BELAJAR SEPANJANG HAYAT


Catatan Harian Seorang Guru IPA







Selamat berkunjung di blog kami, semoga bermanfaat
Tampilkan postingan dengan label cerkak. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label cerkak. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 24 November 2018

Dari Prasasti Sukabumi ke Antologi Doresani

Dari Prasasti Sukabumi ke Antologi Doresani

Oleh Jefrianto

Tata Gelar Kesusastraan Jawa
Pada tahun 1916, sebuah batu tulis ditemukan di Kediri. Lebih tepatnya pada sebuah perkebunan kopi di daerah Sukabumi, Pare. Batu bertulis tersebut kemudian dialih-aksarakan oleh seorang ahli purbakala bernama Stein Callenfels. Alih-aksara tersebut lalu diterbitkan dengan judul De Inscriptie van Soekaboemi (Inskripsi Sukabumi). Belakangan, ia lebih dikenal sebagai Prasasti Sukabumi alias Prasasti Harinjing.
Lalu, apa yang istimewa dari Prasasti Sukabumi?
Ia terasa istimewa, sebab oleh para peneliti purbakala dikukuhkan sebagai bukti tertua mengenai bahasa Jawa Kuno. Sebuah bahasa yang konon dianggap piranti bahasa paling mula dari masyarakat Jawa. Dan sejak itulah, tarikh 732 Saka yang tertera pada Prasasti Sukabumi, menjadi tanda sayonara bagi masa pra-sejarah di Jawa.
Secara umum, suatu masyarakat pastinya akan melahirkan suatu kebudayaan. Maka dari itu, masyarakat Jawa Kuno pun menghasilkan karya sastra berbhasa Jawa Kuno. Kita mengenalnya sebagai kakawin. Sebuah karya sastra berbahasa Jawa Kuno, berbentuk puisi, yang masih kental dengan metrum sastra India. Kakawin kurang lebih hidup dngan aman dan makmur di Jawa selama 4 abad.
Setelah berlalunya kejayaan kakawin, lahirlah kidung. Karya sastra ini memang terasa lebih membumi sebab ia mulai menggunakan metrum-metrum yang diyakini berasal asli dari Jawa. Dan tahun demi tahun, masyarakat Jawa juga senantiasa berubah. Karya sastra yang lebih membumi lahir kembali dalam bentuk tembang macapat. Format ini bahkan masih sangat digdaya hingga hari ini. Sebab ia dipakai pada karya-karya sastra yang sifatnya “wajib” semacam Wulangreh, Wedhatama, dan Candrarini.
Barangkali perubahan besar pada kesusatraan Jawa dimulai sejak tahun 1832, ketika sebuah Lembaga Bahasa Jawa didirikan di Surakarta. Dari lembaga tersebut, karya sastra Jawa yang tadinya bernafaskan istana sentris, mulai membaur dnegan amsyarakat. Format macapat tidak lagi menjadi format tunggal dalam khazanah kesustraan Jawa.
Sebab, Jawa mulai mengenal karya sastra berciri budaya barat seperti novel dan puisi. Hingga kini, kesusastraan Jawa yang digambar sejak era kakawin itu ternyata juga selalu berubah. Beberapa dasawarsa yang lalu ia memang seolah-olah “hanya” berada di Yogyakarta dan Surakarta. Namun, dalam dasawarsa terakhir ini, ruh Jawa terasa ada di mana-mana. Ia ada di Jawa Banyumasan, Jawa Tegalan, Jawa Banyuwangi, Jawa Surabayan, dan sebagainya.
Ini dibuktikan dengan pemenang Hadiah Sastera Rancage, sebuah anugrah bagi sastra daerah yang digagas oleh Ajip Rosidi sejak tahun 1989, yang tak hanya berasal dari karya sastra berbahasa Jawa baku (dialek Yogyakarta-Surakarta). Pada tahun 2007, Ahmad Tohari membuka dialektika tentang Jawa Raya, dengan memenangkan Hadiah Sastera Rancage untuk karyanya, Ronggeng Dukuh Paruk Banyumasan.
