Cerpen Agus Pribadi
Dari balik jendela yang
terbuka lebar, aku melihat tiga kupu-kupu warna kuning sedang merubung
bunga-bunga di halaman samping rumahku. Indah. Mengingatkanku pada dua
sahabatku yang lain. Kini kami telah menjadi kupu-kupu di tempat
masing-masing. Setelah sebelumnya, di masa kuliah, kami pernah menjadi
ulat.
Kemarin kami bertiga
berkumpul di rumahku. Tiga sahabat di masa kuliah. Kuliah di kampus
sebuah kota kecil di selatan gunung Slamet. Kampus yang ikut mencuat
dalam catatan sejarah di era reformasi. Karena mahasiswanya ikut
bergejolak seperti mahasiswa-mahasiswa di kota-kota besar lainnya.
Kini aku menjadi seorang
guru, Anjar bekerja di Dinas Kesehatan tetangga kota denganku. Wono
bekerja sebagai guru di pulau seberang.
Kami banyak bercengkerama
sambil bernostalgia masa kuliah dulu. Masa sulit, masa yang kami anggap
seperti menjadi seekor ulat. Ya, dulu kami adalah tiga ekor ulat yang
menggeliat ingin menjadi kupu-kupu dan tak mau menjadi cupu.
Wono. Tekun. Santai. Cuek.
Agak jenius. Ingin mencari pendamping hidup dengan standar yang lumayan
tinggi. Cantik, solehah. Namun masa sulit seperti yang aku maksud di
atas adalah ketika cinta tak jua berpihak padanya. Beberapa gadis yang
menjadi idamannya tak jua menerima cintanya.
Namun ia tak putus asa. Ia
tetap bergaul dengan baik pada siapa saja. Bahkan sangat baik. itu
mungkin yang menyebabkan banyak yang memanfaatkannya. Minta tolong
mengerjakan tugas-tugas kuliah, banyak dilakukan teman-teman wanitanya
padanya.
Anjar. Sama baiknya dengan
Wono. Anjar orangnya tenang. Seperti air danau yang tenang. Kalau aku
sedang marah karena sesuatu dan Anjar datang ke kostku langsung hilang
marahku. Seperti bara yang padam oleh siraman air. Namun Anjar tak
sejenius Wono. Itu yang membuat Anjar lulus paling bungsu, setelah
setahun aku dan Wono lulus bersamaan.
Masih ingat ketika aku
memakai baju wisuda dalam mobil, aku melihat Anjar sedang berjalan kaki
seorang diri. Ah, aku merasa bersalah. Aku terlalu egois sehingga aku
lulus duluan dengan sahabat terbaikku itu. Aku menyesal. Ingin rasanya
aku melepas jubah wisuda itu dan membuangnya. Ingin aku mengejar Anjar,
namun mobil yang aku tumpangi sudah meninggalkannya jauh.
***
Aku menjadi teringat masa
kuliahku ketika siang tadi aku berkumpul bersama dua sahabatku Bagus dan
Wono di rumah Bagus. Ah, aku jadi teringat ketika mereka berdua
meninggalkanku seorang diri di Kampus. Mereka berdua wisuda
mendahuluiku. Waktu itu aku seperti ulat tak berguna. Ingin rasanya aku
keluar saja dari kampus yang membuatku merasa pengap karena aku tak
kunjung lulus kuliah.
Bagus. Lucu juga jika
mengingat dia waktu kuliah dulu. Polos dan gendut. Semangatnya yang aku
suka. Pelan tapi pasti. Dan suka menyemangati teman-temannya untuk tidak
mudah patah semangat. Namun urusan asmara, dia mungkin sebelas dua
belas dengan Patkai. Beginilah cinta, deritanya tiada pernah ada
habisnya. Hahahaha.
Wono. Orangnya baik. namun
ia cuek bebek. Sampai-sampai penampilan diri bukan hal utama buatnya.
Karena itu untuk urusan cinta, sama dengan Bagus.
Aku sangat bersyukur ketika
mendengar Wono menjadi guru yang digaji pemerintah, meski di luar
pulau. Setahun kemudian Bagus pun mengikuti jejak Wono. Aku menjadi
seperti membayangkan Wono dan Bagus telah mempunyai sayap kupu-kupu,
setelah dulu di kampus berada pada fase ulat dan kepompong. Itulah
proses alami metamorfosis. Dan alhamdulillah setahun kemudian aku
menyusul mereka menjadi abdi negara dan abdi masyarakat, hanya saja aku
di bidang kesehatan.
***
Pertemuan seminggu
yang lalu dengan kedua sahabatku, Anjar dan Bagus, menjadikanku
teringat pada masa kuliahku dulu. Masa-masa pahit. Masa-masa menjadi
ulat dan kemudian menjadi kepompong.
Ah, kini aku seperti
menjadi kupu-kupu yang kesepian di seberang pulau ini. Ingin rasanya aku
terbang bersama kedua sahabatku itu. Meskipun untuk itu, aku harus
mengepakkan sayap menyeberangi samudra yang mahaluas. Bersama mereka,
aku ingin menikmati keindahan setelah sama-sama mempunyai sayap
kupu-kupu.
Kami bersama hanya saat
mengalami masa-masa menjadi ulat. Banyak yang memandang kami sebelah
mata. Namun kami tak patah arang. Kami terus berusaha menjadi lebih
baik. dan kini kami membuktikannya. Kami mampu terbang dengan sayap kami
masing-masing. Meski sekedar sayap sederhana.
Anjar. Aku merasa klop
dengannya. Entah apa sebabnya. Sebenarnya aku juga merasa klop dengan
siapapun. Namun Anjar lain, dia orang yang bisa menerima segala keadaan.
Tak pernah komplain. Itu yang aku suka.
Bagus. Ah, meski kadang
kekanak-kanakan. Namun dia sekaligus juga menjadi penyemangat kami.
Ide-idenya selalu segar, hingga kami banyak terinspirasi darinya.
Kami saling mendukung satu
sama lain. Ingat saat Bagus seminar hasil penelitian. Dia banyak
mendapat kritik dari dosen penguji. Dan usai seminar, dosen penguji itu
langsung dilabrak oleh Anjar. Wah, benar-benar sangat berempati Anjar.
Dia merasakan apa yang Bagus rasakan.
Anjar juga yang paling
sering menemaniku saat aku penelitian dulu. Bolak-balik kampus sering
kami lakukan berdua. Demi menyelesaikan skripsiku.
***
Tiga kupu-kupu kuning masih
saja merubung bunga-bunga di halaman samping rumahku. Setelah itu
ketiganya berpencar. Terbang sesuai tujuan masing-masing. Awam hitam
menggantung di langit. Hujan pun turun dengan derasnya. Aku menutup
jendela. Menghindari tempias air hujan. Kututup juga kenangan masa
laluku.[]
Banyumas, 23 Januari 2013
(Diposting di Kompasiana, 23 Januari 2013)
0 komentar:
Posting Komentar