BELAJAR SEPANJANG HAYAT


Catatan Harian Seorang Guru IPA







Selamat berkunjung di blog kami, semoga bermanfaat
Tampilkan postingan dengan label fiksi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label fiksi. Tampilkan semua postingan

Jumat, 30 April 2021

Pengembalian Naskah Masing-Masing Peserta (Proyek Antologi Cerpen Menembus Penerbit Mayor)

 


 

Sesuai ketentuan pasal 19 proyek antologi cerpen menembus penerbit mayor:

“Jika sampai 30 April 2021 draf tidak diterima penerbit mana pun, maka cerpen-cerpen terpilih menjadi hak penulis masing-masing (dikembalikan ke penulis masing-masing), dan tidak akan diterbitkan di penerbit indie.”

Berdasarkan hal di atas, maka naskah cerpen terpilih saya kembalikan ke penulis masing-masing karena belum ada atau tidak ada penerbit mayor yang menerima naskah tersebut.

Demikian pengumuman ini. Terima kasih atas partisipasi para penulis semua, mohon maaf jika ada kesalahan dan kekurangan, serta harap maklum.

Salam literasi.

Banyumas, 1 Mei 2021

Agus Pribadi

Share:

Senin, 12 April 2021

Kelas Menulis Buku Kumcer: Tetap Belajar Nulis Saat Ramadan

 



Selama Ramadan 1442 H/ 2021 M, Agus Pribadi menggelar Kelas Menulis Buku Kumpulan Cerpen. Kelas berlangsung melalui grup whatsapp selama empat kali pertemuan yang digelar setiap hari Minggu pukul 10.00 – 11.30, dengan pendampingan menulis buku kumcer selama 6 bulan. Biasanya Agus Pribadi menggelar kelas cerpen—sudah angkatan 4— dan juga kelas novel angkatan 1 di luar bulan Ramadan, dan baru kali ini Agus Pribadi membuka kelas menulis buku kumpulan cerpen edisi Ramadan. Kegiatan ini istimewa karena boleh dikatakan sebagai kelanjutan dari kelas menulis cerpen, dan para peserta dituntut untuk bisa membagi waktu dalam mengisi bulan Ramadan: di antara kegiatan tarawih, tadarus, mengikuti pengajian, dan kegiatan lainnya, masih menyempatkan diri untuk belajar menulis.  Kelas ini bisa menjadi alternatif mengisi kegiatan positif selama Ramadan.

Materi yang diberikan dalam kelas menulis buku kumcer ini adalah:

1.      Kiat menulis cerpen

Materi ini lebih ditujukan untuk menggali 101 ide menulis cerpen. Harapannya dari kelas ini peserta bisa memiliki 10 ide cerpen untuk dikumpulkan sebagai draf buku kumpulan cerpen masing-masing peserta.

2.      Kiat menulis produktif

Penulis buku kumpulan cerpen adalah penulis yang produktif karena menghasilkan banyak cerpen untuk dibukukan. Kiat menulis produktif dihadirkan agar peserta memiliki kemampuan dan kebiasaan menulis produktif khususnya menulis cerita pendek.

3.      Kiat menulis buku kumpulan cerpen

Materi mengenai kiat menulis buku kumpulan cerpen agar tampil elegan dan menarik. Bagaimana cara mendapatkan benang merah dari cerpen-cerpen yang akan dibukukan?

4.      Merancang buku kumpulan cerpen

Merancang materi cerpen yang akan dijadikan buku. Peserta mempersiapkan cerpen-cerpen yang akan dibukukan.

Kelas ini akan dimulai 18 April 2021. Masih ada kesempatan mendaftar sampai 17 April 2021. Ada pemotongan harga Rp. 50.000,- bagi pendaftar sebelum 17 April 2021. Tidak hanya itu, peserta kelas ini juga mendapat bonus buku kumpulan cerpen terbaru karya Agus Pribadi.


Jika berminat bisa menghubungi no whatsapp 085290124307.

Share:

Jumat, 30 Oktober 2020

Tiga Naskah Terbaik Nulis Cerpen Tiap Hari Bareng Agus Pribadi

 




Dari 13 Naskah yang lolos tahap penerbitan, yakni:

1              Gadis Bermata Biru – Agus Yuwantoro

2              Kaleidoskop di Komidi Putar – Dhianita

3              Akar – E. Rokajat Asura

4              Mataku Bicara, Kakiku Mendengar – Elfi Tridiana

5              Cerita Satu Kata – Ika Setyarini

6              Doa Zaira di Taman Surga – Jiah Palupi Twihantarti

7              Kulepas Engkau dengan Doa – Monika Nurdiani

8              Selarik Sajak Sarmin – Noerjoso

9              Mencari Harimau Jawa – Rezha  Rizqy Novitasary

10           Akar Petaka – Rokhmat Gioramadhita

11           Pesan Moral dalam Karya Sastro – Taqin Majid

12           Monochrome – Uniek Widyarti .N

13           Mata Alamat – Yuni Ari Rahmawati



Saya memilih 3 naskah terbaik, yaitu:

1.       Akar – E. Rokajat Asura

2.       Pesan Moral dalam Karya Sastro – Taqin Majid

3.       Akar Petaka – Rokhmat Gioramadhita


Masing-masing penulis naskah terbaik mendapat reward 250 ribu.

Selamat untuk semua.


Banyumas, 31 Oktober 2020

Agus Pribadi

 

Share:

Minggu, 06 September 2020

Proyek Nulis Cerpen Tiap Hari Bareng Agus Pribadi

pixabay.com

 

Bagi Anda yang bermental baja dan ingin menulis produktif, Anda bisa mengikuti proyek ini dengan kentuan:

A.    Seleksi Peserta

1)      Proyek ini berupa “Menulis Cerpen Tiap Hari Bersama Agus Pribadi Selama 15 Hari”.

2)      Proyek ini terbuka untuk umum, baik penulis pemula maupun penulis profesional dengan sistem seleksi.

3)      Pendaftaran Peserta: Gratis.

4)      Pendaftaran peserta mulai 10-25 September 2020 dengan cara mengirim satu cerpen (boleh cerpen yang sudah pernah dipublikasikan) ke email: aguspribadi1978@gmail.com dengan subjek: cerpenseleksi-nama penulis

5)      Profil penulis dilampirkan di file terpisah yang memuat Nama, Tempat Tanggal Lahir, Alamat, No Whatsapp (wajib), Pekerjaan, Pengalaman Menulis, dll dengan nama file Profil Penulis.

6)      Akan dipilih 10-15 peserta yang lolos seleksi.