Di situ, tanda tanya tentang Jawa yang heterogen memulai perjalananannya. Dan pertanyaan itu kian mengena manakala Lanang Setiawan memenangkan Hadiah Sastra Rancage untuk jasanya dalam mengembangkan bahasa Tegalan.
Lama-kelamaan, Jawa yang heterogen ternyata bukan sekadar pertanyaan. Ia, telah menjadi sebuah keniscayaan. Di tahun 2017, Mohammad Syaiful dari Banyuwangi kian menambah heterogenitas jagat sastra Jawa melalui karya berbahasa Usingnya, Agul-agul Blambangan, yang memenangkan Hadiah Sastera Rancage.
Dengan ini, kian jelaslah bahwa Jawa masa kini bukanlah Jawa yang terpusat. Seluruh manusia Jawa hari ini bebas berekspresi menggunakan bahasa ibunya sendiri. Ia bebas berkespresi, menuangkan gagasannya dan imajinasinya dalam bentuk karya sastra, tanpa harus menggunakan bahasa Jawa baku.
Jawa yang heterogen, Jawa yang baru. Itulah yang tersaji di hari ini. Maka tidak anehlah ketika di awal tahun 2018, seorang guru IPA bernama Agus Pribadi ikut merayakan “kebebasan” tersebut dengan menerbitkan sebuah antologi cerita cekak (cerkak) bebahasa Banyumasan dengan judul Doresani.
Wana-Carita pada Pagina-pagina Doresani
Doresani merupakan monumen, tetenger pencapaian karya seorang Agus Pribadi. Kisah-kisah dalam Doresani ditulis pada rentang 2013–2017(?). Karya ini seakan menggambarkan perjalanan Agus dalam berolah diri dan berolah rasa menggunakan bahasa ibunya.
Hampir keseluruhan cerita dalam Doresani merupakan cerita mengenai kehidupan rakyat jelata. Ada kisah mengenai guru yang hidupnya pas-pasan, seperti yang digelar dalam cerkak Ban Kempes. Ada pula kisah mengenai kehidupan petani beserta keluguannya seperti yang tergambar melalui cerkak Wedang Teh.
Biarpun tentang rakyat jelata, kisah-kisah dalam Doresani ternyata memiliki nuansa yang mampu membuat pembacanya merenung sejenak. Sebagaimana percakapan antara tokoh Inyong dan istrinya dalam cerkak Lilin:
“Kiye agi ngrasa ayem pisan kayong jaman gemiyen dhong agi urung ana listrik neng umah.”
“Iya ya, Kang. Kahanan kaya kiye malah kayong tenang pisan. Senajan lampune urung murub lan mung nganggo lilin, ningen malah neng ati kayong tenang lan padhang, ora krasa nggrungsang.
(Doresani, hal. 70)
Si tokoh Inyong dalam cuplikan di atas rasanya seperti penggambaran manusia masa kini. Manusia modern yang kerapkali dihantam rindu-dendam terhadap wujud-wujud hidup tradisional. Seakan-akan memang tidak ada ssuatu yang kukuh dalam hidup manusia. Atau dengan meminjam kalimat Goenawan Mohammad: tak ada yang absolut di dunia ini!
Rasa-rasanya, nilai-nilai itu menjadi suatu keunggulan tersendiri antologi Doresani. Sebab hal-hal macam demikian mampu menjadi suatu asupan solilokui bagi pembaca, khususnya mereka yang berbahasa ibu Banyumasan. Nelson Mandela pernah berujarr: Berbicaralah kepada seseorang menggunakan bahasa ibunya. Maka, apa yang kau ucapkan akan masuk ke dalam hatinya.
