BELAJAR SEPANJANG HAYAT


Catatan Harian Seorang Guru IPA







Selamat berkunjung di blog kami, semoga bermanfaat

Rabu, 30 Januari 2013

[Fiksi Sedap] Rumah Fitri

Cerpen Agus Pribadi

Indah guru baru di sebuah sekolah SMP milik pemerintah. Berwajah menarik, dan masih single. Ia langsung menjadi wali kelas delapan di sekolah itu. Di hari pertama menjadi wali kelas, Indah terkesan pada salah seorang peserta didiknya, Fitri. Terkesan pada gerak lincah gadis itu. Kesan sebuah keluarga kaya yang menaunginya. Keluarga kaya yang penuh kasih sayang memeliharanya dan melindunginya setiap waktu. Sungguh bahagia menjadi seorang Fitri. Batin Indah.

Fitri gadis yang supel. Murah senyum. Manis. Rambutnya diikat rapi. Bajunya licin dan melipit. Pokoknya enak dilihat. Bu Indah pun diam-diam merasa salut dengan salah satu peserta didiknya itu.
***
Di hari-hari berikutnya, kesan terhadap Fitri menjadi pudar. Seperti kaca yang terkena uap air. Buram. Indah melihat Fitri menjadi anak yang suka membanggakan dirinya.

“Aku akan beli hape baru. Tentunya hape yang mahal dong,” ucap Fitri pada teman-temannya saat istirahat.
“Aku mau beli hape itu di kota, diantar mobil bareng ayahku.kalian mau ikut tidak? tapi harus beli hape juga donk, jangan sekedar jalan-jalan.” Fitri terus nyerocos, sementara teman-temannya senang melihat binar-binar yang terpancar dari mata dan wajah Fitri. Indah mendengar pembicaraan peserta didiknya itu ketika melewati mereka semua.
Suatu hari Indah memanggil pesera didiknya itu. Fitri tidak masuk sekolah tanpa keterangan sehari sebelumnya.
“Mengapa kemarin kamu tidak masuk, Fitri?” tanya Indah di ruangannya.
“Saya ada kepentingan keluarga, Bu. Kemarin saya bareng keluarga mendatangi resepsi pernikahan tanteku.”
“Seharusnya orang tuamu membuatkan surat izin untukmu?”
“Kami terburu-buru, Bu.”
“Tak semestinya kamu beralasan.”
***
Indah menyesal telah memilih Fitri menjadi bendahara kelas. Dulu ia mengira peserta didiknya itu akan menjalankan tugasnya dengan baik. Namun sebaliknya, pembukuan bendahara kelas itu terkesan acak-acakan. Lupa, dan lupa. Itu alasan yang dibuatnya saat dicecar pertanyaan oleh Indah. Pertanyaan-pertanyaan tentang kejanggalan dalam pembukuan uang kas kelas.
Indah sebenarnya ingin mengganti Fitri dengan peserta didik lain untuk dijadikan bendahara. Namun indah punya rasa tak tega. Indah takut peserta didiknya yang ibarat bunga sedang mulai mengembang itu menjadi layu.
***
Suatu hari Fitri tidak masuk sekolah tanpa keterangan, demikian juga hari berikutnya, dan sampai hari ketiga. Indah bertanya-tanya dalam hati tentang peserta didiknya yang satu itu. Ada apa dengan Fitri? Mengapa sampai tiga hari tak masuk?

Indah bertambah kaget dan penuh tanya, saat mendapati ternyata Fitri punya banyak hutang pada teman-temannya. Itu berasal dari pengakuan para peserta didiknya yang lain. Uang kas kelas pun dipakai oleh Fitri. Itu berdasarkan pengecekan yang dilakukan oleh Indah. Terdapat selisih yang cukup banyak antara yang tercatat dengan uang yang ada.
***
Pagi hari, di hari Minggu. Udara sejuk. Indah melaju seorang diri di atas sepeda motor matic-nya. Rumah Fitri. Itulah satu-satunya tujuannya.