7)      Pengumuman peserta lolos seleksi 27 September 2020

 

B.     Bagi Peserta yang Lolos Seleksi:

 

1)        Cerpen ditulis setiap hari satu buah cerpen selama 15 hari berturut-turut sesuai jadwal pelaksanaan, dikumpulkan dalam satu draf yang berisi 15 cerpen yang hasilkan.

2)        Di bawah masing-masing cerpen ditulis tempat dan tanggal pembuatan cerpen sebagai bukti menulis tiap hari.

3)        Cerpen yang ditulis pada hari pertama akan dijadikan antologi bersama ke-1, cerpen hari kedua dijadikan antologi bersama ke-2. Demikian seterusnya sampai cerpen hari ke-15 dijadikan antologi bersama ke-15

4)        Tema Cerpen yang ditulis tiap hari: Bebas agar dapat mengeksplor ide seluas-luasnya.

5)        Cerpen ditulis dengan huruf Times New Roman 12, spasi 1,5 dengan panjang minimal 800 kata.

6)        Penggalian ide: 28-30 September 2020

7)        Pelaksanaan kegiatan menulis cerpen: 1-15 Oktober 2020

8)        Editing oleh peserta masing-masing: 16-18 Oktober 2020

9)        Pengiriman draf jadi: 19 Oktober 2020. Naskah/draf jadi berisi 15 cerpen, File draf jadi dilampirkan dengan nama file Cerpen15_Nama Penulis dikirim ke email: aguspribadi1978@gmail.com

10)    Biodata berbentuk narasi dicantumkan di bawah naskah (disertai foto diri dilampirkan terpisah dalam format jpg)

11)    Peserta yang tidak menyelesaikan menulis cerpen sesuai ketentuan berarti dianggap tereliminasi dalam kegiatan ini.

12)    Pengumuman 3 Naskah Terbaik 31 Oktober 2020

13)    Tiga naskah/draf terbaik akan mendapat reward masing-masing Rp. 250.000,-

14)    Seluruh naskah akan diterbitkan oleh Penerbit SIP Publishing Purwokerto.

15)    Rencana seluruh naskah akan diterbitkan menjadi 15 Buku Antologi Bersama ditambah 1 Buku Solo Kumpulan Cerpen masing-masing penulis.

16)    Biaya cetak buku ditanggung penulis dengan harga khusus.

17)    Rencana Launching Bersama : 10 Januari 2021


Narahubung: 085290124307 (Agus Pribadi)


Banyumas, 10 September 2020

Agus Pribadi


Didukung oleh Penerbit SIP Publishing Purwokerto

Share:

Kamis, 25 Juli 2019

Sihir Guru Agus Menepis Kegaduhan

Oleh Mufti Wibowo (Radar Banyumas, 7 Juli 2019)


Bukankah bulan Ramadan selalu dipararelkan dengan konsepsi pendidikan. Orang yang telah melalui proses pendidikan disebut terdidik karena dia telah dianggap memiliki kompetensi tertentu. Kemenangan dalam Lebaran yang hakiki adalah hadirnya spirit keilahian yang (senantiasa) baru, dalam konsep budaya disebut mudik.

Yang lebih penting dari sekadar telah menempuh pendidikan dan mendapat predikat takwa atawa lulus adalah seberapa lama seseorang bisa mempertahankan spirit ketuhanan pada rentan sebelas bulan setelahnya. Dengan kata lain, boleh dikata, keberhasilan sebuah pendidikan tidak diukur saat proses itu berlangsung, tetapi tolok ukurnya adalah capaian-capaian pada masa setelah seseorang menyelesaikan pendidikan. Misal, ternyata Presiden Jokowi lulusan UGM atau pantas Gus Dur tinggi keilmuannya dan diakui banyak kalangan wong mondoknya di mana-mana.

Beda nasib dengan sebagian besar sekolah swasta di lingkup Banyumas saja sebagai misal. Stigma negatif kerap teralamatkan kepada sekolah—di dalamnya ada guru, perserta didik, sarana-prasarana—berdasarkan penilaian yang tidak objektif dan tidak menyeluruh. Menyadari realitas semacam itu, alih-alih ingin membenahi kesalahkaprahan yang laten telanjur masif itu, pemerintah membuat kebijakan sistem Penerimaan Pesera Didik Baru (PPDB) yang menjadi pemicu hiruk-pikuk setiap awal tahun ajaran pada dua-tiga tahun terakhir.
Selalu ada pro dan kontra di level publik adalah sebuah keniscayaan dalam kultur masyarakat demokrasi. Justru, itu menunjukkan semakin kuatnya peran masyarakat sipil.

Di tengah riak penerapan sistem zonasi PPDB awal masuk tahun ajaran 2019—2020, Agus Pribadi—guru sekaligus penulis dari tlatah Banyumas menelurkan sebuah karya teranyarnya berupa novel bertajuk Sihir Sayap Ular. Secara ringakas, novel itu menceritakan persahabatan tokoh Sona, Darsa, dan Yona yang tinggal di sebuah kampung yang digambarkan berjarak dari peradaban modern, kemelaratan dan kebodohan. Konflik muncul dan digerakan dengan kehadiran sosok bidadari. Pada akhirnya, ketiganya meninggal dalam usaha bersatu dengan ideal, Bidadari.
Konon, Sihir Sayap Ular adalah novel perdananya. Sebelumnya, Agus lebih banyak menulis cerpen dan cerkak untuk fiksi dan buku nonfiksi. Buku setelabal 122 halaman itu mengisahkan lima tokoh utama, tiga di antaranya adalah manusia. Dua tokoh utama lain adalah bidadari dan seekor ular. Ditulis dengan gaya bahasa yang lugas dan alur linear, pembaca tak dituntut meluangkan waktu yang terlalu lama untuk menyelesaikan novel hingga kalimat terakhir. Tema dan konflik yang membangun novel memungkinkannya untuk diterima banyak segmen pembaca, berdasarkan usia dan latar belakang pendidikan atau kultur.

Menimbang gagasan utama, sarana cerita, dan fakta cerita, buku novel fiksi garapan Agus Pribadi ini berpotensi masuk ke perpustakaan sekolah, sedikitnya untuk lingkup Banyumas. Hal ini akan menjawab sebuah kenyataan memprihatinkan yang dijumpai juri lomba penulisan cerpen untuk tingkat remaja tingkat Jawa Tengah yang diadakan Balai Bahasa Jawa Tengah tahun 2018 lalu. Juri mengemukakan dalam pertanggung jawabannya bahwa tokoh dan latar yang menjadi unsur pembangun cerita peserta lomba didominasi—untuk tidak mengatak keseluruhan—berkiblat pada budaya populer Barat dan Korea. Novel Sihir Sayap Ular diharapkan akan menjadi preferensi guru dan siswa ketika pembelajaran, misalnya dalam materi teks ulasan atau cerita fantasi untuk materi bahasa Indonesia kelas 7.