Selain menyajikan cerita, melalui kumpulan cerkaknya ini, rupa-rupanya Agus Pribadi juga mendedahkan berbagai varian kosakata bahasa Banyumasan terhadap pembaca. Sebagaimana yang telah dibahas di muka, bahwasanya Jawa itu tidak tunggal, Bnayumasan pun demikian. Orang Cilacap, jarang yang mengetahui arti dari kata macam doresani, clebek, ataupun kongang. Apalagi anak-anak berbahasa ibu Banyumasan masa kini. Mereka sudah tidak akarab lagi dengan bahasa-bahasa yang terkesan ndesa macam itu.
Dengan demikian, antologi Doresai secara tidak langsung adalah hadir upaya pemertahanan bahasa ibu di masa kini. Sebab, dewasa ini, bahasa ibu kian tergerus poisisinya oleh bahasa nasional dan internasional.
Biarpun demikian, cerita-cerita yang muncul dalam Doresani ini rasanya masih muncul sebagai purwarupa. Dalam artian bahwa cerita-cerita tersebut sebenarnya masih bisa dikembangkan dan diolah kembali sehingga menjadi sebuah karya sastra yang lebih sublim.
Memang, salah satu kelemahan umum dari karya sastra berbahasa daerah adalah kerapkali ia muncul sebagai sesuatu “uneg-uneg” yang disampaikan menggunakan bahasa ibu. Sangat jarang, sebuah karya sastra sastra berbahasa aerah, utamanya yang berformat cerita, menggunakan teknik & strategi bercerita layaknya cerita pendek berbahasa Indonesia.
Sungguh sangat diharapkan, Agus Pribadi akan terus berkarya dan mendarmabaktikan pengetahuan, pengalaman, dan imajinasinya dalam berolah diri menggunakan bahasa ibunya sendiri. Sehingga pada akhirnya nanti, karya sastra berbahasa Banyumasan yang sublim, yang “meneror” pembaca, akan lahir dari tangannya.
Kecuali itu, secara gramatikal Doresani masih perlu disempurnakan. Karena kerap dalam pembacaaan yang dilakukan, masisih ditemukan berbagai kosakata yang masih “Indonesia” sekali. Namun demikian halnya, hal tersebut bisa diatasi suntingan untuk cetakan buku berikutnya.
Sejatinya, yang tak kalah penting dari Doresani adalah kehadirannya pada hingar bingar bernama semangat nguri-uri budaya. Di saat banyak orang sibuk berkampanye untuk nguri-uri budaya, ternyata seorang Agus Pribadi dengan kalemnya menyodorkan karya sastra berbahasa Banyumasan kepada masyarakat. Tanpa harus berkoar-koar, Agus Pribadi, jelas, melalui Doresani, tampil sebagai kridawan budaya yang mumpuni!
Kehadiran Doresani bisa dianggap sebagai sumbangan penting bagi khazanah kesusastraan Jawa. Ia hadir untuk menambah kesemarakan pada khazanah sastra Jawa. Tentu saja bukan sastra Jawa yang itu-itu saja. Yang kerap kali ditemui dalam bahasa Jawa dialek Yogyakarta-Surakarta.
Sastra Jawa masa kini adalah sastra Jawa yang disokong oleh bahasa ibu pengarangnya. Ia kini tak lagi harus takluk pada bahasa Jawa baku. Belum banyak karya sastra Jawa yang menggunakan bahasa Jawa non dialek Yogyakarta-Surakarta, utamanya yang sudah beruwujud buku.
Sangat diharapkan bahwasanya Antologi Doresani akan mampu memantik bagi para sastrawan di Banyumas yang menulis dalam baahsa ibunya sendiri, untuk kemudian menerbitkan buku. Sebab, seperti kata Suparto Brata, sang begawan sastra Jawa, sastra itu buku. Ia tak hanya untuk kita di masa ini. Ia akan diwariskan kepada anak cucu. Merekalah pelanjut semangat, pelanjut laku-budaya dalam dunia yang semakin kikis batasnya ini.
Esai ini disampikan pada Bedah Buku Doresani karya Agus Pribadi di Universitas Muhammadiyah Purwokerto, April 2018.