“Rumah saya yang berlantai dua, Bu. Yang bercat hijau. Yang ada pohon mangga di depan rumah,” Indah terngiang ucapan Fitri saat menanyakan alamat rumah peserta didiknya itu sebulan yang lalu.
Indah sampai di depan sebuah rumah berlantai dua. Berwarna hijau. Di depan rumah itu ada pohon mangga. Ah, ini rumah Fitri yang dikatakannya, batin Indah. Indah bergeming di depan rumah itu. Sepi. Seperti tak berpenghuni. Indah melangkah ke sebuah rumah, tapi lebih mirip sebuah gubuk. Rumah itu dindingnya dari bambu yang sudah sangat kusam. Sepertinya hanya ada satu kamar tidur. Satu dapur. Satu ruang tamu. Dinding belakang rumah itu sudah banyak lubang. Kucing pun mungkin dengan leluasa bisa keluar masuk melalui lubang itu. Indah ingin menanyakan tentang penghuni rumah berlantai dua itu, pada penghuni rumah yang lebih mirip gubuk itu.
Pintu depan rumah itu tak tertutup. Indah kian dekat dengan pintu rumah itu. Dan muncullah seorang anak dengan wajah yang begitu Indah hapal.
“Fitri…?”
“Bu Indah…?”
Keduanya tercekat. Sesaat kemudian Fitri berlari masuk rumah. Indah masih bergeming merasa tak percaya kalau rumah peserta didiknya itu bukan yang berlantai dua, melainkan yang ada di sebelahnya. Rumah yang lebih mirip gubuk.

Seorang wanita tua muncul ke depan. Wanita tua itu mempersilahkan Indah masuk. Indah tak mampu membendung airmatanya. Ia tak menyangka kalau Fitri berasal dari keluarga yang kurang mampu seperti ini.
Indah menyampaikan maksud kedatangannya, dan menceritakan ihwal Fitri. Wanita tua itu mendengarkannya dengan seksama.

“Oa lah Nduk…Nduk, kamu kok punya kelakuan seperti itu. Semoga bukan karena menuruni kelakuan ibumu,” Nenek Fitri sesenggukkan setelah mendengar cerita Indah tentang kelakuan cucunya itu.
Wanita tua itu ternyata nenek Fitri. Orang tua Fitri telah bercerai saat Fitri berumur dua tahun. Saat itu juga Fitri tinggal bersama neneknya. Orang tua Fitri yang telah bercerai, merantau di pulau yang berbeda. Itu semua Indah ketahui dari cerita nenek Fitri.
Setelah dibujuk oleh Indah, Fitri akhirnya mau keluar dari kamarnya. Fitri mengakui semua perbuatannya. Memiliki hutang pada teman-temannya, memakai uang kas kelas. Semua itu hanya untuk menjaga gengsi, membeli hape yang baru. Fitri tidak berangkat ke sekolah tiga hari karena malu ditagih hutangnya oleh teman-temannya.

Fitri berjanji akan masuk sekolah setelah dibujuk oleh Indah, akan dibantu menyelesaikan masalahnya. Utang-utang Fitri akan dilunasi Indah, termasuk pemakaian uang kas oleh Fitri. Namun Indah sudah mewanti-wanti agar Fitri tidak mengulang perbuatannya lagi. Namun demikian Indah akan pasrah saja, jika nanti Fitri dihukum oleh pihak sekolah. Termasuk kemungkinan dikeluarkan dari sekolah itu.[]

Banyumas, 29 Januari 2013

(Diposting di Kompasiana, 29 Januari 2013)
Share:

0 komentar:

VIDEO PEMBELAJARAN

Frequency Counter Pengunjung

Artikel Terbaru

LINK SAYA

Komentar Terbaru

Konsultasi IPA