Agus Pribadi lebih dari sekadar kampanye omong kosong “gemar membaca”. Dengan menulis, Agus Pribadi telah menunjukkan dirinya adalah seorang pembaca yang baik. Bangsa ini baru boleh bermimpi memiliki generasi emas yang kelak akan menjadi penerima nobel berbagai bidang dengan hari ini memastikan orang tua dan guru adalah juga pembaca yang baik. Lalu, memastikan semua anak bangsa memperoleh akses layanan dasar pendidikan yang bermutu tanpa diskriminasi, di mana pun dan apapun nama sekolahnya. Semoga.

Mufti Wibwo lahir dan berdomisili di Purbalingga.
Share:

Jumat, 05 Mei 2017

Jamur


Cerpen Agus Pribadi
Sebagai sarjana Biologi sejak lama sebenarnya aku ingin membudidayakan jamur, khususnya jamur Tiram Putih (Pleurotus ostreatus). Namun entah kenapa, keinginan itu masih saja sekadar keinginan. Sebuah keinginan yang terbersit sejak aku masih bujangan sampai memiliki dua orang anak. Sejak aku baru lulus (fresh graduate) sampai aku menjadi seorang guru IPA.

Sebagai sarjana Biologi atau sarjana Sains aku lebih bergelut dengan ilmu murni, namun jalan hidup mengantarkanku menjadi seorang guru IPA pada sekolah menengah pertama. Saat kuliah aku mengambil jurusan Zoologi atau ilmu yang mempelejarai tentang hewan. Sedangkan jamur ada pada jurusan botani, meskipun dalam mata kuliah  tertentu aku juga mempelajari jamur, namun tidak terlalu aku tekuni.
Waktu kuliah sebenarnya ada teman-temanku yang menekuni budidaya jamur Tiram Putih, namun waktu itu aku kurang tertarik untuk mengikuti jejak teman-temanku itu. Setelah aku wisuda, keinginanku untuk bertanam jamur mulai tumbuh, namun tetap tidak terwujud. Aku lebih sibuk mencari kerja dan berkegiatan di bidang lain. Pernah aku mencoba membudidayakan benih Gurami, namun kurang berhasil sampai aku memilih bekerja sebagai seorang sales pada sebuah perusahaan farmasi, dan akhirnya aku putar haluan bekerja menjadi seorang guru.
Bukan hanya karena aku Sarjana Biologi sehingga dengan menekuni budidaya jamur akan semakin mengukuhkan keilmuanku, namun menurutku jamur merupakan makhluk hidup yang unik. Dalam ilmu klasifikasi tumbuhan, bukan tanpa alasan kalau awalnya jamur masuk dalam dunia tumbuhan. Sekarang terpisah dan menjadi dunia sendiri yakni dunia jamur (Fungi). Jadi, meskipun jamur memiliki bentuk seperti tumbuhan, namun jamur bukanlah tumbuhan karena tidak memiliki zat hijau daun (klorofil). Tersebab tidak memiliki zat hijau daun, jamur tidak bisa membuat makanannya sendiri (fotosintesis). Jamur mengambil makanan dari luar tubuhnya, yakni makhluk hidup lain atau sisa makhluk hidup yang telah mati. Sebagai contoh jamur Tiram Putih.  Jamur itu biasanya dibudidayakan pada media serbuk kayu yang dicampur dengan dedak dan bahan lainnya. Menurut referensi yang aku baca, selain memiliki gizi yang tinggi, jamur tiram juga bermanfaat untuk kesehatan dan pengobatan.
Pertemuanku kembali dengan jamur khususnya jamur Tiram Putih terjadi sekitar beberapa minggu yang lalu. Berawal dari sebuah pameran hasil karya para pelajar yang diadakan di kotaku. Aku dan beberapa muridku ikut menyaksikan kegiatan itu, dan aku berkesempatan singgah di sebuah stand yang menjual baglog jamur Tiram yang siap tanam. Aku membeli dua buah baglog dan aku letakkan di dekat kamar mandi. Beberapa minggu kemudian tampaklah jamur Tiram yang mulai tumbuh. Beberapa hari kemudian, jamur-jamur itu sudah menampakkan tubuh buahnya yang seperti tiram berwarna putih. Pada saat panen, hasilnya satu piring jamur Tiram siap dimasak oleh istriku.
“Wah, lumayan buat makan siang sayur jamurnya, Mas.” Ucap istriku melihat jamur segar yang berada di atas piring yang siap untuk dimasak.
“Iya, kalau dimasak menjadi sayur jamur yang pedas, pasti aku suka, apalagi nasinya baru menanak. Pasti aku akan menghabiskan nasi lebih dari satu piring,” sahutku.
Istriku pun memasak jamur segar itu. Aku menungguinya sambil bermain dengan si Mbarep, anakku yang berumur tujuh tahun. Sementara si bungsu yang berumur setahun sedang tidur di kasur yang berada di kamar belakang. Kedua anakku laki-laki.
Sebelumnya aku mengontrak rumah di luar kota bareng istri ketika awal menikah karena mengikuti tempat kerjaku di luar kota. Namun, ketika aku pindah kerja di tempat yang dekat dengan rumah orang tua istriku, kami pun pindah menempati rumah orang tua istriku. Aku dan istriku menempati rumah bagian depan, sementara orang tua istriku menempati bagian belakang. Hanya sekat tembok dengan pintu yang tidak terkunci yang membatasi rumah bagian depan dan rumah bagian belakang. Dan beberapa tahun kemudian aku membuat kamar mandi sendiri agar tidak mengganggu orang tua istriku. Dan di dekat kamar mandi itu aku letakkan dua buah baglog yang ditumbuhi jamur. Aku melihat baglog yang satu juga mulai tumbuh jamur yang baru berumur satu hari menyusul baglog satunya yang jamurnya sudah dipanen. Melihat jamur itu aku seperti melihat diriku sendiri. Terkadang aku memiliki keinginan untuk membeli tanah dan membangun rumah sendiri. Bukannya kami tidak hidup harmonis tinggal dalam satu rumah dengan orangtua istriku. Namun, aku merasa akan lebih nyaman tinggal mandiri di rumah sendiri bareng anak istri. Namun aku masih mencoba memegang komitmen yang diucapkan istri ketika aku mengajaknya menikah.
“Tapi Mas harus tinggal di rumah ini,” ucap istriku kala itu. Aku pun mengiyakannya. Aku memegang komitmen itu sampai saat ini, sampai usia pernikahan sudah sembilan tahun.
“Mas, ini sayurnya sudah matang!” seru istriku. Aku yang sedang melamun agak kaget. Si Mbarep sedang asyik sendiri bermain game yang ada di HP android milik ibunya.
“Ayo kita makan!” seruku.
Aku mengambil nasi dan mencoba sayur jamur yang baru dimasak istriku. Rasanya memang nikmat.
Aku berencana akan membudidayakan jamur Tiram bulan depan. Sebagai hiburan ketika penat urusan pekerjaan. Semoga keinginan dan rencanaku ini dapat terlaksana bukan sekadar keinginan semata. []
Banyumas, 1 Januari 2017

