Cerpen Agus Pribadi
Aku seorang janda. Suamiku
seorang pegawai pemerintah, meninggal dunia sembilan tahun yang lalu
karena sakit. Aku mewarisi gaji pensiunan almarhum suamiku. Meski tak
seberapa, alhamdulillah cukup buat makan aku dan seorang anakku yang
tinggal bersamaku.
Seperti pagi ini, aku biasa
mengambil gajiku seorang diri. Gaji pensiunan janda bulan pertama di
tahun 2013 ini. Naik angkutan pedesaan ongkos tiga ribu, naik angkutan
kota ongkos dua ribu lima ratus. Pulang pergi ongkos sebelas ribu.
Sambil duduk di angkutan
pedesaan, aku teringat permintaan salah satu anak dan cucu putri semata
wayangku.
“Bu, nanti aku dibelikan
bedak, sabun mandi, dan odol ya. Semua sudah habis. Bedaknya jangan yang
murahan lho,” pinta anak putriku yang masih tinggal bersamaku. Dulu ia
pernah kerja di pabrik bulu mata tapi tak betah.
“Eyang, nanti aku dibelikan
baju baru di pasar ya! Aku ingin memakai baju baru yang dibelikan Eyang.
Bajuku sudah tidak ada yang baru,” rengek cucuku dari anakku yang
tinggal di belakang rumahku. Cucu yang masih berumur empat tahun. Sudah
lama memang aku tak membelikannya baju. Gaji pensiunku hanya cukup untuk
keperluan sehari-hari.
Angkutan pedesaan yang aku
tumpangi telah sampai di sebuah pasar. Saatnya aku berganti naik
angkutan kota jurusan ke kantor pos tempat dimana aku mengambil gaji
pensiunan.
Aku kembali teringat pada
apa yang dipesan anak dan cucuku. Aku sebenarnya punya utang ke sebuah
bank. Karena itu sisa gaji pensiunanku tinggal 411 ribu. Tak ada yang
tahu kalau gaji pensiunanku tinggal segitu. Jika kubelikan pesanan
anakku habisnya sekitar 100 ribu, pesanan cucuku habisnya sekitar 75
ribu, biaya naik kendaraan 11 ribu, total 186 rbu. Maka sisa gajiku 225
ribu untuk makan sebulan. Mudah-mudahan cukup.
Aku merasa jarak kantor pos
sangat jauh. Mungkin karena usiaku yang sudah 62 tahun. Naik angkutan
saja lelah, apalagi kalau naik sepeda. Padahal dulu banyak orang naik
sepeda kalau mau pergi ke kota.
Angkutan kota berhenti di
depan kantor pos. Aku turun dari mobil itu. Kakiku terasa agak sakit
saat melangkah. Mungkin asam uratku sedikit kambuh. Dengan susah payah
aku berusaha melangkahkan kaki sewajar mungkin. Aku tak mau tampak
seperti seorang nenek renta yang berjalan terseok-seok.
Sudah banyak orang yang juga
berduyun-duyun mengambil gaji pensiun mereka masing-masing. Kakek,
nenek, berjalan tertatih-tatih. Sudah setua itukah aku? Ah, jika
demikian berarti aku sudah sangat renta. Padahal sepertinya baru kemarin
aku hidup di dunia. Terasa sangat singkat. Suatu saat pasti tiba
giliranku, menyusul almarhum suamiku.
Aku duduk di kursi plastik
warna putih yang tertata cukup rapi, diantara para pengambil gaji
lainnya. Antri dipanggil. Udara terasa sangat panas. Setengah jam
kemudian aku dipanggil petugas pembayar gaji pensiunku. Uang 411 ribu
aku terima.
Baru saja aku melangkah
beberapa meter dari loket pengambilan gaji pensiun, seorang lelaki muda
berumur sekitar 25an tahun mendekatiku.
“Nek, saya kasih hadiah
sandal kesehatan. Sandal yang bisa mengobati berbagai macam penyakit.
Sangat cocok untuk orang yang berusia lanjut. Ini gratis lho, Nenek
mau?” lelaki muda itu menawariku sesuatu. Seperti sedang
mengiming-imingi sesuatu pada anak kecil.
“Wah terimakasih, Nak. Aku
sedang agak sakit asam urat. Apakah bisa untuk mengobati asam urat jika
aku memakai sandal ini?” tanyaku.
“Oh itu pasti Nek. Dijamin
Nenek akan sehat tanpa asam urat jika rajin memakai sandal ini di rumah.
Silahkan dicoba Nek.” Lelaki muda itu menyodorkan sepasang sandal
kesehatan.
Aku mencoba memakai sandal
kesehatan itu. Berjalan beberapa langkah, memang aku merasakan nyaman di
kakiku.
Setelah berhenti mencoba
sandal kesehatan, lelaki muda itu menyuruhku menandatangani sebuah
formulir. Ia juga meminta KTPku.
“Nek, ini ada biaya
administrasi sebesar 350 ribu.” Ucap lelaki itu.
“Lho tadi katanya gratis?”
aku terkaget.
“Iya gratis barangnya, tapi
ada biaya administrasinya.”
Aku merasa dijebak. Dengan
terpaksa aku menyerahkan uang sejumlah itu. Sekarang di dompetku tersisa
uang 61 ribu. Tadi aku hanya membawa uang lima ribu lima ratus.
Aku naik angkutan kota yang
berhenti di depan kantor pos. Membawa sandal kesehatan yang tadi
terpaksa kubeli.
Di dalam angkutan kota ada
seorang gadis sekita 25 tahun. Ia terlihat kebingungan.
“Maaf Nek. Aku tadi pagi
habis kecopetan. Aku sedang kebingungan untuk pulang ke rumahku di luar
kota.” Gadis yang duduk di depanku itu terlihat sangat memelas. Aku jadi
teringat anakku di rumah. Naluri keibuanku membuatku membuka dompet,
dan memberikannya selembar uang 50 ribuan. Uang di dompetku tinggal 11
ribu. Mudah-mudahan gadis itu tidak berbohong padaku. Aku tak tega untuk
tidak memberi uang padanya.
Uang 11 ribu tak cukup untuk
membeli apa yang dipesan anak dan cucuku. Itupun harus dipotong lima
ribu lima ratus untuk biaya angkutan. Berarti uangku tersisa lima ribu
lima ratus, dapat apa?
Aku langsung pulang, tak
jadi mampir ke pasar. Aku langsung naik angkutan pedesaan.
Aku masih diambang pintu
ketika anak dan cucuku menghambur ke arahku.
“Mana pesananku, Bu?”
“Eyang, mana baju baruku?”
Aku tetap bergeming di
ambang pintu. Aku tak menjawab. Hanya melinangkan air mata.[]
Banyumas, 9 Januari 2013
(Diposting di Kompasiana, 9 Januari 2013)
0 komentar:
Posting Komentar