Sumber: Medium.com
Share:

Sabtu, 17 Desember 2016

Giliran


 Cerkak daning Agus Pribadi

Saben malem jemuah neng lingkungan umahe inyong ana kegiatan sing jenenge giliran, ya kuwe giliran maca yasin lan tahlil. Ndongakna maring leluhur sing wis mantuk dening alam kubur, moga-moga dosa-dosane dengapure dening Gusti Pangeran.
Gambar Pixabay.com
Jan-jane nek deetung ana 40an kepala keluarga neng lingkungan RT, ningen sing aktif melu giliran antarane mung separo yakuwe wong 20an. Pancen angger ora deniati sekang ati sing paling jero kanggo ngibadah rasane kayong abot banget angger teka giliran turut umah saben malem jemuah. Apa maning angger agi kesel merga awane nembe kerja abot, utawane angger agi udan deres lan hawane atis banget. Kepengine ngaso prei disit. Ningen ya anu wis dadi kesepakatan bareng dadine tumrape anggota giliran sing wis kulina ya kudu tetep mangkat.
Saben mangkat giliran ana iuran anggota telungewu perak kanggo ngisi kas karo konsumsi nggo sing agi kebagian kanggonan giliran. Banjur ana iuran dansos rongewu perak. Dansos kuwe ancase kanggo tuku keperluan wong mati yakuwe ana mori, kapur barus, sabun adus, lan liya-liyane.
“Dansos kiye ancase ben awake dhewek wis siap angger ana kebutuhan nggo wong sing depundut neng Gusti Pangeran sewektu-wektu,” kaya kuwe ngendikane pak RT dong ana giliran malem jemuah wingi neng nggone kaki Dipa. Senajan kerjane serabutan kadang-kadang ngarah rongsok, kaki Dipa kelebu salah siji anggota giliran sing paling sregep mangkat. Kena dearani kaki Dipa mangkat terus saben-saben malem jemuah. Dong ana udan barat kaki Dipa tetep mangkat mbangkane anggota sing mangkat mung wong wolu. Kaki Dipa uga wis lunas mbayar dansos kanggo setaun mbangkane nembe wulan januari. Malem minggu wingi kaki Dipa aweh duwit patlikur ewu kanggo mbayar dansos.
“Kiye dansose tek bayar setaun sisan. Inyong mau nembe adol rongsok olih mandan akeh,” omonge kaki Dipa karo nylonongna duwit patlikur ewu maring kaki Karta sing dadi bendahara.
Malem jemuah kiye langite katon semanger. Ora udan ora mendung. Wulan neng langit bunder lan cemlorot banget sinare. Atine inyong katon bombong banget mergane malem kiye gilirane neng umahe inyong. Bubar ngisa wong-wong wis padha kumpul kejaba kaki Dipa.
“Kaki Dipa urung mangkat ya?”
“Iya embuh kenang apa.”
Wong-wong pada takon, ora tau-taune kaki Dipa urung keton mbangkane wis mandan wengi, gilirane wis arep dewiwiti.
Inyong uluk salam. Miwiti acara giliran neng umahe inyong. Banjur inyong nyambut nganggo basa banyumasan. Senajan basane dhewek ningen nyambut nganggo basa banyumasan kayong mandan angel mergane inyong lewih sering nganggo basa Indonesia angger nyambut neng ngarepe wong akeh. Senajan mandan gratal gratul inyong tetep nyambut nganggo basa banyumas.
“Maturnuwun atas rawuhipun panjenengan kabeh, moga-moga dadi amal ibadah sing apik...” Inyong ora kelalen ngucapna maturnuwun kanggo wong-wong sing wis pada teka.
***
Bubar jemuahan, inyong desamper neng kaki Karya.
“Ayuh pada tilik kaki Dipa sing agi mriyang.”
“Mriyang apa, Ki?” inyong kaget nembe ngreti nek kaki Dipa mriyang.
“Jere dadane sesek, sekiye opname neng rumah sakit.”
Inyong karo kanca-kanca banjur mangkat maring rumah sakit. Kaki Dipa lagi turu njrengkanang irunge detambahi oksigen sing desalurna sekang tabung nganggo selang maring irunge. Nini Bayi, bojone kaki Dipa memblep-memblep nahan luhe sing arep tiba sekang mripate.
“Sing sabar ya, Yu,” semaure kaki Karya nglipur maring wong sing agi nanggung beban abot.
Bali sekang rumah sakit, inyong ngelamun ana neng sedawane dalan bali maring ngumah. Inyong ndonga muga-muga kaki Dipa bisa waras maning lan bisa melu giliran kaya biasane. Pancen angger ndeleng tanda-tandane apa baen sing urip ya bakalan arep mati, arep pada bali maring rohmatulloh. Wit pring sing wis tua detegor, ana anake maning sing tukul lan dadi wit pring maning, kaya kuwe seteruse. Ana kucing sing manak. Beyunge kucing sing wis tua mati penyakiten utawane kenang musibah ketabrak montor utawane mobil. Cecek pada ngendog endoge netes dadi anak cecek banjur gede nggenteni biyunge sing mati kejempit lawang utawane sebab liyane. Wong sing wis pengantenan pada nduwe anak banjur anake pada gede nggo nggenteni wong tuwane nek wis seda. Ningen babagan umur menungsa utawane makhluk urip liyane ora pandang umur. Ana kalane sing enom depundut disit neng Guti Pangeran tenimbang sing tuwa. Contone Putune kaki Karya seda dong agi nembe lair.
***
Malem jemuah ngarepe gilirane neng umahe kaki Karya, Kaki Dipa tetep urung mangkat. Dong acara arep dewiwiti keprungu ana wara-wara sekang mesjid sing ana neng pojok dusun. Wara-wara kuwe jebule kabar lelayu nek kaki Dipa wis depundut neng Gusti Pangeran jam pitu mbengi neng rumah sakit.
Wong-wong pada ngucap “inna lillahi wa inna ilaihi raji’ung...” bar kuwe banjur pada ndingkluk meneng antarane ana rong menitan. Ndean-ndeane pada kaya inyong. Merenungi babagan wong urip neng alam dunya mung nunggu giliran kapan lan sapa disit sing depundut neng Gusti Pangeran. Angger wis titi mangsane ora ana sing bisa nyegah. Merga kuwe wong urip kudu tetep eling maring sing gawe urip lan nyiapna apa baen sing kena kanggo bekal mangkat maring alam sing arep teka, termasuk nyiapna ubo rampe kanggo ngurus jenazah.[]
Banyumas, 31 Januari 2016