Share:

Sabtu, 17 Desember 2016

Giliran


 Cerkak daning Agus Pribadi

Saben malem jemuah neng lingkungan umahe inyong ana kegiatan sing jenenge giliran, ya kuwe giliran maca yasin lan tahlil. Ndongakna maring leluhur sing wis mantuk dening alam kubur, moga-moga dosa-dosane dengapure dening Gusti Pangeran.
Gambar Pixabay.com
Jan-jane nek deetung ana 40an kepala keluarga neng lingkungan RT, ningen sing aktif melu giliran antarane mung separo yakuwe wong 20an. Pancen angger ora deniati sekang ati sing paling jero kanggo ngibadah rasane kayong abot banget angger teka giliran turut umah saben malem jemuah. Apa maning angger agi kesel merga awane nembe kerja abot, utawane angger agi udan deres lan hawane atis banget. Kepengine ngaso prei disit. Ningen ya anu wis dadi kesepakatan bareng dadine tumrape anggota giliran sing wis kulina ya kudu tetep mangkat.
Saben mangkat giliran ana iuran anggota telungewu perak kanggo ngisi kas karo konsumsi nggo sing agi kebagian kanggonan giliran. Banjur ana iuran dansos rongewu perak. Dansos kuwe ancase kanggo tuku keperluan wong mati yakuwe ana mori, kapur barus, sabun adus, lan liya-liyane.
“Dansos kiye ancase ben awake dhewek wis siap angger ana kebutuhan nggo wong sing depundut neng Gusti Pangeran sewektu-wektu,” kaya kuwe ngendikane pak RT dong ana giliran malem jemuah wingi neng nggone kaki Dipa. Senajan kerjane serabutan kadang-kadang ngarah rongsok, kaki Dipa kelebu salah siji anggota giliran sing paling sregep mangkat. Kena dearani kaki Dipa mangkat terus saben-saben malem jemuah. Dong ana udan barat kaki Dipa tetep mangkat mbangkane anggota sing mangkat mung wong wolu. Kaki Dipa uga wis lunas mbayar dansos kanggo setaun mbangkane nembe wulan januari. Malem minggu wingi kaki Dipa aweh duwit patlikur ewu kanggo mbayar dansos.
“Kiye dansose tek bayar setaun sisan. Inyong mau nembe adol rongsok olih mandan akeh,” omonge kaki Dipa karo nylonongna duwit patlikur ewu maring kaki Karta sing dadi bendahara.
Malem jemuah kiye langite katon semanger. Ora udan ora mendung. Wulan neng langit bunder lan cemlorot banget sinare. Atine inyong katon bombong banget mergane malem kiye gilirane neng umahe inyong. Bubar ngisa wong-wong wis padha kumpul kejaba kaki Dipa.
“Kaki Dipa urung mangkat ya?”
“Iya embuh kenang apa.”
Wong-wong pada takon, ora tau-taune kaki Dipa urung keton mbangkane wis mandan wengi, gilirane wis arep dewiwiti.
Inyong uluk salam. Miwiti acara giliran neng umahe inyong. Banjur inyong nyambut nganggo basa banyumasan. Senajan basane dhewek ningen nyambut nganggo basa banyumasan kayong mandan angel mergane inyong lewih sering nganggo basa Indonesia angger nyambut neng ngarepe wong akeh. Senajan mandan gratal gratul inyong tetep nyambut nganggo basa banyumas.
“Maturnuwun atas rawuhipun panjenengan kabeh, moga-moga dadi amal ibadah sing apik...” Inyong ora kelalen ngucapna maturnuwun kanggo wong-wong sing wis pada teka.
***
Bubar jemuahan, inyong desamper neng kaki Karya.
“Ayuh pada tilik kaki Dipa sing agi mriyang.”
“Mriyang apa, Ki?” inyong kaget nembe ngreti nek kaki Dipa mriyang.
“Jere dadane sesek, sekiye opname neng rumah sakit.”
Inyong karo kanca-kanca banjur mangkat maring rumah sakit. Kaki Dipa lagi turu njrengkanang irunge detambahi oksigen sing desalurna sekang tabung nganggo selang maring irunge. Nini Bayi, bojone kaki Dipa memblep-memblep nahan luhe sing arep tiba sekang mripate.
“Sing sabar ya, Yu,” semaure kaki Karya nglipur maring wong sing agi nanggung beban abot.
Bali sekang rumah sakit, inyong ngelamun ana neng sedawane dalan bali maring ngumah. Inyong ndonga muga-muga kaki Dipa bisa waras maning lan bisa melu giliran kaya biasane. Pancen angger ndeleng tanda-tandane apa baen sing urip ya bakalan arep mati, arep pada bali maring rohmatulloh. Wit pring sing wis tua detegor, ana anake maning sing tukul lan dadi wit pring maning, kaya kuwe seteruse. Ana kucing sing manak. Beyunge kucing sing wis tua mati penyakiten utawane kenang musibah ketabrak montor utawane mobil. Cecek pada ngendog endoge netes dadi anak cecek banjur gede nggenteni biyunge sing mati kejempit lawang utawane sebab liyane. Wong sing wis pengantenan pada nduwe anak banjur anake pada gede nggo nggenteni wong tuwane nek wis seda. Ningen babagan umur menungsa utawane makhluk urip liyane ora pandang umur. Ana kalane sing enom depundut disit neng Guti Pangeran tenimbang sing tuwa. Contone Putune kaki Karya seda dong agi nembe lair.
***
Malem jemuah ngarepe gilirane neng umahe kaki Karya, Kaki Dipa tetep urung mangkat. Dong acara arep dewiwiti keprungu ana wara-wara sekang mesjid sing ana neng pojok dusun. Wara-wara kuwe jebule kabar lelayu nek kaki Dipa wis depundut neng Gusti Pangeran jam pitu mbengi neng rumah sakit.
Wong-wong pada ngucap “inna lillahi wa inna ilaihi raji’ung...” bar kuwe banjur pada ndingkluk meneng antarane ana rong menitan. Ndean-ndeane pada kaya inyong. Merenungi babagan wong urip neng alam dunya mung nunggu giliran kapan lan sapa disit sing depundut neng Gusti Pangeran. Angger wis titi mangsane ora ana sing bisa nyegah. Merga kuwe wong urip kudu tetep eling maring sing gawe urip lan nyiapna apa baen sing kena kanggo bekal mangkat maring alam sing arep teka, termasuk nyiapna ubo rampe kanggo ngurus jenazah.[]
Banyumas, 31 Januari 2016

