BELAJAR SEPANJANG HAYAT


Catatan Harian Seorang Guru IPA







Selamat berkunjung di blog kami, semoga bermanfaat

Sabtu, 18 Mei 2013

Kerbau



Cerpen Agus Pribadi

Aku duduk di bawah rimbun pepohonan tepi sawah. Seekor kerbau yang kugembalakan sedang memakan rumput. Melihat hewan itu, aku jadi nelangsa. Aku heran, mengapa teman-temanku selalu mengolok-olokku dan mempersamakanku dengan hewan yang gerakannya lamban namun sangat kuat itu.
Jika mengingat kejadian tiga tahun yang lalu, aku melinangkan air mata. Nelangsa. Aku kerap mengadu pada Tuhan. Tak ada yang mau dilahirkan dengan kecerdasan terbatas, dan tubuh gempal berkulit cokelat kehitaman. Bukan keinginanku untuk tak lancar membaca, dan tak becus mengerjakan soal matematika kelas lima SD hingga aku menyerah dan keluar dari sekolah.
Tuhan, hinakah aku jika dianggap tak pandai di sekolah? Mengapa teman-temanku di sekolah selalu mengolok-olokku? Mengapa teman-temanku selalu mengataiku kerbau? Juga ibu guru memarahiku saat aku tak bisa mengerjakan soal matematika?
“Diran, kerjakan soal nomor lima!” perintah bu Serli. Wanita paruh baya dengan tubuh tinggi semampai, kulit kuning langsat. Perhiasan berwarna kuning berkilap melekat di telinga, leher, dan tangannya.
Aku melangkah ke depan kelas, membawa tubuh gempalku dengan gontai. Lebih dari sepuluh menit aku berada di depan papan tulis. Memandangi soal yang belum bisa aku kerjakan.
“Diran! Soal seperti itu saja kamu tak bisa mengerjakan, bodoh kamu!” bentakan bu Serli mengiang di kupingku seperti suara lebah yang merubung telingaku.
Saat istirahat, teman-temanku mengejekku.
“Dasar kerbau...dasar kerbau...anak bodoh...anak bodoh...!” mereka menari-nari di depanku. Seperti gerakan topeng monyet yang sedang beraksi.
Aku seperti kerbau yang sedang marah. Aku menatap mereka satu persatu. Mereka ketakutan. Kabur. Kecuali Sarman, temanku yang bertubuh lebih besar dan gempal dariku. Ia berkacak pinggang. Aku ancang-ancang akan menyeruduknya dengan batok kepalaku. Sejak lahir batok kepalaku sudah keras seperti batu. Lazimnya bayi yang baru lahir, batok kepalanya masih rawan.
Aku menyeruduk dada Sarman. Sarman terjengkang. Dan pingsan. Aku pulang ke rumah sambil berlari sekencang kencangnya. Aku ketakutan, tak berani lagi berangkat ke sekolah.
Kakek dan nenek membujukku untuk sekolah lagi, tapi aku menolaknya. Aku memilih menghabiskan hari-hariku dengan menggembalakan kerbau milik kakek.
Aku tinggal bersama kakek dan nenek di sebuah rumah beratap seng, berdinding papan, dan beralas tanah biasa. Aku tak tahu di mana kedua orang tuaku. Kata nenek, kedua orang tuaku pergi bekerja ke kota. Nantinya saat pulang, mereka akan membawa uang untuk membeli apa saja yang aku minta. Celana, baju, sepeda akan dibelikan mereka untukku.
Namun di hari yang lain, aku pernah mendengar pembicaraan kakek dan nenek. Aku mendengar cerita kakek menemukanku waktu masih bayi di tepi sawah, saat kakek menggembalakan kerbau.
Entahlah. Hanya Tuhan yang tahu siapa sebenarnya orang tuaku. Orang baik-baik yang sedang bekerja untukku atau orang yang tega membuang anaknya di tepi sawah.
***
Lamunanku dihentikan oleh suara minta tolong. Suara yang berasal dari mulut yang pernah mengatakan aku anak yang bodoh.
“Tolong...tolong...tolong!” Suara itu dari mulut bu Serli yang sedang berebut tas dengan seorang pria bertubuh gempal. Aku segera berlari ke arah mereka. Ke arah jalan desa yang berada di seberang sungai.
“Jangan ganggu, bu guruku!” bentakku dengan amarah terpendam. Ingin rasanya segera menyeruduk orang yang telah berhasil merebut tas bu Serli. Entah apa isi tas itu.
