Cerpen Agus Pribadi (Suara Merdeka, 2 September
2012)
AKU terus mengamati lima ekor cicak yang berada di
dinding dan atap kamar anakku. Aku yakin, satu di antaranya adalah anak lelaki
semata wayangku yang telah menjelma menjadi seekor cicak.
Biasanya, aku melihatnya sedang rebahan di atas kasur
dalam kamarnya. Sejak suamiku meninggal karena sakit yang tak terobati, anak
lelakiku itu kerap merenung di kamar seorang diri. Apalagi selulus SMA, ia tak
jua mampu mendapatkan pekerjaan. Meneruskan kuliah jelas tak mampu karena hanya
aku penopang hidup keluarga. Seorang diri aku hanya mengandalkan hasil tak
seberapa dari membuka warung makan di depan rumah, di daerah pedesaan yang
sepi.
Tiga tahun tak mendapatkan pekerjaan, membuat anakku
seperti patah arang. Hampir setiap hari aku melihatnya sedang merenung di kamar
sambil mengamati cicak-cicak di dinding dan atap kamar. Jumlah cicak di kamar
anakku tak pernah lebih dari empat ekor.
Hari demi hari, aku melihat anakku seperti semakin
akrab dengan cicak-cicak yang dilihatnya. Bahkan dari balik pintu kamarnya yang
terbuka sedikit, aku melihat anakku seperti sedang bercakap-cakap dengan
cicak-cicak itu.
Suatu pagi, aku melihat di dalam sana, di kamar
anakku, ada seekor cicak sedang menangkap nyamuk. Hap! Lalu ditangkap. Cicak
itu berhasil menangkap mangsa dengan mulutnya. Aku melihat anakku dengan
saksama mengamati peristiwa itu. Ia seakan terkagum-kagum dengan binatang yang
mempunyai kemampuan istimewa merambat di dinding dan atap rumah itu. Ketika aku
kembali ke kamar anakku, setelah melakukan aktivitasku berjualan di warung
depan rumah hingga sore menjelang, aku terkesiap. Anakku menghilang. Cicak itu
berjumlah menjadi lima ekor yang sebelumnya berjumlah empat ekor. Aku yakin
anakku telah berubah menjadi cicak.
Ketika aku mengabarkan kepada orang-orang bahwa anakku
telah berubah menjadi cicak, beragam tanggapan mereka terhadapku. Ada yang
menganggap aku telah menjadi gila tersebab kematian suamiku empat tahun yang
lalu dan minggatnya anakku dari rumah.
“Kasihan Martini menjadi kurang waras sejak suaminya
meninggal. Anaknya minggat dianggap berubah menjadi cicak,” ucap seorang nenek
pada perempuan di sampingnya dengan bibir agak dimonyongkan. Aku melihat nenek
renta itu menggunjingku saat aku hendak mencuci di sungai. Melihat kedatanganku
di tepi sungai mereka terdiam, berpura-pura melanjutkan membentur-benturkan
kain basahnya ke atas batu-batu sungai.
Ada yang menganggap anakku pergi dari rumah karena tak
kuasa mendapati dirinya yang pengangguran dan malu dengan orang-orang desa.
“Anak semata wayang Martini pasti minggat. Mungkin
mencari pekerjaan ke kota atau menjadi gelandangan entah di mana,” ucap seorang
lelaki paruh baya, yang sering mengecer rokok di warungku ketika berangkat atau
pulang dari sawah, pada lelaki paruh baya lainnya.
Ada yang menganggap anakku telah gila karena terlalu
banyak melamun di kamarnya dan telah pergi meninggalkan rumah tanpa pamit
kepadaku, ibu yang sangat dicintainya.
“Kasihan anak Martini. Kerjanya mengurung diri di
kamar. Tak mau membaur, bergaul dengan bujang-bujang desa lainnya. Dan anak itu
mungkin telah minggat dan menjadi gila,” ucap Rumiyah, temanku waktu sekolah
dulu, pada tetangganya.
