Oleh: Agus Pribadi dan
Thomas Utomo (Satelitpost, 14 Juli 2013)
Siti duduk menyilang kaki. Sambil
menyedot rokok yang sejak tadi menemaninya, dia menjangkau segelas teh tubruk
di meja. Lalu menyeruput, pelan-pelan. Hawa suam-suam mengaliri
kerongkongannya. Menjalar hangat ke pembuluh darah.
”Syphilis. Stadium empat,” suara dokter dua minggu lalu masih
terasa menghantam batok kepalanya. Suara itu seperti halilintar yang
menyobek langit di siang hari, lantas menyambar tubuhnya.
”Buu! Ibuuu!” suara tua Suradi memanggil, menyeret kesadaran Siti kembali ke rumah itu.
Setelah berkali-kali memanggil, dia terpaksa menyat dari kursi yang beberapa kali berderit ketika diduduki.
”Ada apa?” Siti melongok kamar suaminya. Setengah jengkel dia bertanya.
Di amben, tergeletak Suradi yang malang. Siti mengawasi muka lelaki itu. Dahinya berkerinyut, menggariskan lubang-lubang yang dalam. Nafasnya tersengal-sengal, kesulitan menghela
udara.
”Ada apa, Pak?” ulang Siti, lebih keras. Tanpa sengaja, matanya tersangkut kain
kelambu yang kuning kecokelatan. Di sana, bergayut beberapa tinggi
dan kamitetep yang buncit matang. Barangkali habis menyedot darah
Suradi yang penuh bibit penyakit itu.
Dengan susah-payah, Suradi
menghela napas. Seperti ada berkilo-kilo beban yang menyesak paru-parunya.
”Makan,” paraunya.
”Hmm, ya.
Sebentar.” Siti beringsut ke dapur. Lalu kembali dengan sepiring nasi dan segelas teh. ”Ini.” Siti meletakkan nasi dan teh di meja
samping amben. Dia tidak membantu Suradi duduk. Setelah
mengulurkan piring, dia langsung keluar kamar.
”Buuu!”
Belum lama, Suradi sudah
berteriak. Siti mencium gelagat buruk. Beringsut dia ke kamar.
”Apa lagi?”
”Nasinya basi!” teriak Suradi. Dilemparkannya
piring nasi ke meja. Beberapa butir nasi yang malang jatuh berhamburan ke lantai.
”Mana?” Siti meraih piring dan menyuapkan sesendok nasi ke mulutnya.
”Mm, ya..,” ujarnya datar. Ekspresi
mukanya masa bodoh.
”Bodoh kamu. Minum!” Suradi memelototkan
matanya.
Siti mengulurkan gelas. Tapi Suradi menangkis tangannya. Air pun muncrat, mengenai seprei dan baju Siti.
”Kopiii!” Suradi
membelalakkan matanya.
”Iyaaa..Sebentaaaarr.” Siti beranjak ke dapur sambil menyumpah-nyumpah.
Masih juga bawel, sudha bau tanah
lembap juga!! Teriak batinnya.
Setelah kerongkongannya basah dengan air kopi, Suradi pun
merebah. Dia memutar tubuhnya guna memunggungi Siti. Sementara
Siti tidak beranjak. Justru mematung memandangi lelaki yang menjadi teman hidupnya selama puluhan tahun.
Pelan-pelan, pikirannya terseret ke
hari-hari yang telah lewat...
***
Suradi adalah suami yang selalu
mencurahi Siti dengan limpahan kasih mesra. Tapi setelah melewati usia sepuluh
tahun perkawinan, Suradi berangsur-angsur berubah sikap maupun sifat. Dia
menjadi seorang penggila hiburan di luar rumah. Kalau ada pertunjukan apapun di
kampungnya, dia selalu datang. Entah wayang kulit, ebeg, organ tunggal, dan lainnya. Bahkan jika hiburan itu digelar
di kampung lain pun, ia tetap semangat berangkat.
Kegiatan Suradi itu menerbitkan
omongan usil para tetangga, yang meloncat dari satu mulut ke mulut lain.
Katanya, Suradi menjalin hubungan “istimewa”
dengan seorang biduan organ tunggal.
“Siti itu perempuan malang. Suradi
suaminya main serong dengan seorang biduan organ tunggal. Dasar tak tahu
diuntung! Punya istri berparas ayu tapi tak ada puasnya hingga mencari
perempuan idaman lain,” kata penjual jagung bakar pada temannya sesama pedagang
saat ada pertunjukkan wayang kulit.
Suara usil lainnya bilang, Suradi gemar
mengunjungi rumah di mana banyak bunga
sedap malam tinggal di dalamnya.
“Suradi tak takut terkena penyakit
kutukan. Meski istrinya berwajah bidadari, tapi dia gemar berburu bunga sedap
malam,” ucap penjual rokok pada satu pembelinya.
