BELAJAR SEPANJANG HAYAT


Catatan Harian Seorang Guru IPA







Selamat berkunjung di blog kami, semoga bermanfaat

Minggu, 30 Juni 2013

Seekor Buaya di Pelupuk Mata



Cerpen Agus Pribadi

Ketika aku membuka mata, gadis itu sudah berada di sampingku. Tersenyum manis sekali sambil melirik ke arahku.
“Tak usah ketakutan seperti itu, Mas. Aku manusia biasa bukan siluman buaya. Aku juga tahu kalau adikmu telah meninggal tenggelam di sungai Serayu. Aku ikut bela sungkawa atas kepergian adikmu itu.” Gadis di sampingku terus nyerocos, sementara tubuhku masih menggigil ketakutan. Celanaku juga sudah sedikit basah.
Gadis itu mengulurkan tangan. Kami berjabat tangan. Telapak tangannya memancarkan kehangatan.
“Asih.”
“Budi.”
Sejak itu kami menjadi sepasang kekasih yang dimabuk asmara. Asih selalu mampir ke rumahku saat pulang kerja sebagai seorang sales. Sementara aku masih melanjutkan kuliah yang tinggal beberapa bulan lagi.
***
Aku menikahi Asih setahun kemudian. Setelah aku lulus kuliah dan mendapatkan pekerjaan di bidang farmasi. Seperti mimpi saja. Pernikahan itu berlangsung sangat sederhana. Hanya sedikit keluarganya dan keluargaku yang hadir. Asih yang juga tinggal di dekat sungai Serayu tak memiliki banyak keluarga. Kedua orang tuanya juga telah tiada. Ia juga anak satu-satunya sepertiku.
Sejak menikah dengan Asih, antara kenyataan dan mimpi seperti sulit kubedakan. Bayang-bayang juga kerap menghantuiku.
Suatu malam aku pergi ke kamar mandi. Betapa terperanjatnya aku tatkala kembali ke kamarku. Aku melihat seekor buaya putih sedang tertidur di atas kasur. Aku mengucek mata, kembali wujud istriku sebagai manusia biasa yang aku lihat.
Di malam yang lain, aku terkaget ketika melihat kelebatan seekor buaya sedang menuju ke kamar mandi. Namun tatkala kembali ke kamar, aku melihat wujud istriku sebagai manusia biasa yang datang  menuju ke kasur untuk tidur kembali di sampingku.
***
Ada dua perasaan yang saling berlawanan saat aku mendengar kabar dari istriku, kalau ia hamil. Perasaan pertama tentu aku sangat gembira. Aku akan mempunyai keturunan yang kelak akan melanjutkan keluargaku. Aku akan menjadi seorang bapak yang akan dijadikan tempat bermanja anakku. Lelaki atau perempuan bagiku tak masalah. Perasaan kedua ada kegalauan di hatiku. Galau akan bayang-bayang buaya siluman yang selalu menghantui hidupku. Aku takut kalau nanti wujud anakku berbentuk sesuatu yang tak aku inginkan. Jika memikirkan ini, aku benar-benar merasa galau.
***
Suatu malam, istriku mengeluh perutnya sakit. Aku kebingungan. Makan apa tadi siang hingga perutnya menjadi mulas? Atau karena terlalu banyak makan sambal terasi kesukaannya? Batinku.
“Mas, perutku sakit sekali. Aduh...,” keluh istriku sambil memegangi perutnya. Tubuhnya berputar-putar di depan kasur seperti gasing. Aku tak tega melihatnya. Sesaat kemudian, aku baru menyadari kalau istriku mungkin akan melahirkan. Aku langsung membawa istriku ke bidan desa yang tidak jauh dari rumahku.
Aku menunggui istriku saat-saat dibantu melahirkan oleh bu bidan. Betapa terperanjatnya aku dan juga bu bidan saat mendapati yang keluar dari rahim istriku adalah sesosok anak buaya berwarna putih. Tangisnya adalah tangis anak manusia tapi bentuknya adalah anak buaya siluman. Aku meraung. Bu bidan meninggalkan ruang praktiknya, berlari ketakutan sambil meminta tolong warga kampung. Istriku menangis sesenggukkan.
“Mas bangun, Mas. Mas, mimpi lagi ya. Istighfar, Mas,” istriku membangunkanku. Ternyata aku mengalami mimpi yang sangat buruk. Aku melihat ke perut istriku. Memang ia sedang hamil dan usia kehamilannya sudah mendekati sembilan bulan.
Pagi harinya aku menuju ke pemakaman keluargaku. Tiga makam berjejer. Makam ibu, bapak, dan adikku. Aku membersihkan rumput-rumput yang ada di sekitarnya. Aku menaburkan bunga-bunga. Doa-doa kupanjatkan. Kumohonkan ampun pada Tuhan atas segala kesalahan mereka semasa hidupnya.
***
Suatu sore hujan gerimis. Istriku memanggilku sambil menangis. Perutnya seperti teriris-iris.
“Mas, perutku sakit sekali. Aduh, Mas. Tolong aku.”
Aku  bergegas menemui istriku. Aku memapahnya menuju rumah bu bidan. Aku langsung menyadari kalau istriku pasti akan melahirkan. Di bawah payung yang kupegang aku memapah istriku menuju rumah bu bidan yang jaraknya tidak terlalu jauh dari rumahku. Di perjalanan, aku melihat sungai Serayu meluap berwarna kecoklatan. Sekelebat adikku sedang berenang melambai-lambaikan tangannya. Sekelebat buaya berwarna putih juga tampak di pelupuk mata.
Bu bidan dengan cekatan memapah tubuh istriku. Aku berhenti di ambang pintu ruang prakteknya. Ada kegamangan apakah aku akan menunggui istriku melahirkan atau aku akan menunggu saja di ruang tunggu. Aku bergeming di ambang pintu.
“Mau masuk atau menunggu di luar, Mas?” suara bu bidan mengagetkanku.
“E...anu...sementara aku duduk di luar saja.” Aku tergeragap, menjawab spontan. Meski sebenarnya aku tak tega jika harus meninggalkan istriku berjuang agar bisa melahirkan dengan lancar. Namun bayangan seekor buaya siluman mengalahkan nyaliku. Aku terduduk tak berdaya di ruang tunggu. Waktu terasa berhenti berputar. Tetes-tetes gerimis di teras depan semakin membuatku sebagai lelaki tak berguna. Istri melahirkan, malah terpaku di ruang tunggu. Aku menyalahkan diriku sendiri.
“Oe...oe...oe...!” tangis suara bayi pecah di tengah kehampaan hatiku. Aku tak berani menghambur ke dalam ruangan. Aku tak ingin menemui hal-hal yang tak kuinginkan. Aku tetap bergeming. Menunggu kabar dari bu bidan, seperti apa wujud anakku yang baru lahir ke dunia ini. Dengan jantung berdebar-debar. Dengan perasaan tak sabar.[]
Banyumas, 10 Juni 2013
Catatan : Cerpen ini merupakan kelanjutan dari cerpen “Buaya” yang dimuat Satelitpost, 16 Desember 2012.
(Dimuat di Satelitpost, 30 Juni 2013)
Share:

0 komentar:

VIDEO PEMBELAJARAN

Frequency Counter Pengunjung

Artikel Terbaru

LINK SAYA

Komentar Terbaru

Konsultasi IPA