BELAJAR SEPANJANG HAYAT


Catatan Harian Seorang Guru IPA







Selamat berkunjung di blog kami, semoga bermanfaat

Selasa, 23 Juli 2013

Penantian Siti







Oleh: Agus Pribadi dan Thomas Utomo (Satelitpost, 14 Juli 2013)

Siti duduk menyilang kaki. Sambil menyedot rokok yang sejak tadi menemaninya, dia menjangkau segelas teh tubruk di meja. Lalu menyeruput, pelan-pelan. Hawa suam-suam mengaliri kerongkongannya. Menjalar hangat ke pembuluh darah.
Syphilis.  Stadium empat,” suara dokter dua minggu lalu masih terasa menghantam batok kepalanya.  Suara itu seperti halilintar yang menyobek langit di siang hari, lantas menyambar tubuhnya.
”BuuIbuuu!” suara tua Suradi memanggil, menyeret kesadaran Siti kembali ke rumah itu. Setelah berkali-kali memanggil, dia terpaksa menyat dari kursi yang beberapa kali berderit ketika diduduki.
”Ada apa?”  Siti melongok kamar suaminya. Setengah jengkel dia bertanya.
Di amben, tergeletak Suradi yang malang.  Siti mengawasi muka lelaki itu. Dahinya berkerinyut, menggariskan lubang-lubang yang dalam. Nafasnya tersengal-sengal, kesulitan menghela udara.
”Ada apa, Pak?” ulang Siti, lebih keras.  Tanpa sengaja, matanya tersangkut kain kelambu yang kuning kecokelatan.  Di sana, bergayut beberapa tinggi dan kamitetep yang buncit matang.  Barangkali habis menyedot darah Suradi yang penuh bibit penyakit itu.
Dengan susah-payah, Suradi menghela napas.  Seperti ada berkilo-kilo beban yang menyesak paru-parunya.  ”Makan,” paraunya.
”Hmm, ya.  Sebentar.”  Siti beringsut ke dapur.  Lalu kembali dengan sepiring nasi dan segelas teh.  ”Ini.” Siti meletakkan nasi dan teh di meja samping amben.  Dia tidak membantu Suradi duduk.  Setelah mengulurkan piring, dia langsung keluar kamar.
”Buuu!”
Belum lama, Suradi sudah berteriak.  Siti mencium gelagat buruk.  Beringsut dia ke kamar.
”Apa lagi?”
Nasinya basi!” teriak Suradi. Dilemparkannya piring nasi ke meja. Beberapa butir nasi yang malang jatuh berhamburan ke lantai.
”Mana?”  Siti meraih piring dan menyuapkan sesendok nasi ke mulutnya.  ”Mm, ya..,” ujarnya datar. Ekspresi mukanya masa bodoh.
Bodoh kamu.  Minum!”  Suradi memelototkan matanya.
Siti mengulurkan gelas.  Tapi Suradi menangkis tangannya.  Air pun muncrat, mengenai seprei dan baju Siti.
”Kopiii!”  Suradi membelalakkan matanya.
Iyaaa..Sebentaaaarr.”  Siti beranjak ke dapur sambil menyumpah-nyumpah
Masih juga bawel, sudha bau tanah lembap juga!! Teriak batinnya.
Setelah kerongkongannya basah dengan air kopi, Suradi pun merebahDia memutar tubuhnya guna memunggungi Siti.  Sementara Siti tidak beranjak.  Justru mematung memandangi lelaki yang menjadi teman hidupnya selama puluhan tahun.
Pelan-pelan, pikirannya terseret ke hari-hari yang telah lewat...
***

