BELAJAR SEPANJANG HAYAT


Catatan Harian Seorang Guru IPA







Selamat berkunjung di blog kami, semoga bermanfaat

Kamis, 05 April 2018

Antologi Doresani, Ekspresi Penggunaan Bahasa Ibu

“Buku antologi Doresani merupakan salah satu ekspresi penggunaan bahasa Ibu. Seluruh manusia Jawa hari ini bebas berekspresi menggunakan bahasa ibunya sendiri. Ia bebas berekspresi menggunakan gagasan dan imajinasinya dalam bentuk karya sastra, tanpa harus menggunakan bahasa Jawa baku.” Hal itu dikatakan Jefrianto, kritikus sastra penginyongan, dalam acara bedah Buku antologi cerkak berbahasa Jawa dialek Banyumasan “Doresani” karya Agus Pribadi.
Kegiatan tersebut diselenggarakan oleh Komunitas Penyair Institute, bertempat di kampus Universitas Muhammadiyah Purwokerto pada Senin, 2 April 2018 pukul 19.30 sampai selesai. Kegiatan yang diikuti sekitar seratusan peserta itu, dihadiri oleh mahasiswa, dosen, dan pegiat sastra di Banyumas. Dari kalangan dosen hadir Eko Sri Israhayu, Teguh Trianton, dan Achmad Sultoni. Dari pegiat sastra hadir Dharmadi, Abdul Aziz Rasjid, Irfan M. Nugroho, dan para pegiat sastra lainnya. Hadir pula dosen prodi sastra Jawa Universitas Indonesia, Dwi Puspitorini.
Dalam kesempatan tersebut, Jefrianto juga mengatakan antologi Doresani hadir sebagai upaya pemertahanan bahasa ibu yang posisinya kian tergerus oleh bahasa nasional dan internasional.
Diterangkan oleh pembedah pertama buku tersebut, bukti tertua Bahasa Jawa Kuno tertulis dalam Prasasti Sukabumi (Tarikh 732 Saka). Sastra Jawa Kuno pada mulanya berbentuk kakawin, kidung, kemudian macapat. Kemudian  sejak 1832 mulai dikenal bentuk karya sastra berciri budaya barat seperti novel dan puisi. Dalam dasawarsa terakhir ini ruh Jawa terasa ada di mana-mana. Ia ada di Jawa Banyumasan, Jawa Tegalan, Jawa Banyuwangi, Jawa Surabayan, dan sebagainya.
Sementara itu Adhy Pramudya, dramawan Banyumas, mengatakan, “Antologi Doresani kental dengan bahasa Banyumasan. Bagi saya yang asli Banyumas, membaca buku tersebut seperti masuk ke dalam suasana cerita dan akrab dengan tokoh-tokohnya.”
Pembedah kedua tersebut juga mengungkapkan, cerkak-cerkak Agus Pribadi mengingatkan pada karya-karya Ahmad Tohari yang kerap bercerita tentang tokoh wong cilik. Cerkak “Wedhang Teh” mengingatkan pada cerpen “Jasa-Jasa Buat Sanwirya”, cerkak “Gadung” mengingatkan pada cerpen “Surabanglus”.[]

Share:

0 komentar:

VIDEO PEMBELAJARAN

Frequency Counter Pengunjung

Artikel Terbaru

LINK SAYA

Komentar Terbaru

Konsultasi IPA