedang riang-riangnya menjalani denyut kehidupan. Sedang senang-senangnya berangkat sekolah kelas empat SD. Dia anak yang pintar. Selalu ranking satu di kelasnya. Namun dia harus meregang nyawa.
Sore itu hujan turun dengan derasnya. Aku dan adikku sedang menonton televisi di ruang keluarga. Adikku melihat sesosok gadis berteduh di teras rumah kami. Aku juga melihat sepintas gadis itu. Rambutnya panjang tergerai, kulitnya putih kekuningan. Andai punya kuasa, aku ingin menemuinya. Mengakrabinya, dan mengajaknya menjalin hubungan yang lebih serius. Jika hubungan serius itu berlanjut, aku akan melamarnya, menjadikan dia istriku. Dengan demikian, rumahku tak akan sepi seperti kuburan lagi. Tapi aku tak punya kuasa apa-apa. Aku tak punya nyali, bahkan sekedar menemuinya.
“Mas, ada cewek yang berteduh, cantik lho!” ucap adikku seperti menyuruhku untuk melihat gadis itu. Namun aku lebih asyik dengan acara bola di televisi.
“Ya biarkan saja, mungkin dia juga sudah punya pacar,” jawabku sekenanya.
Adikku kemudian menuju keluar. Mungkin penasaran dengan sosok gadis itu. Sementara aku asyik tenggelam dengan acara kegemaranku.
Ternyata adikku tidak sekedar melongok keluar, tapi menemui gadis itu. Entah apa yang mereka bicarakan. Sekitar lima menit kemudian, adikku masuk kembali. Mengambil sesuatu ke dapur, kemudian keluar lagi.
“Minuman untuk gadis itu?” tanyaku saat adikku melewatiku sambil membawa segelas teh hangat. Asapnya mengepul dari dalam gelas.
“Iya Mas, kasihan dia menggigil kedinginan. Dia orangnya baik lho, aku juga dikasih permen olehnya.” Adikku melangkah keluar lagi dengan gembira. Ada keinginanku untuk menemui gadis itu, namun rasa tak percaya diriku muncul. Begitulah mengapa aku belum punya kekasih sampai saat ini.
Hujan pun reda. Adikku masuk memberitahukan kalau gadis itu sudah berpamitan. Aku menuju keluar. Hanya melihat punggung gadis itu dan rambutnya yang panjang tergerai berlatar pemandangan sungai Serayu yang berada tak jauh di depan rumahku. Ia mengenakan baju putih lengan panjang, celana panjang warna hitam. Seperti seorang sales.
“Apa yang kamu bicarakan dengan gadis itu?” tanyaku penasaran.
“Biasa saja, Mas. Aku menanyakan namanya, tapi gadis itu hanya tersenyum. Manis sekali, Mas. Gadis itu hanya bercerita kalau dia numpang berteduh karena menurutnya cuacanya sedang tidak baik.”
Setelah percakapan itu, adikku berpamitan untuk mandi di tepi sungai Serayu bareng teman-temannya. Aku menyesal tak mencegahnya.
“Aku bareng teman-teman, Mas. Tak usah khawatir, hanya mandi di tepi, tak ke tengah sungai,” kata-kata terakhir adikku.
Setelah itu adikku tak pulang. Hanya adikku yang hilang. Menurut teman-temannya yang waktu itu mandi bersama adikku, adikku terbawa arus sungai.
Aku seperti siang yang tiba-tiba berubah menjadi malam. Tanpa adikku, dunia ini terasa gelap. Aku sudah kehilangan ibu dan bapak yang meninggal karena kecelakaan sepeda motor. Aku berjuang membesarkan adikku dengan biayaku sendiri dari bekerja sambil kuliah. Bekerja apa saja, yang penting halal. Menjadi Loper koran, jualan kue pernah aku lakoni. Semua demi adikku. Namun takdir berkata lain. Adikku meninggalkanku seorang diri.
Kabar hilangnya adikku tersiar di seluruh penjuru kampung. Menyebar dari mulut ke mulut. Menjadi beragam cerita yang berkembang.
