BELAJAR SEPANJANG HAYAT


Catatan Harian Seorang Guru IPA







Selamat berkunjung di blog kami, semoga bermanfaat

Minggu, 30 Oktober 2016

Membaca Realisme Magis Cerpenis Banyumas

 Peluncuran Buku Kumpulan Cerpen "Gadis Berkepala Gundul" karya Agus Pribadi
(Berita Koran Suara Merdeka, 22 Januari 2015)




DUNIA sastra Banyumas kembali bergeliat. Setelah kemunculan novel sejarah Kumandang Tembang Mrapat karya Nasirin L Sukarta, akhir pekan lalu, cerpenis Banyumas Agus Pribadi unjuk karya dengan menghadirkan buku kumpulan cerpen Gadis Berkepala Gundul. Suasana ruang tamu sebuah rumah di Desa Karangtengah, Kecamatan Kembaran, Banyumas, yang riuh dengan percakapan mendadak hening.
Penyair Agustav Triono berdiri dan membacakan sebuah cerpen yang menjadi judul kumpulan cerpen ”Gadis Berkepala Gundul”. Pembacaan itu sekaligus membuka acara bedah buku kumpulan cerpen karya Agus Pribadi itu. Penulis kelahiran Purbalingga, 10 Mei 1978, itu baru saja mengumpulkan sejumlah judul cerpennya yang terpercik di berbagai surat kabar.
Dalam ulasannya tentang isi buku tersebut, kritikus sastra Arif Hidayat menyinyalir ada gaya realisme magis dalam sebagian karya-karya penulis yang guru IPASMPdi Purbalingga itu. ”Gaya menulis itu kurang lebih merupakan karya sastra yang mencoba menghadirkan sesuatu yang magis menjadi tampak nyata (realis). Ini terlihat dari beberapa judul cerpen yang ditulis Agus Pribadi,” katanya.
Pertentangan Batin
Aif menyebutkan, cerpen yang berjudul ”Cicak” merupakan salah satu contoh cerpen yang bergaya itu. Cerpen yang pernah termuat di Suara Merdeka itu bercerita tentang tokoh aku yang terbelit masalah kemiskinan dan harus mengadu nasib ke kota, namun nasib mengantarkannya pulang tinggal nama.
Menurut Arit, bila dibandingkan dengan karya Ahmad Tohari yang konsisten dengan realisme-sosialnya, cerpencerpen Agus Pribadi berusaha mencari bentuk dengan menampilkan pertentangan batin, sedangkan cerpen-cerpen Ahmad Tohari menonjolkan kekuatan karakter tokoh-tokohnya. Sastrawan Banyumas, Teguh Trianton, mengungkapkan, setiap karya sastra seharusnya merupakan ungkapan nabok nyilih tangan, bisa merupakan ungkapan kritik sosial sebagai keberpihakan penulis.
”Setelah membaca kumpulan cerpen ini, saya justru bertanya bagaimana karya sastra menjadi sebuah kekuatan yang nabok nyilih tangan itu,” ujarnya. Selain membedah buku, kesempatan tersebut juga digunakan untuk mengumumkan pemenang lomba cerpen yang digelar Penulis Muda Banyumas, beberapa waktu lalu.
Juara 1 cerpen berjudul ”Sebuah Kutukan, Kematian Ibu, dan Kota Tanpa Alun-Alun” karya Ade Ubaidil, juara kedua cerpen ”Pulang” karya Anwar Hadja, dan juara ketiga Ahmad Bayhaki lewat cerpen berjudul ”Terompet Naura”. (Nugroho Pandhu Sukmono- 55)
Share:

0 komentar:

VIDEO PEMBELAJARAN

Frequency Counter Pengunjung

Artikel Terbaru

LINK SAYA

Komentar Terbaru

Konsultasi IPA