Aku tak percaya dengan omongan tak berdasar mereka.
Aku tak peduli cibiran sinis mereka. Aku yakin anakku telah berubah menjadi
cicak. Dan sejak itu, aku selalu menjaga kamar anakku. Aku biarkan
nyamuk-nyamuk berbiak di kamarnya agar ia tidak kelaparan. Aku selalu
melihatnya sedang bermain-main dengan empat temannya yang lain. Aku sangat senang,
jika mendapati anakku sedang menangkap nyamuk untuk dimakannya.
***
SEMUA itu bermula saat aku mengamati cicakcicak di dinding
kamar dan atap rumah. Aku melihat seekor cicak sedang menangkap nyamuk dengan
mulutnya. Aku kagum. Binatang itu mampu menangkap makanannya merupakan makhluk
yang bisa terbang. Padahal binatang reptil itu posisinya sangat sulit, berada
di dinding tembok atau di atap rumah. Sungguh luar biasa. Melihat kejadian itu,
aku menjadi malu dengan diriku sendiri. Aku hanya bergeming di kamar. Padahal
aku diberi kesempurnaan fisik, bisa berenang, bisa berjalan, dan bisa melakukan
apa pun yang aku inginkan. Aku tergerak untuk bangun, bangkit dan bekerja.
Pekerjaan yang menantang sekali pun.
Aku menjadi teringat kembali enam bulan yang lalu, saat
menolak ajakan Paklik Darsun untuk bekerja di kota. Waktu itu aku tak mau kalau
harus bekerja sebagai kuli bangunan ditambah lokasinya yang penuh risiko karena
harus bekerja di ketinggian beberapa lantai.
“Kapan pun kau mau, datanglah ke kota dan bekerja
bersamaku,” kata-kata Paklik Darsun seakan kembali mengiang di telingaku.
Tanpa berpikir panjang, aku langsung bangkit dari
rebahku. Mengambil beberapa potong baju, menyambar jaket hitam, juga topi
hitam, dan pergi meninggalkan kamar melalui jendela. Aku sengaja tak berpamitan
pada ibu. Aku tak mempunyai muka di hadapan ibu karena aku sudah bersumpah tak
akan bekerja kasar menjadi kuli bangunan. Aku malu menelan ludahku sendiri di
hadapan ibu.
Aku bergegas saat ibu sedang berada di warung depan
rumah. Mengenakan jaket hitam, bertopi hitam. Mengendap agar tak terlihat
orang. Menyibak rimbun pohon bambu, melewati jalan yang jarang dilalui orang.
Aman. Aku langsung naik angkutan pedesaan jurusan kota yang kebetulan melintas
di jalan kampong yang sepi. Aman. Tak ada penumpang lain selain aku. Aman.
Sopirnya pun tak mengenaliku. Aku berhenti di jalan besar.
Aku kembali naik kendaraan umum. Setelah menunggu
beberapa saat, sebuah bus besar jurusan kota berhenti di depanku. Bus itu pun
membawaku ke kota tempat Paklik Darsun sedang bekerja.
Setelah bertanya ke sana kemari, akhirnya aku
menemukan tempat kerja Paklik. Aku melihatnya sedang berada di ketinggian. Aku
menjadi teringat cicak di kamarku yang sedang menangkap nyamuk. Aku bertekad
akan bekerja bersama Paklik Darsun di sana.
“Kamu sudah mantap akan bekerja di tempat ini? Kamu
akan naik di tempat itu!” tanya Paklik Darsun sambil menunjuk tempat
ketinggian, sore hari saat ia telah selesai bekerja hari itu.
“Saya siap, Paklik!” jawabku mantap. Sekelebat bayangan
cicak yang sedang menangkap seekor nyamuk di kamarku kembali melintas dalam
pikiranku.
“Nah gitu, namanya lelaki jantan. Siap bekerja di mana
pun tempatnya yang penting halal.” Ucap Paklik Darsun sambil menepuk pundakku.
Aku pun diajaknya menuju ke kontrakannya yang tidak jauh dari tempatnya
bekerja.
