Oleh Mufti Wibowo
Judul
: Lelaki Penjaring Ikan dan Gadis di Tepi Hutan
Genre
: Kumpulan Cerpen
Penulis
: Agus Pribadi
Cetakan.
: pertama, 2021
Tebal
: vi + 94
Penerbit
: SIP
ISBN
: 978-623-337-117-9
Umar Kayam mengenalkan pada saya pada tokoh
rekaannya, Sri Sumarah, sebagaimana Pram mengenalkan Nyai Ontosoroh. Kedua
tokoh itu meninggalkan kesan mendalam bagi saya hingga bertahun-tahun setelah
membacanya, sebagaimana tokoh rekaan Eka Kurniawan, Dewi Ayu.
Belum lama setelah bergumul dengan Simone de
Beauvoir melalui karya monumentalnya, Second Sex, saya berkesempatan membaca
kumpulan cerpen Lelaki Penjaring Ikan dan Gadis di Tepi Hutan karya Agus
Pribadi. Tentu saja saya tidak bermaksud untuk mebandingkan keduanya.
Setidaknya, saya merasa mendapat privilese untuk meminjam sudut pandang
“feminis” untuk mengomentari, secara khusus, tokoh-tokoh perempuan rekaan Agus
Pribadi dalam buku terbarunya yang setebal 94 halaman.
Kesan pertama dalam benak saya saat melihat
perwajahan buku dengan pemilihan tema yang murung adalah penonjolan kata lelaki
dan gadis (perempuan). Dua kata yang kerap “dihadap-hadapkan” dalam konstruksi
yang khas pada hampir semua budaya. Sedikitnya, terdapat lima belas tokoh
perempuan dalam Lelaki Penjaring Ikan dan Gadis di Tepi Hutan, dan semuanya
adalah tokoh sentral dalam setiap cerita.
Ibu (perempuan) yang muncul dalam setiap cepen
Agus adalah sosok yang keramat. Pandangan ini bisa dilacak dari latar mistisme
Jawa atau Islam, sebagaimana latar belakang penulis. Meski sosok ibu disebut
tidak boleh dibantah oleh anak-anaknya, Ibu bukan dalam posisi pemegang
otoritas. Itu yang tampak pada relasi tokoh aku dan ibu pada cerpen “Catatan
Ibu” dan “Ibu dan Gaji Pensiunnya”.
Dengan uraian itu, saya ingin mengatakan bahwa
tokoh aku sebagai anak laki-laki yang mengeramatkan sosok ibu justru berperan
sebagai pemegang otoritas itu. Aku merasa bertanggung jawab atas segala sesuatu
yang terjadi pada ibunya, termasuk keselamatannya. Dengan begitu pula, tak
berlebihan jika saya mengajukan kalimat tesis berikut: apakah tokoh aku adalah
subaltern dari Agus Pribadi sebagai pengarang (laki-laki) untuk mengintervensi
otonomi teks?
Agus juga memproyeksikan sosok perempuan dalam
relasi organiknya dengan laki-laki. Hubungan organik itu terbaca sedikitnya
pada cerpen “Gadis Anggrek”, “Empat Bulan di Malam Purnama”, “Ayu dan Ayahnya”
dan “Kota Tua”. Pada keempat cerpen tersebut, tokoh-tokoh perempuannya
diceritakan dalam sudut pandang lelaki, sebagai pasangan kekasih atau
suami-istri. Secara stereotip, tokoh perempuan digambarkan sebagai subjek yang
tidak utuh, gegar karena patah hati yang traumatis. Hal itu dipertentangkan
dengan hubungan organik ideal yang harmoni. Namun demikian, kesan glorifikasi
terhadap kultur paternal yang memosisikan perempuan sebagai pihak yang pasif
dalam upaya mencapai “harmoni” itu adalah sesuatu yang layak digugat oleh
pembaca.
Terakhir, saya menggarisbawahi tokoh perempuan
rekaan Agus dalam cerpen “Lelaki Penjaring Ikan dan Gadis di Tepi Sungai”.
Satu-satunya cerpen dalam buku ini yang pernah terpublikasi di media, Radar
Banyumas, ini menggambarkan sosok gaib atau misterius dalam citra wadak
perempuan. Yang menjadi pertanyaan kemudian, apa dasar Agus memilik citra
visual “gadis”? Apakah akan mengubah alur dan kekohesian cerita jika sosok
“gadis” diganti dengan sosok lain, misal “perjaka”? Atau, menggantinya dengan
figur netral yang tak bias gender “dia”?
Alih-alih mendeskripsikan kausalitas hubungan
sosok “gadis” dengan “lelaki”, kecuali pada dua paragraf yang mengesankan
penutup yang gegabah, narator hanya sibuk menarasikan lelaki penjaring ikan.
Dengan begitu, pembaca layak mencurigai motif di balik Agus menghadirkan tokoh
“gadis” misterius—memararelkannya dengan kode-kode budaya yang bercampur mitos
di luar teks—yang memosisikan perempuan sebagai subjek yang inferior secara
fisik dan didominasi emosi sekaligus lemah secara rasio—sebagai metafora dari
misteri atau sesuatu yang “tidak terdefinisi”.
Pembaca bisa mendekati teks dengan berbagai
cara dan sudut pandang. Saya, yang hidup di Indonesia—sebagaimana Agus
Pribadi—dapat membandingkan sosok tabu atau misteri yang dicitravisualkan
sebagai perempuan jauh lebih dominan dari pada laki-laki. Pembaca dapat
menemukan faktanya pada film-film nasional bergenre horor.
Tentu kita mafhum dengan sebuah frasa ampuh
berbunyi karya sastra (sebagai cabang seni) tidak lahir dari ruang kosong
budaya. Sebagaimana karya sastra yang dibidani Agus, dia adalah bagian dari
dunianya yang mewedarkan nilai-nilai budaya yang hidup di luar teks. Dan,
normal saja ketika nilai-nilai atau sesuatu yang di luar teks merembas ke tubuh
teks.
Yang mesti dibedakan untuk menentukan
keberhasilan atau kegagalannya adalah menguji apakah rembasan itu hadir sebagai
kesadaran penulis atau rembasan yang muncul tanpa rencana. Dalam kerja kreatif,
yang sesungguhnya sangat teknis-mekanis, sesuatu yang tanpa rencana itu adalah
kebocoran yang mesti diminimalisasi. Tabik.
* Mufti Wibowo penulis prosa dan editor lepas
kelahiran Purbalingga.
Sumber
tulisan:
https://maarifnujateng.or.id/2021/07/perempuan-rekaan-agus-pribadi/