Cerpen
Agus Pribadi
Aku
duduk di bawah rimbun pepohonan tepi sawah. Seekor kerbau yang kugembalakan
sedang memakan rumput. Melihat hewan itu, aku jadi nelangsa. Aku heran, mengapa
teman-temanku selalu mengolok-olokku dan mempersamakanku dengan hewan yang
gerakannya lamban namun sangat kuat itu.
Jika
mengingat kejadian tiga tahun yang lalu, aku melinangkan air mata. Nelangsa.
Aku kerap mengadu pada Tuhan. Tak ada yang mau dilahirkan dengan kecerdasan
terbatas, dan tubuh gempal berkulit cokelat kehitaman. Bukan keinginanku untuk
tak lancar membaca, dan tak becus mengerjakan soal matematika kelas lima SD
hingga aku menyerah dan keluar dari sekolah.
Tuhan,
hinakah aku jika dianggap tak pandai di sekolah? Mengapa teman-temanku di
sekolah selalu mengolok-olokku? Mengapa teman-temanku selalu mengataiku kerbau?
Juga ibu guru memarahiku saat aku tak bisa mengerjakan soal matematika?
“Diran,
kerjakan soal nomor lima!” perintah bu Serli. Wanita paruh baya dengan tubuh
tinggi semampai, kulit kuning langsat. Perhiasan berwarna kuning berkilap
melekat di telinga, leher, dan tangannya.
Aku
melangkah ke depan kelas, membawa tubuh gempalku dengan gontai. Lebih dari
sepuluh menit aku berada di depan papan tulis. Memandangi soal yang belum bisa
aku kerjakan.
“Diran!
Soal seperti itu saja kamu tak bisa mengerjakan, bodoh kamu!” bentakan bu Serli
mengiang di kupingku seperti suara lebah yang merubung telingaku.
Saat
istirahat, teman-temanku mengejekku.
“Dasar
kerbau...dasar kerbau...anak bodoh...anak bodoh...!” mereka menari-nari di
depanku. Seperti gerakan topeng monyet yang sedang beraksi.
Aku
seperti kerbau yang sedang marah. Aku menatap mereka satu persatu. Mereka
ketakutan. Kabur. Kecuali Sarman, temanku yang bertubuh lebih besar dan gempal
dariku. Ia berkacak pinggang. Aku ancang-ancang akan menyeruduknya dengan batok
kepalaku. Sejak lahir batok kepalaku sudah keras seperti batu. Lazimnya bayi
yang baru lahir, batok kepalanya masih rawan.
Aku
menyeruduk dada Sarman. Sarman terjengkang. Dan pingsan. Aku pulang ke rumah
sambil berlari sekencang kencangnya. Aku ketakutan, tak berani lagi berangkat
ke sekolah.
Kakek
dan nenek membujukku untuk sekolah lagi, tapi aku menolaknya. Aku memilih
menghabiskan hari-hariku dengan menggembalakan kerbau milik kakek.
Aku
tinggal bersama kakek dan nenek di sebuah rumah beratap seng, berdinding papan,
dan beralas tanah biasa. Aku tak tahu di mana kedua orang tuaku. Kata nenek,
kedua orang tuaku pergi bekerja ke kota. Nantinya saat pulang, mereka akan
membawa uang untuk membeli apa saja yang aku minta. Celana, baju, sepeda akan
dibelikan mereka untukku.
Namun
di hari yang lain, aku pernah mendengar pembicaraan kakek dan nenek. Aku
mendengar cerita kakek menemukanku waktu masih bayi di tepi sawah, saat kakek
menggembalakan kerbau.
Entahlah.
Hanya Tuhan yang tahu siapa sebenarnya orang tuaku. Orang baik-baik yang sedang
bekerja untukku atau orang yang tega membuang anaknya di tepi sawah.
***
Lamunanku
dihentikan oleh suara minta tolong. Suara yang berasal dari mulut yang pernah
mengatakan aku anak yang bodoh.
“Tolong...tolong...tolong!”
Suara itu dari mulut bu Serli yang sedang berebut tas dengan seorang pria
bertubuh gempal. Aku segera berlari ke arah mereka. Ke arah jalan desa yang
berada di seberang sungai.
“Jangan
ganggu, bu guruku!” bentakku dengan amarah terpendam. Ingin rasanya segera
menyeruduk orang yang telah berhasil merebut tas bu Serli. Entah apa isi tas
itu.
“Hei,
anak ingusan! Tak usah ikut campur!” bentak orang itu yang bermata merah,
rambut panjang, dan lengan bertato naga.
