Cerpen Agus Pribadi
Ketika aku membuka mata, gadis itu
sudah berada di sampingku. Tersenyum manis sekali sambil melirik ke arahku.
“Tak usah ketakutan seperti itu,
Mas. Aku manusia biasa bukan siluman buaya. Aku juga tahu kalau adikmu telah
meninggal tenggelam di sungai Serayu. Aku ikut bela sungkawa atas kepergian
adikmu itu.” Gadis di sampingku terus nyerocos, sementara tubuhku masih
menggigil ketakutan. Celanaku juga sudah sedikit basah.
Gadis itu mengulurkan tangan. Kami
berjabat tangan. Telapak tangannya memancarkan kehangatan.
“Asih.”
“Budi.”
Sejak itu kami menjadi sepasang
kekasih yang dimabuk asmara. Asih selalu mampir ke rumahku saat pulang kerja
sebagai seorang sales. Sementara aku masih melanjutkan kuliah yang tinggal
beberapa bulan lagi.
***
Aku menikahi Asih setahun kemudian.
Setelah aku lulus kuliah dan mendapatkan pekerjaan di bidang farmasi. Seperti
mimpi saja. Pernikahan itu berlangsung sangat sederhana. Hanya sedikit
keluarganya dan keluargaku yang hadir. Asih yang juga tinggal di dekat sungai
Serayu tak memiliki banyak keluarga. Kedua orang tuanya juga telah tiada. Ia
juga anak satu-satunya sepertiku.
Sejak menikah dengan Asih, antara
kenyataan dan mimpi seperti sulit kubedakan. Bayang-bayang juga kerap menghantuiku.
Suatu malam aku pergi ke kamar
mandi. Betapa terperanjatnya aku tatkala kembali ke kamarku. Aku melihat seekor
buaya putih sedang tertidur di atas kasur. Aku mengucek mata, kembali wujud
istriku sebagai manusia biasa yang aku lihat.
Di malam yang lain, aku terkaget ketika
melihat kelebatan seekor buaya sedang menuju ke kamar mandi. Namun tatkala
kembali ke kamar, aku melihat wujud istriku sebagai manusia biasa yang
datang menuju ke kasur untuk tidur
kembali di sampingku.
***
Ada dua perasaan yang saling
berlawanan saat aku mendengar kabar dari istriku, kalau ia hamil. Perasaan
pertama tentu aku sangat gembira. Aku akan mempunyai keturunan yang kelak akan
melanjutkan keluargaku. Aku akan menjadi seorang bapak yang akan dijadikan
tempat bermanja anakku. Lelaki atau perempuan bagiku tak masalah. Perasaan
kedua ada kegalauan di hatiku. Galau akan bayang-bayang buaya siluman yang
selalu menghantui hidupku. Aku takut kalau nanti wujud anakku berbentuk sesuatu
yang tak aku inginkan. Jika memikirkan ini, aku benar-benar merasa galau.
***
Suatu malam, istriku mengeluh
perutnya sakit. Aku kebingungan. Makan
apa tadi siang hingga perutnya menjadi mulas? Atau karena terlalu banyak makan
sambal terasi kesukaannya? Batinku.
“Mas, perutku sakit sekali.
Aduh...,” keluh istriku sambil memegangi perutnya. Tubuhnya berputar-putar di
depan kasur seperti gasing. Aku tak tega melihatnya. Sesaat kemudian, aku baru
menyadari kalau istriku mungkin akan melahirkan. Aku langsung membawa istriku
ke bidan desa yang tidak jauh dari rumahku.
Aku menunggui istriku saat-saat
dibantu melahirkan oleh bu bidan. Betapa terperanjatnya aku dan juga bu bidan
saat mendapati yang keluar dari rahim istriku adalah sesosok anak buaya berwarna
putih. Tangisnya adalah tangis anak manusia tapi bentuknya adalah anak buaya
siluman. Aku meraung. Bu bidan meninggalkan ruang praktiknya, berlari ketakutan
sambil meminta tolong warga kampung. Istriku menangis sesenggukkan.
“Mas bangun, Mas. Mas, mimpi lagi
ya. Istighfar, Mas,” istriku membangunkanku. Ternyata aku mengalami mimpi yang
sangat buruk. Aku melihat ke perut istriku. Memang ia sedang hamil dan usia
kehamilannya sudah mendekati sembilan bulan.
Pagi harinya aku menuju ke
pemakaman keluargaku. Tiga makam berjejer. Makam ibu, bapak, dan adikku. Aku
membersihkan rumput-rumput yang ada di sekitarnya. Aku menaburkan bunga-bunga.
Doa-doa kupanjatkan. Kumohonkan ampun pada Tuhan atas segala kesalahan mereka
semasa hidupnya.
***
Suatu sore hujan gerimis. Istriku
memanggilku sambil menangis. Perutnya seperti teriris-iris.
“Mas, perutku sakit sekali. Aduh,
Mas. Tolong aku.”
Aku
bergegas menemui istriku. Aku memapahnya menuju rumah bu bidan. Aku
langsung menyadari kalau istriku pasti akan melahirkan. Di bawah payung yang
kupegang aku memapah istriku menuju rumah bu bidan yang jaraknya tidak terlalu
jauh dari rumahku. Di perjalanan, aku melihat sungai Serayu meluap berwarna
kecoklatan. Sekelebat adikku sedang berenang melambai-lambaikan tangannya.
Sekelebat buaya berwarna putih juga tampak di pelupuk mata.
Bu bidan dengan cekatan memapah
tubuh istriku. Aku berhenti di ambang pintu ruang prakteknya. Ada kegamangan
apakah aku akan menunggui istriku melahirkan atau aku akan menunggu saja di
ruang tunggu. Aku bergeming di ambang pintu.
“Mau masuk atau menunggu di luar,
Mas?” suara bu bidan mengagetkanku.
“E...anu...sementara aku duduk di
luar saja.” Aku tergeragap, menjawab spontan. Meski sebenarnya aku tak tega
jika harus meninggalkan istriku berjuang agar bisa melahirkan dengan lancar.
Namun bayangan seekor buaya siluman mengalahkan nyaliku. Aku terduduk tak
berdaya di ruang tunggu. Waktu terasa berhenti berputar. Tetes-tetes gerimis di
teras depan semakin membuatku sebagai lelaki tak berguna. Istri melahirkan, malah
terpaku di ruang tunggu. Aku menyalahkan diriku sendiri.
“Oe...oe...oe...!” tangis suara
bayi pecah di tengah kehampaan hatiku. Aku tak berani menghambur ke dalam
ruangan. Aku tak ingin menemui hal-hal yang tak kuinginkan. Aku tetap
bergeming. Menunggu kabar dari bu bidan, seperti apa wujud anakku yang baru
lahir ke dunia ini. Dengan jantung berdebar-debar. Dengan perasaan tak sabar.[]
Banyumas, 10 Juni 2013
Catatan
: Cerpen ini merupakan kelanjutan dari cerpen “Buaya” yang dimuat Satelitpost,
16 Desember 2012.
(Dimuat di Satelitpost, 30 Juni 2013)
0 komentar:
Posting Komentar