***
WARUNGKU semakin sepi. Mungkin sejak orang-orang mengetahui
kalau aku menganggap anakku telah berubah menjadi seekor cicak. Para
pelangganku mungkin banyak yang tak sudi lagi membeli ke warungku dan menganggapku
gila. Siapa yang sudi membeli jika yang berjualan orang gila?
Hanya sedikit orang yang tetap membeli ke warungku.
Kebanyakan mereka yang berusia lanjut. Mungkin kematangan jiwa mereka
menjadikan mereka memahami gejolak yang ada dalam jiwa seorang ibu pada
anaknya.
Aku menutup warungku lebih awal dari biasanya. Aku
lebih sering berada di kamar anakku. Melihatnya sedang termangu di dinding
tembok kamarnya sambil menunggu ada nyamuk yang hinggap di depannya. Aku
merelakan sekujur tubuhku digigit nyamuk-nyamuk yang mengganas.
***
AWALNYA aku ketakutan saat harus bekerja di ketinggian. Namun
lambat laun menyenangkan juga bisa menaklukkan tantangan itu. Bahkan aku kadang
kurang berhati-hati saat bekerja di ketinggian karena merasa telah terbiasa.
Tak terasa, hampir setahun aku bekerja di kota. Aku
telah mengumpulkan sejumlah uang. Aku bertekad akan menambah modal warung Ibu.
Pasti Ibu senang jika warungnya bertambah besar dan lengkap.
Beraneka sayuran dan kebutuhan sehari-hari akan
tersaji untuk para pembeli. Betapa riang hati Ibu menunggui warung yang besar
dan lengkap.
Aku juga akan membeli sepetak sawah yang akan kuurus
sendiri. Hasilnya akan kutabung dan kujadikan modal menikah agar Ibu lebih
senang lagi.
Mudik tahun ini, semua impianku itu akan kuwujudkan.
***
SUARA sirine ambulans mengiung-ngiung seperti dengung lebah
yang memekakkan telinga. Aku menutup kedua lubang telingaku agar tak mendengar
lagi suara yang kian dekat itu. Suara yang menyayat hati. Aku berharap mobil
asing itu tak menuju ke rumahku.
Seperti sebuah firasat, tadi malam aku melihat ada
seekor cicak terjatuh mati di kamar anakku. Aku berharap cicak itu bukan
anakku. Anakku pasti masih merayap di atas sana. Namun aku tetap menguburkan
cicak itu. Sejak anakku menghilang, aku menganggap semua cicak adalah anakku.
Aku menguburkannya di belakang rumah.
Harapanku tak menjadi kenyataan. Mobil ambulans itu
berhenti tepat di depan warungku. Darsun, adikku keluar dari mobil itu. Matanya
sembab. Kabar buruk apa yang dibawanya? Orang-orang berkerumun, dengan tanya
yang mungkin sama denganku.
“Anakmu mati, jatuh dari ketinggian, Yu,” ucap Darsun
terbata-bata.
“Tak mungkin. Anakku sudah menjadi cicak,” aku
menggeleng. Air mata membanjiri pipiku.
Dua orang petugas berpakaian putih-putih dibantu
Darsun dan seorang tetangga membawa peti jenazah dan meletakannya di ruang
tamu. Aku mendekat, menatapnya lekat. Aku tak kuasa melihat seorang pemuda
berbadan dan berwajah mirip anakku terbujur kaku tak bernyawa.
Aku menggeleng. Tak bisa menerima kenyataan ini. Bukan.
Dia pasti bukan anakku. Aku kembali menatapnya lekat. Ia sangat mirip dengan
anakku. Tapi aku lebih yakin kalau anakku telah menjadi cicak. (*)
Banyumas, 21 Agustus 2012
Agus Pribadi, Ketua Para Penulis Muda Banyumas
(Penamas). Cerpen-cerpennya termaktub dalam antologi Balada Seorang Lengger (2011)
dan Kunang-Kunang Kenangan (2012).
0 komentar:
Posting Komentar