Aku
mendekat, disambut dengan pukulan tangan kanan. Aku menangkisnya dengan batok
kepalaku. Orang itu meringis kesakitan, sambil mengibas-ngibaskan tangan
kanannya. Tangannya yang besar berotot seperti tak berdaya.
Aku
mundur beberapa langkah, mengambil sikap seperti seekor kerbau yang akan
menyerang lawannya. Bidikanku ke dada orang di depanku.
Dug!
Kepalaku yang sekeras batu, menyeruduk dadanya yang bidang. Ia terpental.
Tubuhnya jatuh dengan suara berdebam, seperti pohon kelapa yang roboh karena
ditebang. Kepalanya membentur batu. Ia pingsan seketika. Tasnya aku rebut, dan
kuberikan pada bu Serli.
“Ini
tas ibu!” Aku menyerahkan tas warna hitam milik bu Serli.
“Terima
kasih ya Nak, kamu telah menolong ibu.” Bu Serli memelukku sambil menangis
sesunggukkan. Mungkin bu Serli merasa sangat bersalah kepadaku karena pernah
memarahiku dan mengataiku anak yang bodoh. Tapi aku tidak dendam pada bu Serli.
Bahkan sebenarnya aku sangat sayang pada bu Serli seperti rasa sayang seorang
anak pada ibunya.
Ada
kehangatan seorang ibu dalam pelukannya. Kehangatan yang belum pernah kurasakan
sejak lahir. Bertemu muka dengan ibu kandungku pun aku belum pernah.
Orang-orang
berdatangan, menggelandang orang jahat itu ke balai desa.
***
Malam
hari. Aku sedang tiduran di kamar.
Ada
suara orang mengetuk pintu. Aku berlari ke luar, membuka pintu. Tamu yang
datang ternyata bu Serli dan Pak Lurah.
Aku
mempersilahkan masuk mereka berdua. Aku masuk ke dalam memanggil kakek dan
nenek.
Kami
bertiga menemui bu Serli dan Pak Lurah.
“Begini,
kami datang ke sini ingin menyampaikan terima kasih kepada Diran. Diran yang
telah menolong bu Serli dari orang jahat. Tas yang berisi uang gaji guru dan
karyawan berhasil diselamatkan oleh Diran. Sebagai rasa terima kasih, Bu Serli
akan memberikan hadiah buat Diran.” Ucap Pak Lurah.
“Iya.
Apapun yang Diran inginkan akan saya penuhi. Kamu inginnya apa, Nak?” tanya bu
Serli padaku.
Aku
melihat kakek dan nenek. Tak ada keinginan apa-apa di sana. Wajah keriput
mereka tak menginginkan kemewahan duniawai.
“Aku
ingin rumah nenek dan kakek diperbaiki.” Ucapku.
“Baiklah
kalau begitu,” sahut Bu Serli.
“Terima
kasih sekali, Bu. Namun demikian, rumahku tak perlu diperbaiki. Aku lebih suka
tinggal di rumah seperti ini. Jika memang bu Serli ingin menyumbangkan sejumlah
uang, lebih baik untuk membantu membuat jembatan yang lebih permanen agar
anak-anak yang akan berangkat ke sekolah tidak takut lagi menyeberang jembatan
bambu.” Usul kakek.
“Iya
saya setuju seperti itu.” Sahut nenek.
“Wah
itu ide yang sangat baik,” kata Pak Lurah.
Aku
pun menyetujuinya.
“Baiklah
kalau demikian, insyaAllah saya akan menyumbang sejumlah uang untuk membantu
pembuatan jembatan itu.” Ucap Bu Serli.
***
Aku
duduk di bawah pohon dekat jembatan baru. Jembatan yang dibangun oleh warga,
dan dibantu sebagian besar dananya oleh bu Serli. Kerbau yang kugembalakan
sedang berkubang di lumpur.
Tak
ada lagi anak yang tergelincir saat berangkat dan pulang sekolah. Tak ada lagi
anak yang gemetaran saat melewati jembatan bambu karena telah berganti menjadi
jembatan beton yang kokoh. Dan tak ada lagi anak yang mengolok-olokku. Sikap
mereka kini ramah bahkan seperti bangga dengan keberadaanku di kampung ini.[]
Banyumas, 19
Desember 2012
*Cerpen ini termaktub
dalam Buku Kumpulan Cerpen Pemenang LMC 2012 Writing Revolution “Kisah dari
Rumah Kambira”
0 komentar:
Posting Komentar