Suradi adalah suami yang selalu mencurahi Siti dengan limpahan kasih mesra. Tapi setelah melewati usia sepuluh tahun perkawinan, Suradi berangsur-angsur berubah sikap maupun sifat. Dia menjadi seorang penggila hiburan di luar rumah. Kalau ada pertunjukan apapun di kampungnya, dia selalu datang. Entah wayang kulit, ebeg, organ tunggal, dan lainnya. Bahkan jika hiburan itu digelar di kampung lain pun, ia tetap semangat berangkat.
Kegiatan Suradi itu menerbitkan omongan usil para tetangga, yang meloncat dari satu mulut ke mulut lain.
Katanya, Suradi menjalin hubungan “istimewa” dengan seorang biduan organ tunggal.
“Siti itu perempuan malang. Suradi suaminya main serong dengan seorang biduan organ tunggal. Dasar tak tahu diuntung! Punya istri berparas ayu tapi tak ada puasnya hingga mencari perempuan idaman lain,” kata penjual jagung bakar pada temannya sesama pedagang saat ada pertunjukkan wayang kulit.
Suara usil lainnya bilang, Suradi gemar mengunjungi  rumah di mana banyak bunga sedap malam tinggal di dalamnya.
“Suradi tak takut terkena penyakit kutukan. Meski istrinya berwajah bidadari, tapi dia gemar berburu bunga sedap malam,” ucap penjual rokok pada satu pembelinya.
Lambat laun, geremengan suara usil yang serupa dengung tawon itu sampai juga ke telinga Siti. Awalnya dia berusaha menganggap angin lalu semua itu. Tapi berangsur-angsur dia terpengaruh juga, bahkan mulai curiga, mulai membenarkan. Dalam rongga benaknya berlahiran pula aneka pertanyaan, semacam, mengapa suaminya jadi lebih mudah meletuskan amarah dan gemar melampiaskannya  dengan hantaman tangan dan kaki secara bertubi-tubi? Kenapa setiap akan berangkat ke tempat hiburan, dia selalu berpakaian necis, berminyak wangi, dan berambut klimis? Apa hal yang menyebabkan uang belanjanya menjadi semakin berkurang dari musim panen ke musim panen berikutnya? Lalu apa salah Siti, sampai-sampai Suradi membiarkan kasur mereka dingin, sepi dari aktivitas malam?
Tidak kunjung menemukan jawaban, Siti berusaha mengusir kecamuk kalimat tanya di tempurung kepalanya dengan mengisap rokok. Mulanya, iseng-iseng saja. Dia mengambil sebatang-dua batang rokok milik suaminya secara diam-diam. Tapi selanjutnya dia kecanduan. Dia pun membeli rokok sendiri. Dia merokok saat suaminya tidak mengeram di rumah. Dia pikir, merokok dapat mengusir beban pikirannya. Namun tetap saja, kepalanya seperti ditimpa beban berton-ton, lebih-lebih jika Suradi pulang dengan gelegak amarah dan justru meninggalkan jejak lebam biru di sekujur tubuhnya!
Pernah suatu hari Siti membuntuti Suradi yang katanya hendak menonton wayang kulit di ujung kampung. Ternyata hanya sebentar suaminya berada di dalam kerumunan penonton pertunjukan itu. Setelah itu, suaminya berjalan menuju kampung sebelah. Kampung di mana seorang biduan tinggal. Benar saja, suaminya masuk ke rumah sang biduan. Di bawah pohon pisang, Siti mengintai apa yang sedang diperbuat suami di malam dingin seperti saat itu. Sayangnya, dia tidak bisa mengintip, hanya dapat mendengar desah perempuan dan lenguh laki-laki yang meremangkan bulu kuduk.
Sebelum suaminya pulang ke rumah, Siti bergegas pergi dengan berkalung airmata.
Ketika esoknya Siti menanyakan tentang sang biduan, Suradi malah menjedotkan kepala Siti ke tembok. Di hari yang lain, Siti menguntit suaminya yang rupa-rupanya berangkat ke sebuah warung. Di sana, dia mengawasi suaminya yang bersenda-gurau dengan beberapa bunga sedap malam-itu dia pastikan dari baju ketat berbelahan dada rendah yang dikenakan para perempuan yang berkerumun di sekeliling Suradi. Kelakuan mereka sendiri amat bebas, bisa leluasa dipeluk-peluk. Saat suaminya beranjak masuk ke sebuah rumah bersama satu bunga sedap malam, Siti sangat ingin mengintip dan  lalu menghardik mereka. Namun kakinya mendadak kaku, terasa seperti terpaku ke dalam bumi. Tak dapat digerakkan.
Ketika pagi harinya Siti menanyakan tentang perilaku suaminya semalam, Suradi menjawabnya dengan ketus, “Tolol! Ini karena kamu gabuk!”
Sebuah tempeleng melayang, menghantam pipi Siti. Membuat bibirnya seakan nyaris pecah.
***
”Bu! Ibuu!” gemetar suara Suradi memanggil-manggil. Siti yang sedari tadi duduk di tepi amben tersentak dari lamunan.
“Ada apa, Pak? Makan lagi?”
“Tidak. Tidak aku mau ganti pakai baju yang bagus. Ambilkan juga minyak wangiku di atas lemari. Cepatt!”
Dahi Siti berkerinyut. Suradi melanjutkan, “Sebentar lagi, ada tamu datang. Kamu tahu? Orangnya tinggi besar. Pakaiannya abu-abu. Sebenarnya kemarin dia sudah ke sini. Malah berjanji akan mengajakku jalan-jalan ke luar rumah hari ini. Mau nonton dangdut, katanya.”
Deg! Mata Siti membelalak saking kagetnya. Betulkah yang dia dengar barusan? Tidak salahkah telinganya? Sebentar lagikah saat itu tiba?
“Bu, mana pakaianku? Lambat kamu!”
“I...iya, sebentar, Pak.”
Didorong kegugupan dan keriangan yang asing, Siti bergegas membuka lemari di pojok kamar. Diambilnya celana dan baju terbaik milik suaminya. Tak lupa, dia ambil minyak wangi lalu disemprotkannya banyak-banyak.
Malam  menjelang pagi. Siti bergeming di tepi amben. Mengawasi suaminya yang terbaring lemah dengan pakaian rapi dan harum minyak wangi. Menunggu seseorang datang menjemputnya. Sebentar lagi, katanya. Jantung Siti berdegup tidak sabar.(*)
Share:

0 komentar:

VIDEO PEMBELAJARAN

Frequency Counter Pengunjung

Artikel Terbaru

LINK SAYA

Komentar Terbaru

Konsultasi IPA