BELAJAR SEPANJANG HAYAT


Catatan Harian Seorang Guru IPA







Selamat berkunjung di blog kami, semoga bermanfaat

Rabu, 23 Januari 2013

Kupu-kupu

Cerpen Agus Pribadi

Dari balik jendela yang terbuka lebar, aku melihat tiga kupu-kupu warna kuning sedang merubung bunga-bunga di halaman samping rumahku. Indah. Mengingatkanku pada dua sahabatku yang lain. Kini kami telah menjadi kupu-kupu di tempat masing-masing. Setelah sebelumnya, di masa kuliah, kami pernah menjadi ulat.
Kemarin kami bertiga berkumpul di rumahku. Tiga sahabat di masa kuliah. Kuliah di kampus sebuah kota kecil di selatan gunung Slamet. Kampus yang ikut mencuat dalam catatan sejarah di era reformasi. Karena mahasiswanya ikut bergejolak seperti mahasiswa-mahasiswa di kota-kota besar lainnya.
Kini aku menjadi seorang guru, Anjar bekerja di Dinas Kesehatan tetangga kota denganku. Wono bekerja sebagai guru di pulau seberang.
Kami banyak bercengkerama sambil bernostalgia masa kuliah dulu. Masa sulit, masa yang kami anggap seperti menjadi seekor ulat. Ya, dulu kami adalah tiga ekor ulat yang menggeliat ingin menjadi kupu-kupu dan tak mau menjadi cupu.
Wono. Tekun. Santai. Cuek. Agak jenius. Ingin mencari pendamping hidup dengan standar yang lumayan tinggi. Cantik, solehah. Namun masa sulit seperti yang aku maksud di atas adalah ketika cinta tak jua berpihak padanya. Beberapa gadis yang menjadi idamannya tak jua menerima cintanya.
Namun ia tak putus asa. Ia tetap bergaul dengan baik pada siapa saja. Bahkan sangat baik. itu mungkin yang menyebabkan banyak yang memanfaatkannya. Minta tolong mengerjakan tugas-tugas kuliah, banyak dilakukan teman-teman wanitanya padanya.
Anjar. Sama baiknya dengan Wono. Anjar orangnya tenang. Seperti air danau yang tenang. Kalau aku sedang marah karena sesuatu dan Anjar datang ke kostku langsung hilang marahku. Seperti bara yang padam oleh siraman air. Namun Anjar tak sejenius Wono. Itu yang membuat Anjar lulus paling bungsu, setelah setahun aku dan Wono lulus bersamaan.
Masih ingat ketika aku memakai baju wisuda dalam mobil, aku melihat Anjar sedang berjalan kaki seorang diri. Ah, aku merasa bersalah. Aku terlalu egois sehingga aku lulus duluan dengan sahabat terbaikku itu. Aku menyesal. Ingin rasanya aku melepas jubah wisuda itu dan membuangnya. Ingin aku mengejar Anjar, namun mobil yang aku tumpangi sudah meninggalkannya jauh.
***
Aku menjadi teringat masa kuliahku ketika siang tadi aku berkumpul bersama dua sahabatku Bagus dan Wono di rumah Bagus. Ah, aku jadi teringat ketika mereka berdua meninggalkanku seorang diri di Kampus. Mereka berdua wisuda mendahuluiku. Waktu itu aku seperti ulat tak berguna. Ingin rasanya aku keluar saja dari kampus yang membuatku merasa pengap karena aku tak kunjung lulus kuliah.
Bagus. Lucu juga jika mengingat dia waktu kuliah dulu. Polos dan gendut. Semangatnya yang aku suka. Pelan tapi pasti. Dan suka menyemangati teman-temannya untuk tidak mudah patah semangat. Namun urusan asmara, dia mungkin sebelas dua belas dengan Patkai. Beginilah cinta, deritanya tiada pernah ada habisnya. Hahahaha.
Wono. Orangnya baik. namun ia cuek bebek. Sampai-sampai penampilan diri bukan hal utama buatnya. Karena itu untuk urusan cinta, sama dengan Bagus.
Aku sangat bersyukur ketika mendengar Wono menjadi guru yang digaji pemerintah, meski di luar pulau. Setahun kemudian Bagus pun mengikuti jejak Wono. Aku menjadi seperti membayangkan Wono dan Bagus telah mempunyai sayap kupu-kupu, setelah dulu di kampus berada pada fase ulat dan kepompong. Itulah proses alami metamorfosis. Dan alhamdulillah setahun kemudian aku menyusul mereka menjadi abdi negara dan abdi masyarakat, hanya saja aku di bidang kesehatan.
***
Pertemuan seminggu yang lalu dengan kedua sahabatku, Anjar dan Bagus, menjadikanku teringat pada masa kuliahku dulu. Masa-masa pahit. Masa-masa menjadi ulat dan kemudian menjadi kepompong.
Ah, kini aku seperti menjadi kupu-kupu yang kesepian di seberang pulau ini. Ingin rasanya aku terbang bersama kedua sahabatku itu. Meskipun untuk itu, aku harus mengepakkan sayap menyeberangi samudra yang mahaluas. Bersama mereka, aku ingin menikmati keindahan setelah sama-sama mempunyai sayap kupu-kupu.
Kami bersama hanya saat mengalami masa-masa menjadi ulat. Banyak yang memandang kami sebelah mata. Namun kami tak patah arang. Kami terus berusaha menjadi lebih baik. dan kini kami membuktikannya. Kami mampu terbang dengan sayap kami masing-masing. Meski sekedar sayap sederhana.
Anjar. Aku merasa klop dengannya. Entah apa sebabnya. Sebenarnya aku juga merasa klop dengan siapapun. Namun Anjar lain, dia orang yang bisa menerima segala keadaan. Tak pernah komplain. Itu yang aku suka.
Bagus. Ah, meski kadang kekanak-kanakan. Namun dia sekaligus juga menjadi penyemangat kami. Ide-idenya selalu segar, hingga kami banyak terinspirasi darinya.
Kami saling mendukung satu sama lain. Ingat saat Bagus seminar hasil penelitian. Dia banyak mendapat kritik dari dosen penguji. Dan usai seminar, dosen penguji itu langsung dilabrak oleh Anjar. Wah, benar-benar sangat berempati Anjar. Dia merasakan apa yang Bagus rasakan.
Anjar juga yang paling sering menemaniku saat aku penelitian dulu. Bolak-balik kampus sering kami lakukan berdua. Demi menyelesaikan skripsiku.
***
Tiga kupu-kupu kuning masih saja merubung bunga-bunga di halaman samping rumahku. Setelah itu ketiganya berpencar. Terbang sesuai tujuan masing-masing. Awam hitam menggantung di langit. Hujan pun turun dengan derasnya. Aku menutup jendela. Menghindari tempias air hujan. Kututup juga kenangan masa laluku.[]
Banyumas, 23 Januari 2013

(Diposting di Kompasiana, 23 Januari 2013)
Share:

0 komentar:

VIDEO PEMBELAJARAN

Frequency Counter Pengunjung

Artikel Terbaru

LINK SAYA

Komentar Terbaru

Konsultasi IPA