Lambat laun, geremengan suara usil
yang serupa dengung tawon itu sampai juga ke telinga Siti. Awalnya dia berusaha
menganggap angin lalu semua itu. Tapi berangsur-angsur dia terpengaruh juga,
bahkan mulai curiga, mulai membenarkan. Dalam rongga benaknya berlahiran pula aneka
pertanyaan, semacam, mengapa suaminya jadi lebih mudah meletuskan amarah dan
gemar melampiaskannya dengan hantaman
tangan dan kaki secara bertubi-tubi? Kenapa setiap akan berangkat ke tempat
hiburan, dia selalu berpakaian necis, berminyak wangi, dan berambut klimis? Apa
hal yang menyebabkan uang belanjanya menjadi semakin berkurang dari musim panen
ke musim panen berikutnya? Lalu apa salah Siti, sampai-sampai Suradi membiarkan
kasur mereka dingin, sepi dari aktivitas malam?
Tidak kunjung menemukan jawaban, Siti
berusaha mengusir kecamuk kalimat tanya di tempurung kepalanya dengan mengisap
rokok. Mulanya, iseng-iseng saja. Dia mengambil sebatang-dua batang rokok milik
suaminya secara diam-diam. Tapi selanjutnya dia kecanduan. Dia pun membeli
rokok sendiri. Dia merokok saat suaminya tidak mengeram di rumah. Dia pikir,
merokok dapat mengusir beban pikirannya. Namun tetap saja, kepalanya seperti
ditimpa beban berton-ton, lebih-lebih jika Suradi pulang dengan gelegak amarah
dan justru meninggalkan jejak lebam biru di sekujur tubuhnya!
Pernah suatu hari Siti membuntuti Suradi
yang katanya hendak menonton wayang kulit di ujung kampung. Ternyata hanya
sebentar suaminya berada di dalam kerumunan penonton pertunjukan itu. Setelah
itu, suaminya berjalan menuju kampung sebelah. Kampung di mana seorang biduan
tinggal. Benar saja, suaminya masuk ke rumah sang biduan. Di bawah pohon pisang,
Siti mengintai apa yang sedang diperbuat suami di malam dingin seperti saat
itu. Sayangnya, dia tidak bisa mengintip, hanya dapat mendengar desah perempuan
dan lenguh laki-laki yang meremangkan bulu kuduk.
Sebelum suaminya pulang ke rumah, Siti
bergegas pergi dengan berkalung airmata.
Ketika esoknya Siti menanyakan tentang
sang biduan, Suradi malah menjedotkan kepala Siti ke tembok. Di hari yang lain,
Siti menguntit suaminya yang rupa-rupanya berangkat ke sebuah warung. Di sana,
dia mengawasi suaminya yang bersenda-gurau dengan beberapa bunga sedap malam-itu
dia pastikan dari baju ketat berbelahan dada rendah yang dikenakan para perempuan
yang berkerumun di sekeliling Suradi. Kelakuan mereka sendiri amat bebas, bisa
leluasa dipeluk-peluk. Saat suaminya beranjak masuk ke sebuah rumah bersama
satu bunga sedap malam, Siti sangat ingin mengintip dan lalu menghardik mereka. Namun kakinya mendadak
kaku, terasa seperti terpaku ke dalam bumi. Tak dapat digerakkan.
Ketika pagi harinya Siti menanyakan tentang
perilaku suaminya semalam, Suradi menjawabnya dengan ketus, “Tolol! Ini karena kamu
gabuk!”
Sebuah tempeleng melayang, menghantam
pipi Siti. Membuat bibirnya seakan nyaris pecah.
***
”Bu! Ibuu!” gemetar suara Suradi memanggil-manggil. Siti yang sedari tadi duduk di tepi amben tersentak dari lamunan.
“Ada apa, Pak? Makan lagi?”
“Tidak. Tidak aku mau ganti pakai baju
yang bagus. Ambilkan juga minyak wangiku di atas lemari. Cepatt!”
Dahi Siti berkerinyut. Suradi
melanjutkan, “Sebentar lagi, ada tamu datang. Kamu tahu? Orangnya tinggi besar.
Pakaiannya abu-abu. Sebenarnya kemarin dia sudah ke sini. Malah berjanji akan
mengajakku jalan-jalan ke luar rumah hari ini. Mau nonton dangdut, katanya.”
Deg! Mata Siti membelalak saking
kagetnya. Betulkah yang dia dengar
barusan? Tidak salahkah telinganya? Sebentar lagikah saat itu tiba?
“Bu, mana pakaianku? Lambat kamu!”
“I...iya, sebentar, Pak.”
Didorong kegugupan dan keriangan yang
asing, Siti bergegas membuka lemari di pojok kamar. Diambilnya celana dan baju
terbaik milik suaminya. Tak lupa, dia ambil minyak wangi lalu disemprotkannya
banyak-banyak.
Malam
menjelang pagi. Siti bergeming di tepi amben. Mengawasi suaminya yang terbaring lemah dengan pakaian rapi dan
harum minyak wangi. Menunggu seseorang datang menjemputnya. Sebentar lagi,
katanya. Jantung Siti berdegup tidak sabar.(*)
0 komentar:
Posting Komentar