“Hei, anak ingusan! Tak usah ikut campur!” bentak orang itu yang bermata merah, rambut panjang, dan lengan bertato naga.
Aku mendekat, disambut dengan pukulan tangan kanan. Aku menangkisnya dengan batok kepalaku. Orang itu meringis kesakitan, sambil mengibas-ngibaskan tangan kanannya. Tangannya yang besar berotot seperti tak berdaya.
Aku mundur beberapa langkah, mengambil sikap seperti seekor kerbau yang akan menyerang lawannya. Bidikanku ke dada orang di depanku.
Dug! Kepalaku yang sekeras batu, menyeruduk dadanya yang bidang. Ia terpental. Tubuhnya jatuh dengan suara berdebam, seperti pohon kelapa yang roboh karena ditebang. Kepalanya membentur batu. Ia pingsan seketika. Tasnya aku rebut, dan kuberikan pada bu Serli.
“Ini tas ibu!” Aku menyerahkan tas warna hitam milik bu Serli.
“Terima kasih ya Nak, kamu telah menolong ibu.” Bu Serli memelukku sambil menangis sesunggukkan. Mungkin bu Serli merasa sangat bersalah kepadaku karena pernah memarahiku dan mengataiku anak yang bodoh. Tapi aku tidak dendam pada bu Serli. Bahkan sebenarnya aku sangat sayang pada bu Serli seperti rasa sayang seorang anak pada ibunya.
Ada kehangatan seorang ibu dalam pelukannya. Kehangatan yang belum pernah kurasakan sejak lahir. Bertemu muka dengan ibu kandungku pun aku belum pernah.
Orang-orang berdatangan, menggelandang orang jahat itu ke balai desa.
***
Malam hari. Aku sedang tiduran di kamar.
Ada suara orang mengetuk pintu. Aku berlari ke luar, membuka pintu. Tamu yang datang ternyata bu Serli dan Pak Lurah.
Aku mempersilahkan masuk mereka berdua. Aku masuk ke dalam memanggil kakek dan nenek.
Kami bertiga menemui bu Serli dan Pak Lurah.
“Begini, kami datang ke sini ingin menyampaikan terima kasih kepada Diran. Diran yang telah menolong bu Serli dari orang jahat. Tas yang berisi uang gaji guru dan karyawan berhasil diselamatkan oleh Diran. Sebagai rasa terima kasih, Bu Serli akan memberikan hadiah buat Diran.” Ucap Pak Lurah.
“Iya. Apapun yang Diran inginkan akan saya penuhi. Kamu inginnya apa, Nak?” tanya bu Serli padaku.
Aku melihat kakek dan nenek. Tak ada keinginan apa-apa di sana. Wajah keriput mereka tak menginginkan kemewahan duniawai.
“Aku ingin rumah nenek dan kakek diperbaiki.” Ucapku.
“Baiklah kalau begitu,” sahut Bu Serli.
“Terima kasih sekali, Bu. Namun demikian, rumahku tak perlu diperbaiki. Aku lebih suka tinggal di rumah seperti ini. Jika memang bu Serli ingin menyumbangkan sejumlah uang, lebih baik untuk membantu membuat jembatan yang lebih permanen agar anak-anak yang akan berangkat ke sekolah tidak takut lagi menyeberang jembatan bambu.” Usul kakek.
“Iya saya setuju seperti itu.” Sahut nenek.
“Wah itu ide yang sangat baik,” kata Pak Lurah.
Aku pun menyetujuinya.
“Baiklah kalau demikian, insyaAllah saya akan menyumbang sejumlah uang untuk membantu pembuatan jembatan itu.” Ucap Bu Serli.
***
Aku duduk di bawah pohon dekat jembatan baru. Jembatan yang dibangun oleh warga, dan dibantu sebagian besar dananya oleh bu Serli. Kerbau yang kugembalakan sedang berkubang di lumpur.
Tak ada lagi anak yang tergelincir saat berangkat dan pulang sekolah. Tak ada lagi anak yang gemetaran saat melewati jembatan bambu karena telah berganti menjadi jembatan beton yang kokoh. Dan tak ada lagi anak yang mengolok-olokku. Sikap mereka kini ramah bahkan seperti bangga dengan keberadaanku di kampung ini.[]
Banyumas, 19 Desember 2012
*Cerpen ini termaktub dalam Buku Kumpulan Cerpen Pemenang LMC 2012 Writing Revolution “Kisah dari Rumah Kambira”
Share:

0 komentar:

VIDEO PEMBELAJARAN

Frequency Counter Pengunjung

Artikel Terbaru

LINK SAYA

Komentar Terbaru

Konsultasi IPA