Ada yang menduga adikku terbawa arus deras sungai Serayu. Atau tenggelam di dasar sungai Serayu.
Ada yang meyakini, adikku dimakan buaya yang sesekali muncul di daerah tertentu sungai Serayu. Ihwal buaya ini, konon ada beberapa orang yang pernah melihatnya. Aku sendiri belum pernah melihat buaya di sungai Serayu. Meskipun beberapa kali aku pernah ikut sebuah ekspedisi menyusuri sungai Serayu menggunakan perahu karet.
Ada yang percaya adikku dimakan buaya siluman. Menurut orang yang percaya akan hal itu, gadis yang berteduh di teras rumahku itu sebenarnya merupakan makhluk jadi-jadian. Jelmaan buaya siluman yang sedang mencari korban.
Dari sekian cerita, cerita terakhir yang paling tak aku percayai. Aku lebih meyakini kematian adikku sudah digariskan Tuhan, dengan jalan terseret arus deras sungai Serayu.
Setiap hari dilakukan pencarian jasad adikku oleh pihak-pihak yang berwenang dan orang-orang yang peduli dengan hilangnya adikku. Pada hari ketujuh membuahkan hasil. Orang-orang menemukan jasad adikku di dasar sungai Serayu dalam keadaan seperti dicaplok buaya. Tubuhnya koyak. Setelah diangkat, ternyata adikku tak bisa berenang menyelamatkan diri karena terbelenggu oleh sampah plastik hitam dan terjebak di sebuah sampah kotak televisi rusak yang menganga seperti buaya.
Meski jasad adikku telah ditemukan, dan misteri penyebab kematiannya telah terang benderang, namun keyakinan orang-orang tentang kematian adikku tetap saja beragam. Bagiku kematian adikku sudah jelas, yakni terjebak sampah di dasar sungai Serayu. Bukan karena buaya, apalagi buaya Siluman.
Lamunanku dihentikan oleh datangnya sesosok gadis yang ingin ikut berteduh di teras rumahku. Rambutnya panjang tergerai, kulitnya putih kekuningan. Ia mengenakan baju putih lengan panjang, celana panjang warna hitam. Seperti seorang sales.
“Boleh ikut berteduh, Mas?” suara halus gadis itu membuatku terpaku. Lidahku kelu untuk menjawab. Kakiku seperti ditusuk paku besar ke dalam bumi. Gadis itu persis seperti yang berteduh waktu yang lalu sesaat sebelum tenggelamnya adikku di sungai Serayu.
Gadis itu masih berdiri di depan rumahku, diguyur hujan yang kian menderas. Aku masih bergeming di tempatku semula.  Aku tak mempunyai kekuatan untuk menghilangkan kelu di lidahku dan mencabut paku besar di kakiku. Aku tak berani menatap wajah gadis itu. Aku tak mau ada bayangan seekor buaya di depanku. Aku memejamkan mata sambil menyebut Asma Tuhan. Tak tahu apakah gadis itu akan  berlari ke arahku atau akan pergi meninggalkanku. Aku hanya mendengar suara langkah kaki berkecipak karena hujan. Namun aku tak tahu suara langkah kaki mendekat atau menjauhiku. Aku tak bisa membedakannya. Karena hujan yang menderas atau mungkin degup jantungku yang terdengar lebih keras.[]

Banyumas, 6 Desember 2012
Agus Pribadi, Ketua Para Penulis Muda Banyumas (Penamas). Salah satu cerpennya berjudul “Cicak” dimuat di koran Suara Merdeka. Cerpen-cerpennya yang lain termaktub dalam antologi Balada Seorang Lengger (2011), Kunang-Kunang Kenangan (2012), dan Cindaga (2012).
Share:

0 komentar:

VIDEO PEMBELAJARAN

Frequency Counter Pengunjung

Artikel Terbaru

LINK SAYA

Komentar Terbaru

Konsultasi IPA