Keterangan :
Naskah kiye versi asli sedurunge demuat neng majalah Ancas Kalawerta Penginyongan nomer 79-Taun VII/12-2016

Share:

Sabtu, 07 September 2013

Kaki Bengel

Cerkak dening Agus Pribadi (Satelitpost, 25 Agustus 2013)




Embuh sapa sing njenengi. Wong-wong ngarani Kaki Bengel. Bengel ya padha baen karo puyeng. Janen jenenge tah kaki Dipa, napine embuh awit kapan koh wong-wong padha ngarani kaya kuwe. Goli ngarani ora neng ngarepe wonge. Nang mburi, dadine ya sing diarani ora ngerti.
Kaki Dipa nduwe anak papat. Sing loro wis umah-umah, lewihe esih sekolah neng lanjutan pertama karo lanjutan atas.

Kaki Dipa dadi pegawe sing gajine bisa diarani ya mung pas-pasan kanggo kebutuhan saben dinane karo kanggo nyekolahna anake. Napine wong kuwe uripe kepengine sing mandan wah. Montor ya karepe sing apik, sing mereke terkenal, sing deiklanna neng tivi, sing ora akeh sing nganggo. Umah ya karepe deapiki dadi katon kayong umah gedong magrong-magrong. Tivi ya karepe sing layar datar 32 inci. Anak lanange sing sekolah nang lanjutan atas ya detukokna montor sing ora kalah apike karo montore ramane. Lan liya-liyane. Pokoke gajine sewulan jan-jane ya ora cukup kanggo kebutuhan sing akeh kaya kuwe.
Napine wong kuwe koh teyeng. Lha wong-wong selet suwe padha ngerti, nek utange dheweke kuwe akeh banget. Kayong jamur sing tukul nang musim udan, nang ngendi-ngendi ana. Mrotok. Utange nang bang ora mung siji. Utange nang wong-wong, lan liya-liyane. Lha kuwe sing marekna dheweke bengel. Esih tanggal enom ya wis bengel. Bojone baen kadang kayong arep njerit-njerita.
“Kang, geh inyong selet suwe ya dadi bengel. Nek mung diwei duwit semene unggal wulane. Lha rega-rega wis padha mundak, koh inyong mung decekeli duwit semene.” Yu Binah, bojone kaki Dipa ngresula karo memblep-memblep meh saben wulane angger nampani duwit sekang sing lanange.
“Lha, rejeki sepira-sepira ya mbok aja moni-moni. Desyukuri baen sih ngapa. Lha wong anane semeno kon dekapakna maning?” kaki Dipa alias kaki Bengel mangsuli karo nyekeli bathuke sing  mandan cunong. Bengel.
“Ya syukur sih syukur, Kang. Napine ya sing kira-kira angger aweh duwit. Kuweh akibate nek dhewek utange akeh. Dadine lewihe mung sethithik saben wulane, Kang. Nek semeni sih mung kanggo mangan 10 dina ya wis entong.”
“Lha rika koh maido maring inyong. Inyong kesel-kesel ngode ya nggo rika karo bocah-bocah!”
“Ya mangsude sih inyong ora maido, Kang. Mung ngemutna nek wis aja utang maning, Kang.”
“Lha nek ora utang ya ora bisa tuku apa-apa.”
Nek wong loro lanang wadon kuwe wis ngomong babagan utang, ya wis ora ana rampunge. Ora ana sing gelem ngalah. Paling-paling nek wis kesel nembe mandek dhewek. Utawa nek anake wis bali sekang sekolahan. Padha isin ndean.
Lha sepet kuwe kaki Dipa dijuluki kaki Bengel. Inyong ya janen arep ora tiru-tiru. Mung kadang melu kegawa ngarani julukan kuwe. Soale ya pancen nek ketemu tanggane inyong kuwe ya kayong keton bengel terus.
“Inyong lagi bengel koh.” Kaya kuwe omonge kaki Bengel eh kaki Dipa karo nyekeli bathuke dong pas ketemu neng warung kopi, neng pos ronda, neng umahe ertene, lan akeh maning.
