Cerpen Agus Pribadi
Indah guru baru di sebuah
sekolah SMP milik pemerintah. Berwajah menarik, dan masih single.
Ia langsung menjadi wali kelas delapan di sekolah itu. Di hari pertama
menjadi wali kelas, Indah terkesan pada salah seorang peserta didiknya,
Fitri. Terkesan pada gerak lincah gadis itu. Kesan sebuah keluarga kaya
yang menaunginya. Keluarga kaya yang penuh kasih sayang memeliharanya
dan melindunginya setiap waktu. Sungguh bahagia menjadi seorang Fitri.
Batin Indah.
Fitri gadis yang supel.
Murah senyum. Manis. Rambutnya diikat rapi. Bajunya licin dan melipit.
Pokoknya enak dilihat. Bu Indah pun diam-diam merasa salut dengan salah
satu peserta didiknya itu.
***
Di hari-hari berikutnya,
kesan terhadap Fitri menjadi pudar. Seperti kaca yang terkena uap air.
Buram. Indah melihat Fitri menjadi anak yang suka membanggakan dirinya.
“Aku akan beli hape baru.
Tentunya hape yang mahal dong,” ucap Fitri pada teman-temannya saat
istirahat.
“Aku mau beli hape itu di
kota, diantar mobil bareng ayahku.kalian mau ikut tidak? tapi harus beli
hape juga donk, jangan sekedar jalan-jalan.” Fitri terus nyerocos,
sementara teman-temannya senang melihat binar-binar yang terpancar dari
mata dan wajah Fitri. Indah mendengar pembicaraan peserta didiknya itu
ketika melewati mereka semua.
Suatu hari Indah memanggil
pesera didiknya itu. Fitri tidak masuk sekolah tanpa keterangan sehari
sebelumnya.
“Mengapa kemarin kamu tidak
masuk, Fitri?” tanya Indah di ruangannya.
“Saya ada kepentingan
keluarga, Bu. Kemarin saya bareng keluarga mendatangi resepsi pernikahan
tanteku.”
“Seharusnya orang tuamu
membuatkan surat izin untukmu?”
“Kami terburu-buru, Bu.”
“Tak semestinya kamu
beralasan.”
***
Indah menyesal telah memilih
Fitri menjadi bendahara kelas. Dulu ia mengira peserta didiknya itu
akan menjalankan tugasnya dengan baik. Namun sebaliknya, pembukuan
bendahara kelas itu terkesan acak-acakan. Lupa, dan lupa. Itu alasan
yang dibuatnya saat dicecar pertanyaan oleh Indah. Pertanyaan-pertanyaan
tentang kejanggalan dalam pembukuan uang kas kelas.
Indah sebenarnya ingin
mengganti Fitri dengan peserta didik lain untuk dijadikan bendahara.
Namun indah punya rasa tak tega. Indah takut peserta didiknya yang
ibarat bunga sedang mulai mengembang itu menjadi layu.
***
Suatu hari Fitri tidak masuk
sekolah tanpa keterangan, demikian juga hari berikutnya, dan sampai
hari ketiga. Indah bertanya-tanya dalam hati tentang peserta didiknya
yang satu itu. Ada apa dengan Fitri? Mengapa sampai tiga hari tak masuk?
Indah bertambah kaget dan
penuh tanya, saat mendapati ternyata Fitri punya banyak
hutang pada teman-temannya. Itu berasal dari pengakuan para peserta
didiknya yang lain. Uang kas kelas pun dipakai oleh Fitri. Itu
berdasarkan pengecekan yang dilakukan oleh Indah. Terdapat selisih yang
cukup banyak antara yang tercatat dengan uang yang ada.
***
Pagi hari, di hari Minggu.
Udara sejuk. Indah melaju seorang diri di atas sepeda motor matic-nya.
Rumah Fitri. Itulah satu-satunya tujuannya.
“Rumah saya yang berlantai
dua, Bu. Yang bercat hijau. Yang ada pohon mangga di depan rumah,” Indah
terngiang ucapan Fitri saat menanyakan alamat rumah peserta didiknya
itu sebulan yang lalu.
Indah sampai di depan sebuah
rumah berlantai dua. Berwarna hijau. Di depan rumah itu ada pohon
mangga. Ah, ini rumah Fitri yang dikatakannya, batin Indah. Indah
bergeming di depan rumah itu. Sepi. Seperti tak berpenghuni. Indah
melangkah ke sebuah rumah, tapi lebih mirip sebuah gubuk. Rumah itu
dindingnya dari bambu yang sudah sangat kusam. Sepertinya hanya ada satu
kamar tidur. Satu dapur. Satu ruang tamu. Dinding belakang rumah itu
sudah banyak lubang. Kucing pun mungkin dengan leluasa bisa keluar masuk
melalui lubang itu. Indah ingin menanyakan tentang penghuni rumah
berlantai dua itu, pada penghuni rumah yang lebih mirip gubuk itu.
Pintu depan rumah itu tak
tertutup. Indah kian dekat dengan pintu rumah itu. Dan muncullah seorang
anak dengan wajah yang begitu Indah hapal.
“Fitri…?”
“Bu Indah…?”
Keduanya tercekat. Sesaat
kemudian Fitri berlari masuk rumah. Indah masih bergeming merasa tak
percaya kalau rumah peserta didiknya itu bukan yang berlantai dua,
melainkan yang ada di sebelahnya. Rumah yang lebih mirip gubuk.
Seorang wanita tua muncul ke
depan. Wanita tua itu mempersilahkan Indah masuk. Indah tak mampu
membendung airmatanya. Ia tak menyangka kalau Fitri berasal dari
keluarga yang kurang mampu seperti ini.
Indah menyampaikan maksud
kedatangannya, dan menceritakan ihwal Fitri. Wanita tua itu
mendengarkannya dengan seksama.
“Oa lah Nduk…Nduk, kamu kok
punya kelakuan seperti itu. Semoga bukan karena menuruni kelakuan
ibumu,” Nenek Fitri sesenggukkan setelah mendengar cerita Indah tentang
kelakuan cucunya itu.
Wanita tua itu ternyata
nenek Fitri. Orang tua Fitri telah bercerai saat Fitri berumur dua
tahun. Saat itu juga Fitri tinggal bersama neneknya. Orang tua Fitri
yang telah bercerai, merantau di pulau yang berbeda. Itu semua Indah
ketahui dari cerita nenek Fitri.
Setelah dibujuk oleh Indah,
Fitri akhirnya mau keluar dari kamarnya. Fitri mengakui semua
perbuatannya. Memiliki hutang pada teman-temannya, memakai uang kas
kelas. Semua itu hanya untuk menjaga gengsi, membeli hape yang baru.
Fitri tidak berangkat ke sekolah tiga hari karena malu ditagih hutangnya
oleh teman-temannya.
Fitri berjanji akan masuk
sekolah setelah dibujuk oleh Indah, akan dibantu menyelesaikan
masalahnya. Utang-utang Fitri akan dilunasi Indah, termasuk pemakaian
uang kas oleh Fitri. Namun Indah sudah mewanti-wanti agar Fitri tidak
mengulang perbuatannya lagi. Namun demikian Indah akan pasrah saja, jika
nanti Fitri dihukum oleh pihak sekolah. Termasuk kemungkinan
dikeluarkan dari sekolah itu.[]
Banyumas, 29 Januari 2013
(Diposting di Kompasiana, 29 Januari 2013)
0 komentar:
Posting Komentar