Keterangan :
Naskah kiye versi asli sedurunge demuat neng majalah Ancas Kalawerta Penginyongan nomer 79-Taun VII/12-2016

Share:

Sabtu, 12 November 2016

Sepeda Motor


Cerpen Agus Pribadi

Satu-satunya kendaraan yang menjadi andalanku saat ini adalah sepeda motor bebek milikku yang kubeli dengan cara mengangsur selama empat tahun. Kendaraan tersebut paling cocok karena tempat kerjaku jauh. Naik angkutan umum bisa terlambat, naik mobil pribadi belum mampu membeli.

Aku lebih memilih motor yang bukan matic karena menurutku memindah-mindah gigi lebih mantap daripada tanpa gigi seperti yang ada pada motor matic.
Selama empat tahun dengan telaten aku mengangsur sepeda motorku setiap bulannya. Uang setengah juta harus kusetor setiap bulan ke dealer motor. Seperti penulis yang telaten menulis buku yang sangat tebal, aku juga harus telaten mengangsur pembayaran kendaraanku agar tidak dicabut oleh dealer karena terlambat mengangsur. Ada seorang tetangga yang motornya dicabut dealer karena terlambat beberapa bulan padahal ia sudah mengangsur selama setahun. Aku tak mau nasib motorku sama seperti tetanggaku itu.
Aku membeli sepeda motorku, tepatnya mengangsurnya bertepatan dengan sebulan sebelum hari pernikahanku. Mungkin bisa dibilang agak nekad, pengeluaran sedang agak banyak untuk persiapan menikah, bersamaan dengan itu harus mengangsur sepeda motor. Ini semata kulakukan karena aku ditempatkan di tempat yang jauh pada pekerjaanku yang baru ini. Jika ditempuh naik sepeda motor, maka butuh waktu 50 menit untuk aku sampai ke tempat kerja. Jika aku naik kendaraan umum pasti setiap hari akan terlambat karena harus beberapa kali naik kendaraan umum.
Seperti seorang yang mengendarai sepeda motor di jalanan umum. Pasti kendaraannya akan mengalami kecepatan yang berbeda beda. Kadang bisa cepat, kadang harus mengerem karena ada yang menyeberang jalan, kadang harus berhenti karena lampu merah. Pun dengan angsuranku setiap bulannya, tidak selalu berjalan mulus terutama di bulan-bulan awal. Kadang terlambat satu atau dua hari, kadang lancar. Jika sedang terlambat, akan ada petugas yang datang menagih. Setelah melewati enam bulan, angsuran sepeda motorku berjalan lancar seperti mobil yang melaju di jalan tol. Sebagai pegawai yang bekerja di tempat yang baru, aku giat bekerja, apalagi aku sudah menikah maka bertambah giatlah aku bekerja untuk menghidupi istri dan anakku kelak. Penghasilanku pun linier dengan semangatku itu. Angsuran sepeda motor tak sebulan pun terlambat aku setorkan ke dealer. Aku pun rajin melakukan servis kendaraan ke bengkel resmi, jika ganti suku cadang pun yang asli.
Panas dan hujan tak aku hiraukan, aku tetap rajin bekerja. Sejalan dengan itu aku tak menyadari, sepeda motor sudah semakin usang. Kendaraan yang pada awalnya baru dan kinclong, sekarang sudah seperti kendaraan yang uzur dan jarang kurawat. Meski angsuran sudah lunas, problem kendaraanku sekarang adalah sudah sulit dipakai, mungkin karena suku cadangnya sudah minta untuk diganti tapi aku belum juga menggantinya. Kalaupun mengganti onderdil yang aus, aku menggantinya bukan dengan yang asli. Ditambah lagi sekarang aku sering mengantuk saat pulang dari tempat kerja. Mungkin karena lelah ditambah melakukan perjalanan jauh di atas sepeda motor terkadang membuat mengantuk.
Mengenai sepeda motor ada yang menyarankan untuk menjualnya dan menggantikan dengan yang baru.
“Dijual saja, nanti beli yang baru biar kau lebih nyaman dalam berkendaraan,” saran teman kantorku. Aku hanya mengiyakan namun dalam hati aku tak tega untuk menjual sepeda motor yang mendapatkannya harus mengangsur selama empat tahun. Suatu malam aku mengamati sepeda motorku yang aku parkir di ruang tamu. Aku mengamati kendaraan yang kotor karena jarang dicuci. Aku melihat kendaraan itu seperti letih, menemaniku selama lebih dari empat tahun pulang pergi dari rumah ke tempat kerja. Aku merasa tak adil dalam memperlakukan kendaraanku. Esoknya aku menuju ke tempat cucian motor untuk dibersihkan. Biarpun sudah dibersihkan motorku tetap tampak sudah uzur jika dibandingkan dengan motor-motor baru keluaran baru. Apalagi saat kujalankan sudah sulit untuk berjalan dengan cepat. Terbersit keinginan untuk menjualnya dan membeli motor baru sebagai penggantinya. Motor yang lebih up to date. Teman-temanku di kantor pun menyarankanku untuk membeli motor yang baru dan menjual motor lama.
“Ayo Bud, beli motor baru yang lebih gaul, nanti kau akan tampak lebih muda lagi, pasti kau akan tampak keren jika memakai motor model terbaru,” ucap temanku di kantor. Aku menanggapi dengan tersenyum saja.
Sambil mengamati cicak-cicak di dinding kamar, aku menimbang-nimbang apakah akan membeli motor baru atau tidak. Seekor cicak di dinding juga sedang bingung mengambil keputusan apakah akan menangkap nyamuk atau meninggalkannya. Sedari tadi cicak itu diam saja melihat seekor nyamuk berada di depannya. Ketika cicak itu akan menangkap nyamuk itu, sepersekian detik sebelumnya nyamuk itu sudah melarikan diri. Cicak itu hanya menangkap angin.
Akhirnya aku mengambil keputusan untuk tidak menjual motor lamaku, dan tidak membeli motor baru. Aku memutuskan akan mengganti onderdil yang perlu diganti agar motorku bisa menjadi lebih baik dan nyaman saat dipakai.[]
Banyumas, 22 Maret 2016


