Cerpen
Agus Pribadi
Aku
bersyukur, terpilih menjadi seorang CPNS. Memenangkan persaingan dengan
ratusan, bahkan ribuan pelamar lainnya. Dengan demikian aku akan segera
menerima SK CPNS. Dan jika tak ada halangan yang berarti, aku pun akan menerima
SK PNS setelah melalui diklat prajabatan.
Aku
akan mendapatkan gaji tetap setiap bulannya, meski mungkin pas-pasan untuk mencukupi
kebutuhan sehari-hari istri dan anakku. Aku tidak akan kebingungan untuk makan
dan membeli sedikit keperluan lainnya. Sabun, odol, buah-buahan, sandal, dan
lainnya bisa kubeli dengan gaji bulananku itu. Sampai aku tak bekerja pun
(pensiun), aku tetap akan mendapatkan gaji bulanan dari pemerintah, asalkan
selama kerja tak bermasalah.
Empat
tahun sudah aku hidup sederhana menjadi seorang PNS. Meski seorang guru, aku
belum mendapatkan tunjangan sertifikasi. Menunggu giliran dalam antrian yang
panjang. Hidup dalam kesederhanaan bisa menjadi hal yang menjemukan. Terutama
bagi mereka yang biasa bergelimang kemewahan. Jika mampu bertahan, seorang PNS
akan terselamatkan. Terhindar dari godaan korupsi demi mendapatkan kemewahan
duniawi yang memabukkan. Rumah mewah, mobil mewah, dan hal-hal mewah lainnya.
Mungkin hanya sedikit orang yang tak menginginkan itu semua di zaman seperti
sekarang ini. Zaman di mana iklan-iklan duniawi lebih dominan dibandingkan
iklan rohani. Zaman di mana materi seakan menjadi tolok ukur sukses tidaknya
seseorang.
Suatu
malam. Jam 11an. Istri dan anakku tertidur pulas di kamarnya. Sementara aku
masih memelototi layar televisi yang berada di ruang tamu. Televisi yang
menjadi bonusku mengontrak sebuah rumah. Selain terdapat televisi, rumah
kontrakanku juga telah dilengkapi perabot lainnya, seperti kursi tamu, meja
makan, perabot memasak, dan lain-lainnya. Aku membayar sejuta sekian untuk
mengontrak rumah itu selama satu tahun. Rumah itu tidak dilengkapi dengan pompa
air, hingga aku dan istriku harus menimba air setiap harinya untuk keperluan
mandi, mencuci dan lainnya.
Aku
bangkit, menuju kamar. Membuka lemari, mengambil map yang berisi SK PNS dan SK
CPNS milikku. Aku kembali menuju ruang tamu. Membuka isi map, memandangi lembaran
yang sudah dilaminating. Lembaran yang menetapkanku sebagai abdi negara yang dibubuhi
tanda tangan pak bupati. Ingin rasanya membangunkan istriku. Membicarakan
tentang kebutuhan hidup kami. Meski tak dihimpit masalah ekonomi yang serius,
tapi kami merasakan sesuatu yang serba terbatas. Rumah belum punya. Sepedamotor
masih mencicil belum lunas. Serta keperluan lainnya yang semakin hari semakin
meningkat.
Aku
melihat banyak teman-teman kerjaku yang memanfaatkan SK mereka untuk
“disekolahkan” di sebuah bank. Mereka akan menerima sejumlah uang dan
mengangsurnya setiap bulannya dengan dipotong gajinya.
“Ambil
aja, Ton. Nanti kan kamu bisa membuat rumah, atau membeli mobil,” ucap temanku
di kantor.
“Masih
pikir-pikir dulu, Rud,” jawabku menimpalinya.
Dulu
waktu belum menikah, aku pernah merasakan susahnya mengumpulkan rupiah demi
rupiah. Berjualan bensin eceran, pulsa, dan kebutuhan sehari-hari melalui
sebuah warung yang sangat sederhana. Warungku terbuat dari triplek dan bambu.
Mendapat untung seribu dua ribu saja dalam sehari aku sudah sangat senang.
Kini
setelah menikah, aku membayangkan bisa kembali merasakan susah lagi jika gajiku
harus dipotong karena sebuah hutang. Awalnya mungkin senang, menerima lembaran
uang dalam jumlah ratusan juta. Namun setelah itu, setiap bulannya aku hanya
akan mendapatkan sisa gaji yang kecil. Aku harus menjalani keadaan itu selama
puluhan tahun.
Pulang
kerja. Capek. Harus melanjutkan berjualan di warung menggantikan istriku yang
sudah menjaga warung dari pagi. Sore hari, harus memberi les privat dari seorang
anak keluarga kaya. Di hari Minggu, harus menuju ke kota menjadi tentor sebuah
bimbingan belajar. Semua itu untuk menambah pundi-pundi rupiah agar bisa
bertahan setiap bulannya. Jika kebutuhan semakin mendesak, istriku akan
berhutang pada orang lain. Dengan demikian hutang-hutang kami akan semakin
banyak. Kami akan semakin bingung untuk melunasinya.
Jika
aku memegang uang milik kantor, bisa saja aku tergoda untuk memakainya. Itu
semua karena terdesak. Akal sehat menjadi hilang. Korupsi.
“Belum
tidur, Mas?” tanya istriku setelah terbangun dari tidurnya.
Ia
mengagetkan lamunanku.
“Ini
lagi pikir-pikir dengan SK ini.”
“Memangnya
SK itu kenapa, Mas?”
“Bagaimana
jika kita “sekolahkan” saja?”
“Untuk
apa kita melakukan itu?”
“Aku
ingin membeli kulkas, televisi, mesin cuci, kursi tamu, dan kebutuhan lainnya.
Kita tidak ingin seperti ini terus, kan?”
“Tapi
kan bisa dengan cara menabung, Mas. Kita sisihkan sebagian uang kita setiap
bulannya. Nanti lama-lama kan bisa menjadi banyak.”
“Itu
terlalu lama. Aku tak tega melihatmu seperti ini terus.”
“Tak
apa, Mas. Daripada dililit hutang lebih baik hidup seperti ini. Biarlah dalam
kesederhanaan yang penting menenangkan kita, Mas.”
Malam
itu, aku kembali menyimpan SK-SK itu dalam map dan meletakkannya di dalam lemari.
Aku mengurungkan niatku untuk memanfaatkannya demi berlembar-lembar rupiah. Aku
akan kembali menjalani hidup bersama keluargaku dengan kesederhanaan.
Tak
ada barang-barang mewah. Tak ada hidup susah karena harus mengumpulkan rupiah
yang sudah dipotong setiap bulannya. Barangkali ini memang adil. Barangkali
pilihan ini yang juga merupakan pilihan istriku memang benar. Inilah aku,
seorang PNS yang terkadang berada dalam dilema.[]
Banyumas, 17
Maret 2013
Diposting di Kompasiana, 17 Maret 2013
0 komentar:
Posting Komentar