BELAJAR SEPANJANG HAYAT


Catatan Harian Seorang Guru IPA







Selamat berkunjung di blog kami, semoga bermanfaat

Selasa, 19 Maret 2013

Dilema Seorang PNS



Cerpen Agus Pribadi

Aku bersyukur, terpilih menjadi seorang CPNS. Memenangkan persaingan dengan ratusan, bahkan ribuan pelamar lainnya. Dengan demikian aku akan segera menerima SK CPNS. Dan jika tak ada halangan yang berarti, aku pun akan menerima SK PNS setelah melalui diklat prajabatan.
Aku akan mendapatkan gaji tetap setiap bulannya, meski mungkin pas-pasan untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari istri dan anakku. Aku tidak akan kebingungan untuk makan dan membeli sedikit keperluan lainnya. Sabun, odol, buah-buahan, sandal, dan lainnya bisa kubeli dengan gaji bulananku itu. Sampai aku tak bekerja pun (pensiun), aku tetap akan mendapatkan gaji bulanan dari pemerintah, asalkan selama kerja tak bermasalah.
Empat tahun sudah aku hidup sederhana menjadi seorang PNS. Meski seorang guru, aku belum mendapatkan tunjangan sertifikasi. Menunggu giliran dalam antrian yang panjang. Hidup dalam kesederhanaan bisa menjadi hal yang menjemukan. Terutama bagi mereka yang biasa bergelimang kemewahan. Jika mampu bertahan, seorang PNS akan terselamatkan. Terhindar dari godaan korupsi demi mendapatkan kemewahan duniawi yang memabukkan. Rumah mewah, mobil mewah, dan hal-hal mewah lainnya. Mungkin hanya sedikit orang yang tak menginginkan itu semua di zaman seperti sekarang ini. Zaman di mana iklan-iklan duniawi lebih dominan dibandingkan iklan rohani. Zaman di mana materi seakan menjadi tolok ukur sukses tidaknya seseorang.
Suatu malam. Jam 11an. Istri dan anakku tertidur pulas di kamarnya. Sementara aku masih memelototi layar televisi yang berada di ruang tamu. Televisi yang menjadi bonusku mengontrak sebuah rumah. Selain terdapat televisi, rumah kontrakanku juga telah dilengkapi perabot lainnya, seperti kursi tamu, meja makan, perabot memasak, dan lain-lainnya. Aku membayar sejuta sekian untuk mengontrak rumah itu selama satu tahun. Rumah itu tidak dilengkapi dengan pompa air, hingga aku dan istriku harus menimba air setiap harinya untuk keperluan mandi, mencuci dan lainnya.
Aku bangkit, menuju kamar. Membuka lemari, mengambil map yang berisi SK PNS dan SK CPNS milikku. Aku kembali menuju ruang tamu. Membuka isi map, memandangi lembaran yang sudah dilaminating. Lembaran yang menetapkanku sebagai abdi negara yang dibubuhi tanda tangan pak bupati. Ingin rasanya membangunkan istriku. Membicarakan tentang kebutuhan hidup kami. Meski tak dihimpit masalah ekonomi yang serius, tapi kami merasakan sesuatu yang serba terbatas. Rumah belum punya. Sepedamotor masih mencicil belum lunas. Serta keperluan lainnya yang semakin hari semakin meningkat.
Aku melihat banyak teman-teman kerjaku yang memanfaatkan SK mereka untuk “disekolahkan” di sebuah bank. Mereka akan menerima sejumlah uang dan mengangsurnya setiap bulannya dengan dipotong gajinya.
“Ambil aja, Ton. Nanti kan kamu bisa membuat rumah, atau membeli mobil,” ucap temanku di kantor.
“Masih pikir-pikir dulu, Rud,” jawabku menimpalinya.
Dulu waktu belum menikah, aku pernah merasakan susahnya mengumpulkan rupiah demi rupiah. Berjualan bensin eceran, pulsa, dan kebutuhan sehari-hari melalui sebuah warung yang sangat sederhana. Warungku terbuat dari triplek dan bambu. Mendapat untung seribu dua ribu saja dalam sehari aku sudah sangat senang.
Kini setelah menikah, aku membayangkan bisa kembali merasakan susah lagi jika gajiku harus dipotong karena sebuah hutang. Awalnya mungkin senang, menerima lembaran uang dalam jumlah ratusan juta. Namun setelah itu, setiap bulannya aku hanya akan mendapatkan sisa gaji yang kecil. Aku harus menjalani keadaan itu selama puluhan tahun.
Pulang kerja. Capek. Harus melanjutkan berjualan di warung menggantikan istriku yang sudah menjaga warung dari pagi. Sore hari, harus memberi les privat dari seorang anak keluarga kaya. Di hari Minggu, harus menuju ke kota menjadi tentor sebuah bimbingan belajar. Semua itu untuk menambah pundi-pundi rupiah agar bisa bertahan setiap bulannya. Jika kebutuhan semakin mendesak, istriku akan berhutang pada orang lain. Dengan demikian hutang-hutang kami akan semakin banyak. Kami akan semakin bingung untuk melunasinya.
Jika aku memegang uang milik kantor, bisa saja aku tergoda untuk memakainya. Itu semua karena terdesak. Akal sehat menjadi hilang. Korupsi.
“Belum tidur, Mas?” tanya istriku setelah terbangun dari tidurnya.
Ia mengagetkan lamunanku.
“Ini lagi pikir-pikir dengan SK ini.”
“Memangnya SK itu kenapa, Mas?”
“Bagaimana jika kita “sekolahkan” saja?”
“Untuk apa kita melakukan itu?”
“Aku ingin membeli kulkas, televisi, mesin cuci, kursi tamu, dan kebutuhan lainnya. Kita tidak ingin seperti ini terus, kan?”
“Tapi kan bisa dengan cara menabung, Mas. Kita sisihkan sebagian uang kita setiap bulannya. Nanti lama-lama kan bisa menjadi banyak.”
“Itu terlalu lama. Aku tak tega melihatmu seperti ini terus.”
“Tak apa, Mas. Daripada dililit hutang lebih baik hidup seperti ini. Biarlah dalam kesederhanaan yang penting menenangkan kita, Mas.”
Malam itu, aku kembali menyimpan SK-SK itu dalam map dan meletakkannya di dalam lemari. Aku mengurungkan niatku untuk memanfaatkannya demi berlembar-lembar rupiah. Aku akan kembali menjalani hidup bersama keluargaku dengan kesederhanaan.
Tak ada barang-barang mewah. Tak ada hidup susah karena harus mengumpulkan rupiah yang sudah dipotong setiap bulannya. Barangkali ini memang adil. Barangkali pilihan ini yang juga merupakan pilihan istriku memang benar. Inilah aku, seorang PNS yang terkadang berada dalam dilema.[]
Banyumas, 17 Maret 2013
Diposting di Kompasiana, 17 Maret 2013
Share:

0 komentar:

VIDEO PEMBELAJARAN

Frequency Counter Pengunjung

Artikel Terbaru

LINK SAYA

Komentar Terbaru

Konsultasi IPA