Share:

Swara


Cerpen Agus Pribadi

Aku menyesal kenapa harus menanyakan hal itu kepada muridku. Sebagai wali kelas aku terpaksa menanyakan itu untuk suatu keperluan data sekolah di mana aku bekerja.
“Siapa yang tinggal bersama orang tua kandung?”
“Siapa yang tinggal bukan dengan orang tua kandung?”
Pada pertanyaan kedua itu, ada salah satu muridku yang bernama Swara melinangkan airmata.
Gambar Pixabay.com
“Pak, Swara menangis,” ucap Tekun teman sebangkunya. Awalnya aku tak mengetahui kenapa Swara menangis, baru satu minggu aku menjadi wali kelasnya sehingga aku belum tahu latar belakang keluarganya. Yang aku tahu waktu orientasi siswa baru, Swara yang nama lengkapnya Swara Prakasa itu tampil ke depan menyanyikan sebuah lagi. Suaranya amat merdu membuat teman-teman dan para guru yang mendengarnya terkesima. Saat tampil menyanyi di depan teman-temannya, Swara sangat percaya diri. Dalam bernyanyi, ia penuh penghayatan dan menguasai panggung. Itu sebabnya aku tak percaya ketika melihat Swara melinangkan airmata.
Saat istirahat, aku memanggil Swara ke ruanganku.
“Saya minta maaf jika pertanyaan saya tadi membuatmu bersedih, Swara?”
“Tidak apa-apa, Pak,” Swara kembali melinangkan airmata dan berusaha mengusapnya dengan tangannya.
“Saya boleh tahu kenapa kamu bersedih?”
Dengan perlahan Swara menceritakan tentang keluarganya. Sambil mengusap airmatanya yang terus mengalir, Swara menceritakan bagaimana ia harus berpisah dengan ibu kandung yang sangat disayanginya. Ibunya meninggalkannya ketika ia berusia lima tahun. Ibunya pergi ke kota dan tidak pernah kembali. Saat Swara besar, ia kerap mendengar selentingan orang-orang kalau ibunya menikah lagi dengan orang lain. Sebagai anak lelaki semata wayangnya, Swara merasa kecewa dengan kelakuan ibunya itu. Swara dibesarkan oleh ayahnya sampai saat ini. Ketika malam hari Swara kerap bermimpi melihat ibunya sedang berjalan bersama lelaki lain yang bukan ayahnya. Bahkan dalam mimpinya itu, ibunya menggendong seorang anak balita yang bukan dirinya. Swara memanggil-manggil ibunya, namun ibunya hanya melambaikan tangan dan meninggalkannya.
Ketika bersekolah di SD, Swara terlihat bakatnya dalam bidang tarik suara, sedangkan di bidang akademik prestasi Swara biasa saja. Guru keseniannya dapat menangkap bakat menyanyi yang ada pada Swara. Swara dibimbing dengan tekun oleh gurunya itu berlatih olah vokal. Dan kerja keras keduanya pun mulai membuahkan hasil. Awalnya Swara mengikuti lomba menyanyi tunggal di kecamatan dan meraih juara dua. Dan di tahun-tahun berikutnya ia banyak mengukir prestasi dalam bidang menyanyi baik di tingkat kecamatan, kabupaten, bahkan provinsi. Piala-piala terpajang rapi di lemari rumah. swara sangat ingin memperlihatkannya pada ibu kandungnya, namun ibunya itu tidak juga pulang ke rumah. ketika swara kelas tiga SD, ayahnya menikah lagi dengan seorang perempuan yang sangat menyayangi swara layaknya anak kandungnya. Meskipun demikian Swara tetap terkenang-kenang pada ibu kandungnya.
Aku melihat swara bercerita kepadaku dengan tulus dan murni. Sepertinya tidak ditambah-tambah atau dikurangi. Aku mendengarkannya dengan seksama.
“Kamu yang tegar dan tabah ya. semoga kelak kau dapat bertemu dengan ibumu.” Aku memberinya semangat setelah ia selesai bercerita.
Hari-hari yang berlalu dilalui murid-murid kelasku, kelas 7 F dengan bersemangat, termasuk juga swara. Ketika acara perwalian aku mengisinya dengan motivasi yang aku berikan agar murid-muridku bersemangat dalam belajar dan mengukir prestasi. Seperti sebuah novel yang pernah saya baca yang mengandung ungkapan yang memberi semangat, yakni “man jadda wa jada” dalam novel yang berjudul Negeri 5 Menara” karya Ahmad Fuadi.
“Anak-anak, jika kita bersungguh-sungguh maka akan berhasil,” ucapku memberi suntikan semangat pada mereka. Murid-muridku pun tampak antusias di lihat dari duduknya yang agak condong ke depan.
Ketika ada lomba antar kelas, murid-muridku mempersiapkannya dengan baik, khususnya dalam perlombaan menyanyi secara beregu. Swara tampak aktif memberi masukan pada teman-temannya dalam hal olah suara dan gaya pada saat menyanyi. Dan hasilnya kelas kami menjadi juara satu. Tubuh Swara yang agak kecil diangkat oleh teman-temannya, demikian mereka mengekspresikan kemenangannya.
Ketika kenaikan kelas, Swara tidak mendapatkan ranking, namun banyak prestasi yang dicapainya di bidang menyanyi. Swara menyumbangkan lima piala lomba menyanyi kepada sekolah.
Tahun ajaran baru, swara kembali menjadi bagian dari kelas dimana aku menjadi wali kelasnya, yakni kelas 8C. Belum genap sebulan menjalani kelas barunya Swara sudah beberapa hari tidak masuk tanpa keterangan apapun. Saat aku berkunjung ke rumahnya, hanya neneknya yang menemuiku.
Menurut neneknya, Swara minta di antar ayahnya ke Jakarta untuk menemui ibu kandungnya. Aku pun menyayangkan orangtua swara yang tidak membuat surat ijin untuk anaknya. Seminggu sudah swara tidak masuk tanpa surat ijin. Mungkin swara sudah pindah sekolah di Jakarta.
Hari senin pagi aku terkejut karena swara berangkat kembali ke sekolah. Dan ia menemuiku meminta maaf karena surat ijin yang sudah dibuat ternyata tertinggal di tas teman yang dititipi surat itu. Di Jakarta Swara telah bertemu ibu kandungnya,dan berjanji pada ibunya itu akan terus berprestasi agar menjadi anak kebanggaan orang tua.
Aku bersyukur, swara bisa kembali bersekolah menggapai cita-citanya yang tergantung di langit.[]
Banyumas, 12 Maret 2016