Ujar-ujare mung kae wong sing bengel mbok. Wong liya ya padha baen kadang bengel, mung ora decritak-critakna. Ana sing bengel ora duwe duwit. Ana sing bengel detinggal bojone ngode neng negara liya. Ana sing bengel anake ora ketampa neng sekolah sing dekarepna. Ana sing bengel putus cinta. Ana sing bengel ora mbojo-mbojo. Ana sing bengel lara untu. Ana sing bengel montore ilang. Lah pokoken angger detulis ya ora rampung-rampung.
***
Sore kuwe udan gede banget. Ning udane ora suwe. Mung kaya banyu desuntek sekang langit. Bar kuwe njur terang. Inyong ngopi karo bojone. Karo jagongan nang ruang tamu. Karo ndeleng selokan sing banyune akeh mili maring kali. Ya moga-moga nang kene aja ana banjir. Ora teyeng mbayangna sepira susahe nek kebanjiran.
Lha lagi nyamleng-nyamlenge ngopi, koh sekang kadohan ana wong mlaku kedimik-kedimik kayong kaki Dipa. Nembe baen mikir sapa kae sing lagi mlaku maring ngeneh, bojone inyong ngomong seru banget,” Kang, kae ana kaki Bengel arep ngeneh apa ya?”
“Husss...! aja melu baen ngarani kaki Bengel. Kae tolih kaki Dipa.” Inyong ngemutna bojone sing mung mesem.
Wong sing mlaku tambah genah. Ya pancen kaki Dipa.
“Assalamu’alaikum...!” kaki Dipa uluk salam.
“Wa’alaikum salam,” inyong karo bojone njawab bareng.
“Mangga-mangga, Ki,” inyong mbukak lawang karo manggakna kaki Dipa.
Kaki Dipa njagong. Bojone inyong mlebung njero. Ora suwe ngetokna kopi karo godogan gedang.
Nembe baen inyong arep takon keslametan, kaki Dipa lewih cepet ngomong dhisit, “Inyong lagi bengel kiye koh.” Tangane ora keri nggoli nyekeli bathuke.
Lha inyong ya mung melas karo kepengin ngguyu janen. Napine ya tek tahan. Ora kepenak mbok kesuh.
“Bengel kenang apa, Ki?” inyong takon, janen ya wis ngerti paling-paling ya masalah duwit.
“Iya kiyeh koh, lagi bengel. Butuh duwit nggo mbayar cicilan montore anak lanang. Rika duwe simpenan, Mas?”
Inyong clingak-clinguk bingung arep mangsuli apa. Bojone inyong sing njagong neng jejere inyong ya padha baen clingak-clinguk. Lha inyong dhewek baen lagi bingung, anake inyong sing umure nembe limang taun ya lagi njaluk detukokna pit anyar. Inyong mung ngode macul. Kuwe baen angger ana sing prentah. Kepriwen jajal?
“Lha rika detakoni malah nglogog kaya garan bendo?” kaki Dipa semune mandan kesuh.
Inyong tetep urung teyeng njawab. Bingung arep ngomong apa. Mung ngukuri rambut sing ora gatel.(*)
Banyumas, 11 Februari 2013
Share:

Rabu, 13 Februari 2013

[Cerkak Banyumasan] Wedhang Jahe



Daning Agus Pribadi
Lintang nang langit kaya dene lampu-lampu hias nang malem pitulasan. Layar sing digawe dening Gusti Pangeran kae dadi katon sumringah. Kaya dene sumringahe raine wong telu sing lagi jagongan nang lapangan cedak kampus, sinambi nginum wedhang jahe karo mangan sega kucing lawuh mendoan. Wong-wong pada pating sliwer, ana sing mlaku lan ana sing numpak pit montor. Wong telu kae kanca kuliah sing ruket banget. Runtang-runtung bareng kaya kakang adi. Sing katon paling sumringah ya Wono. Apa sebabe Wono sing paling sumringah debandingna karo kancane sing loro, Adi karo Anjar?
Share:

VIDEO PEMBELAJARAN

Frequency Counter Pengunjung

Artikel Terbaru

LINK SAYA

Komentar Terbaru

Konsultasi IPA