BELAJAR SEPANJANG HAYAT


Catatan Harian Seorang Guru IPA







Selamat berkunjung di blog kami, semoga bermanfaat

Kamis, 10 Januari 2013

Gaji Pensiunan Janda

Cerpen Agus Pribadi
Aku seorang janda. Suamiku seorang pegawai pemerintah, meninggal dunia sembilan tahun yang lalu karena sakit. Aku mewarisi gaji pensiunan almarhum suamiku. Meski tak seberapa, alhamdulillah cukup buat makan aku dan seorang anakku yang tinggal bersamaku.
Seperti pagi ini, aku biasa mengambil gajiku seorang diri. Gaji pensiunan janda bulan pertama di tahun 2013 ini. Naik angkutan pedesaan ongkos tiga ribu, naik angkutan kota ongkos dua ribu lima ratus. Pulang pergi ongkos sebelas ribu.
Sambil duduk di angkutan pedesaan, aku teringat permintaan salah satu anak dan cucu putri semata wayangku.
“Bu, nanti aku dibelikan bedak, sabun mandi, dan odol ya. Semua sudah habis. Bedaknya jangan yang murahan lho,” pinta anak putriku yang masih tinggal bersamaku. Dulu ia pernah kerja di pabrik bulu mata tapi tak betah.
“Eyang, nanti aku dibelikan baju baru di pasar ya! Aku ingin memakai baju baru yang dibelikan Eyang. Bajuku sudah tidak ada yang baru,” rengek cucuku dari anakku yang tinggal di belakang rumahku. Cucu yang masih berumur empat tahun. Sudah lama memang aku tak membelikannya baju. Gaji pensiunku hanya cukup untuk keperluan sehari-hari.
Angkutan pedesaan yang aku tumpangi telah sampai di sebuah pasar. Saatnya aku berganti naik angkutan kota jurusan ke kantor pos tempat dimana aku mengambil gaji pensiunan.
Aku kembali teringat pada apa yang dipesan anak dan cucuku. Aku sebenarnya punya utang ke sebuah bank. Karena itu sisa gaji pensiunanku tinggal 411 ribu. Tak ada yang tahu kalau gaji pensiunanku tinggal segitu. Jika kubelikan pesanan anakku habisnya sekitar 100 ribu, pesanan cucuku habisnya sekitar 75 ribu, biaya naik kendaraan 11 ribu, total 186 rbu. Maka sisa gajiku 225 ribu untuk makan sebulan. Mudah-mudahan cukup.
Aku merasa jarak kantor pos sangat jauh. Mungkin karena usiaku yang sudah 62 tahun. Naik angkutan saja lelah, apalagi kalau naik sepeda. Padahal dulu banyak orang naik sepeda kalau mau pergi ke kota.
Angkutan kota berhenti di depan kantor pos. Aku turun dari mobil itu. Kakiku terasa agak sakit saat melangkah. Mungkin asam uratku sedikit kambuh. Dengan susah payah aku berusaha melangkahkan kaki sewajar mungkin. Aku tak mau tampak seperti seorang nenek renta yang berjalan terseok-seok.
Sudah banyak orang yang juga berduyun-duyun mengambil gaji pensiun mereka masing-masing. Kakek, nenek, berjalan tertatih-tatih. Sudah setua itukah aku? Ah, jika demikian berarti aku sudah sangat renta. Padahal sepertinya baru kemarin aku hidup di dunia. Terasa sangat singkat. Suatu saat pasti tiba giliranku, menyusul almarhum suamiku.
Aku duduk di kursi plastik warna putih yang tertata cukup rapi, diantara para pengambil gaji lainnya. Antri dipanggil. Udara terasa sangat panas. Setengah jam kemudian aku dipanggil petugas pembayar gaji pensiunku. Uang 411 ribu aku terima.
Baru saja aku melangkah beberapa meter dari loket pengambilan gaji pensiun, seorang lelaki muda berumur sekitar 25an tahun mendekatiku.
“Nek, saya kasih hadiah sandal kesehatan. Sandal yang bisa mengobati berbagai macam penyakit. Sangat cocok untuk orang yang berusia lanjut. Ini gratis lho, Nenek mau?” lelaki muda itu menawariku sesuatu. Seperti sedang mengiming-imingi sesuatu pada anak kecil.
“Wah terimakasih, Nak. Aku sedang agak sakit asam urat. Apakah bisa untuk mengobati asam urat jika aku memakai sandal ini?” tanyaku.
“Oh itu pasti Nek. Dijamin Nenek akan sehat tanpa asam urat jika rajin memakai sandal ini di rumah. Silahkan dicoba Nek.” Lelaki muda itu menyodorkan sepasang sandal kesehatan.
Aku mencoba memakai sandal kesehatan itu. Berjalan beberapa langkah, memang aku merasakan nyaman di kakiku.
Setelah berhenti mencoba sandal kesehatan, lelaki muda itu menyuruhku menandatangani sebuah formulir. Ia juga meminta KTPku.
“Nek, ini ada biaya administrasi sebesar 350 ribu.” Ucap lelaki itu.
“Lho tadi katanya gratis?” aku terkaget.
“Iya gratis barangnya, tapi ada biaya administrasinya.”
Aku merasa dijebak. Dengan terpaksa aku menyerahkan uang sejumlah itu. Sekarang di dompetku tersisa uang 61 ribu. Tadi aku hanya membawa uang lima ribu lima ratus.
Aku naik angkutan kota yang berhenti di depan kantor pos. Membawa sandal kesehatan yang tadi terpaksa kubeli.
Di dalam angkutan kota ada seorang gadis sekita 25 tahun. Ia terlihat kebingungan.
“Maaf Nek. Aku tadi pagi habis kecopetan. Aku sedang kebingungan untuk pulang ke rumahku di luar kota.” Gadis yang duduk di depanku itu terlihat sangat memelas. Aku jadi teringat anakku di rumah. Naluri keibuanku membuatku membuka dompet, dan memberikannya selembar uang 50 ribuan. Uang di dompetku tinggal 11 ribu. Mudah-mudahan gadis itu tidak berbohong padaku. Aku tak tega untuk tidak memberi uang padanya.
Uang 11 ribu tak cukup untuk membeli apa yang dipesan anak dan cucuku. Itupun harus dipotong lima ribu lima ratus untuk biaya angkutan. Berarti uangku tersisa lima ribu lima ratus, dapat apa?
Aku langsung pulang, tak jadi mampir ke pasar. Aku langsung naik angkutan pedesaan.
Aku masih diambang pintu ketika anak dan cucuku menghambur ke arahku.
“Mana pesananku, Bu?”
“Eyang, mana baju baruku?”
Aku tetap bergeming di ambang pintu. Aku tak menjawab. Hanya melinangkan air mata.[]
Banyumas, 9 Januari 2013
(Diposting di Kompasiana, 9 Januari 2013)
Share:

0 komentar:

VIDEO PEMBELAJARAN

Frequency Counter Pengunjung

Artikel Terbaru

LINK SAYA

Komentar Terbaru

Konsultasi IPA