Share:

Tak Ada Ide


Cerpen Agus Pribadi

Sebagai pengarang yang mulai naik daun, hari ini aku merasa heran. Tak ada ide. Sudah kucoba mencarinya, namun tak juga kumenemukannya. Aku mencoba keluar rumah, pergi ke sawah, naik sepeda, mengunjungi saudara. Tetap saja tak ada ide.
Gambar Pixabay.com
Entahlah mungkin karena hari ini aku begitu sibuk. Tadi malam ada yang mengundangku jadi pembicara seputar kepenulisan. Pulangnya kehujanan. Ya, mungkin itu salah satu penyebabnya. Tapi belum tentu juga. Aku tak boleh menyalahkan sesuatu di luar diriku. Aku harus menemukan ide. Jangan sampai aku kembali tenggelam gara-gara tak menemukan ide.
Biasanya aku menulis dengan mudah, melihat orang ditepi jalan saja bisa kujadikan ide menulis cerita. Melihat foto profil Facebook juga bisa menjadi ide cerita. Seakan-akan dunia ini dipenuhi dengan cerita. Menuliskannya pun sangat mengalir seperti air yang mengalir pada pipa besar bebas hambatan. Seperti air terjun yang airnya mengalir deras ke bawah.
Dan hari ini aku benar-benar menyerah. Aku sudah mengunjungi salah satu pakar cerpen yang kebetulan juga temanku.
“Apa harus menulis setiap hari?” tanya Bondan, temanku yang juga pakar cerpen.
“Ya tidak harus sih. Tapi aku kan sedang mencoba menulis setiap hari.”
“Bisa saja menulis setiap hari, tapi kan tidak harus dipaksakan.”
“Jadi saranmu padaku?”
“Ya, itu tadi.”
Aku meinggalkan temanku ketika aku belum paham benar apa yang dia ucapkan, seperti ia tidak mendukungku. Dia ingin aku yang wajar-wajar saja, tapi aku ingin berarya sebanyak-banyaknya.
Esok harinya aku kebali mencoba mencari ide. Tadi malam aku tidur nyenyak dengan harapan esok paginya pikiranku segar kebali dan ide akan berdatangan. Tapi harapanku itu tak juga menjadi kenyataann. Pagi hari yang sejuk tak juga muncul ide sampai matahari mulai malu-malu memancarkan sinarnya. Aku kembali mencoba mencari ide. Aku mondar-mandir di depan rumah seperti orang sedang memikirkan sesuatu yang berat.
“Hei, Di. Apa yang sedang kau pikirkan tampaknya kau begitu serius?” tanya Anto temanku sejak kecil.kebetulan ia sedang lewat rumahku, pulang dari warung.
“Tak memikirkan apa-apa, To,” sahutku santai.
Aku pun pergi ke pantai. Melihat lautan yang luas. Aku bertanya pada diri sendiri. kenapa pikiranku tak seluas lautan itu? aku tak mampu menampung ide-ide yang sebenarnya banyak sekali namun menjadi tidak ada karena mungkin pikiranku yang terlalu sempit. Andai pikiranku seluas lautan itu pasti aku akan menulis cerita sebanyak-banyaknya.
Ketika aku melihat debur ombak membentur batu karang, aku iri pada batu karang yang dengan teguh bertahan dari hempasan ombak. Sementara aku, merasa kesulitan menemukan ide dan belum mampu mengatasinya.
Aku menyewa sebuah perahu, bersama pemilik perahu aku mengarungi lautan. Indah sekali pemandangannya. Namun aku tetap saja tidak menemukan ide. Padahal aku melewati tanaman bakau yang indah. Ada burung-burung di atasnya. Ada kepiting di tepian.
Aku pulang ke rumah dengan pikiran hampa. Pada hari ketiga sejak aku merasa tak menemukan ide, tetap saja aku tak memiliki ide. Aku membaca-baca lagi karya-karyaku yang sudah dimuat di koran-koran. Cerpen-cerpen yang aku tulis dengan mudah, hanya dengan melihat sesuatu saja, pada waktu itu, bisa aku tuliskan menjadi sebuah cerpen yang menawan.
Aku juga membaca cerpen-cerpen karya penulis lain baik yang ada di koran, maupun yang ada pada buku antologi baik yang tunggal ataupun yang banyak orang. Tulisan-tulisan mereka umumnya bagus, diksinya kaya, ceitanya enak dinikmati dan diresapi maknanya. Aku suka penulis-penulis dalam negeri baik yang sudah lama berkecimpung maupun yang belum lama.
Pada hari ketujuh tanpa ide, kebetulan hari minggu, aku benar-benar tak peduli lagi dengan ide. Aku memutuskan akan istirahat tanpa menulis di rumah saudara. Aku tak membawa laptop. Aku juga tak membawa android. Aku tak berkesempatan lagi untuk menulis apa-apa. Aku akan santai-santai saja di rumah saudara.
“Kenapa kau tak membawa laptop? Biasanya kau membawa laptop saat kemari, apa karena kau tak cinta lagi sama menulis? Baru setahun dua tahun kau menulis tapi sepertinya kau merasa sudah cukup ilmu,” tanya saudaraku yang juga sesekali menulis cerpen atau puisi ke media, ada yang dimuat tapi banyak yang ditolaknya juga.
“Aku tetap cinta menulis, hanya saja aku ingin beristirahat sehari ini.”
“Bagus itu, itu berarti kau tak egois hanya memikirkan diri sendiri. ada orang di sekitarmu juga butuh perhatianmu, misalnya anak dan istri. Mereka juga memiliki hak untuk bisa berkomunikasi denganmu secara langsung tanpa disertai dengan melakukan aktivitas lain, mengetik misalnya.
Dan ketika aku benar-benar mulai menerima atas tak adanya ide itu, muncullah ide menulis cerita. Aku mencari-cari laptop. Biasanya begitu ide ketemu aku langsung membuka laptop dan berusaha mengetik ide itu dan menjadikannya cerita. Kali ini tak ada fasilitas yang bisa kugunakan untuk menulis cerita. Semua ada di rumah. aku enggan mengambilnya karena jaraknya sekitar 40 km. Akhirnyal ide yang kudapatkan kembali menguap. Aku seperti menjadi pengarang tanpa karya.
Banyumas, 30 Maret 2016

Share:

Telfon Genggam


Cerpen Agus Pribadi

Sejak masih kuliah aku sudah memiliki telfon genggam. Dulu aku gunakan untuk mengirim dan menerima pesan singkat, juga berkomunikasi dengan suara.
Gambar Pixabay.com
Masih ingat dulu pernah menggunakan kartu perdana luar wilayah sehingga menerima panggilan pun harus membayar. Atau ketika ayah menggunakan alat komunikasi itu dengan cara yang salah sekaligus lucu, yakni saat berkomunikasi tidak meletakkan telfon genggam di telinga melainkan di dada, atau secara bergantian di mulut dan telinga. Sejak pertama memiliki telfon genggam, alat itu langsung akrab denganku. Kemanapun aku membawanya, saat tidur aku letakkan di atas kasur. Saat ke kamar mandi aku letakkan di lubang angin yang ada di kamar mandi. Jika sedang tidak memiliki pulsa, waktu yang terlewati terasa hampa. Saking seringnya berurusan dengn telfon genggam dan pulsa maka aku sempat berjualan pulsa. Bukan konter yang mewah, namun sekadar warung pulsa dengan modal kecil-kecilan. Keuntungan seribu dua ribu rupiah aku telateni, meskipun penggunaan pulsa terkadang kurang terkendali. Apalagi waktu itu aku masih bujangan. Terkadang menelfon seseorang sampai berjam-jam. Seringkali dalam menelfon memilih waktu tengah malam karena di jam-jam itu sedang ada bonus nelfon gratis. Atau juga menelfon beberapa detik lantas diputus kemudian diulang lagi dan diulang  lagi agar tidak terkena biaya pulsa. Atau dalam mengirim pesan singkat dengan cara menulis pesan tanpa ada spasi sekaligus dengan kata yang disingkat, antar kata dibedakan dengan huruf kecil dan huruf besar. Jika sedang tidak punya pulsa, alat itu pun bisa digunakan untuk menikmati permainan. Permainan yang paling aku suka adalah ular yang memakan sesuatu agar bertambah panjang. Waktu itu terasa senang sekali berdekatan dengan alat komunikasiku itu.
Waktu itu tidak hanya aku yang lengket dengan telfon genggam. Orang-orang pun ke mana-mana membawa telfon genggam. Pengendara motor pun ada yang nelfon sambil mengemudi sepeda motor. Waktu itu kalau nada dering telfon genggam berbunyi yang aneh atau unik akan membuat kagum orang yang mendengarnya.
“Itu Pak Anu telfon genggamnya berbunyi suara ayam jago yang sedang berkokok,” kata kawanku.
Sementara itu para operator seluler berlomba-lomba menarik pelanggan dengan iklan-klan yang menarik. Sampai-sampai ada yang bertanya padaku saat aku masih berjualan pulsa.
“Pulsa yang paling murah itu apa?”
“Yang paling murah ya ketemuan langsung, dijamin bisa ngobrol sepuasnya tanpa harus membayar pulsa,” jawabku dengan nada bercanda. Orang yang bertanya itu tersenyum sambil manggut-manggut.
***
Saat ini ketika aku sudah menikah dan memiliki dua anak balita, aku tetap lengket dengan telfon genggam. Hanya saja sekarang aku sudah jarang menelfon, kecuali jika sangat penting. Aku lebih sering menggunakan pesan singkat. Istriku pun tak terlalu suka menggunakan telfon genggam. Saat keluar rumah, ia sering meninggalkan alat komunikasi itu di dalam rumah. Namun dengan menjamurnya media sosial membuat daya tarik telfon genggam kebali melekat denganku. Setiap detik hampir tak ingin kulewatkan untuk melihat status yang ada media sosial itu.
Sekarang media sosial tidak hanya digunakan untuk komunikasi informal saja, melainkan juga dimanfaatkan untuk dunia kerja. Memang memudahkan komunikasi namun belum semua orang menggunakan media itu. saat ini pemandangan orang sedang menggunakan telfon genggam dengan berbagai fasilitas tambahannya terlihat di mana-mana. Bahkan orang yang sedang bercakap-cakap pun seringkali juga berbarengan dengan tangannya mempermainkan tombol-tombol alat komunikasi itu, sementara matanya juga tertuju pada layar telfon genggam. Seolah-olah tak ada waktu berlalu tanpa memegang telfon genggam. Seperti juga aku yang selalu berdekatan dengan alat komunikasi itu. aku kerja di tempat yang cukup jauh dari rumahku. Berangkat pagi pulang sore. Ketika berangkat terkadang anak masih tidur, ketika pulang sudah sore hari. Sebentar saja sudah malam dan anak kembali tidur. Demikian setiap hari, kecuali saat libur bisa berkumpul dengan keluarga sepanjang hari. Namun ketika aku renungi ternyata saat bersama mereka pun aku tetap masih lengket dengan telfon genggam. Saat menunggui anak keduaku yang belum genap setahun, aku gunakan juga untuk memainkan tombol-tombol yang ada di telfon genggam. Aku memang menunggui anakku yang sedang tidur saat istriku pergi ke warung, namun aku tetap menengok media sosial, menulis atau membaca status baru. Aku kadang bertanya dalam hati lebih dekat mana aku dengan anakku atau aku dengan telfon genggam?
Suatu hari aku bertekad untuk tidak menggunakan telfon genggam terlalu sering. Aku jarang mengisi pulsa banyak. Aku jarang menelfon dan mengirim pesan singkat. Aku juga jarang membuka media sosial lagi. Aku merasa lebih tenang dan lebih bebas tanpa telfon genggam meski terkadang ada perasaan menggebu ingin menulis dan membaca status di media sosial.
Sudah lebih dari seminggu aku merasa terbebas dari ketergantungan menggunakan telfon genggam. Namun pengumuman atasanku di kantor membuatku kaget. Atasanku mewajibkan untuk bawahannya menggunakan media sosial untuk komunikasi masalah pekerjaan. Grup media sosial sudah dibuatnya dengan tujuan untuk komunikasi masalah kantor. Aku kembali tenggelam dengan telfon genggam.[]
Banyumas, 4 Maret 2016

Share:

VIDEO PEMBELAJARAN

Frequency Counter Pengunjung

Artikel Terbaru

LINK SAYA

Komentar Terbaru

Konsultasi IPA