BELAJAR SEPANJANG HAYAT


Catatan Harian Seorang Guru IPA







Selamat berkunjung di blog kami, semoga bermanfaat
Tampilkan postingan dengan label Artikel. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Artikel. Tampilkan semua postingan

Minggu, 11 Februari 2024

Guru dan Menulis dalam Pancaroba Pengembangan Kompetensi Guru

 

pixabay

Oleh Agus Pribadi

Hadirnya berbagai peraturan (Permen PAN RB no 1 tahun 2023 tentang jabatan fungsional; Per BKN no 3 tahun 2023 tentang Angka Kredit, Kenaikan Pangkat dan Jenjang Jabatan Fungsional; Per Dirjen GTK no 7607/B.B1/HK.03 2023 tentang Juknis tentang Pengelolaan Kinerja Guru dan Kepala Sekolah) telah membawa arah baru bagi pengembangan kompetensi guru-sebelumnya bernama pengembangan profesi, khususnya bagi guru PNS kaitannya dengan kenaikan jenjang jabatan fungsional dan kenaikan pangkat berdasarkan angka kredit.

Sebelumnya guru harus mengajukan DUPAK (Daftar Usul Penetapan Angka Kredit)-dengan segala lampirannya berkait dengan pengembangan profesi termasuk pengembangan literasi yang kental seperti penulisan buku, penulsian artikel ilmiah populer, penulisan PTK, dan yang lainnya- terlebih dahulu untuk penilaian angka kredit. Saat ini dengan aturan yang baru guru tidak lagi mengajukan DUPAK dengan segala lampirannya itu, melainkan melalui jalur yang lebih simpel- SKP dibuat melalui PMM (Platform Merdek Mengajar) yang terintegrasi dengan E Kinerja BKN. Pengembangan kompetensi salah satunya lebih membuka pada pemanfaatan PMM guna mencapai pembelajaran di kelas yang lebih baik, bersamaan dengan capaian rapor pendidikan yang lebih baik, diantaranya: Seminar/ webinar, praktik baik, pelatihan mandiri PMM, Pelatihan/bimtek, penggerak komunitas daring, dan lain-lain.

Apa kabar Literasi?

Salah satu indikator geliat literasi yang terlihat pada saat berlaku aturan sebelumnya, adalah menggeliatnya dunia tulis menulis di kalangan guru: penulisan buku puisi, penulisan buku cerpen, penulisan buku novel. Penulisan artikel ilmiah populer, artikel jurnal ilmiah, PTK (Penelitian Tindakan Kelas), dan lain-lain. Saat ini dimana telah bergantu aturan dalam Penilaian Kinerja Guru dimana poin-poin yang mendapat nilai Angka Kredit telah berubah, bagaimana kabar geliat literasi seperti penulis sebutkan di atas?

Pengalaman penulis sendiri, saat awal-awal diberlakukan aturan sebelumnya, penulis kebetulan sedang belajar menulis cerpen, puisi, artikel, dan tulisan lainnya. Ketika penulis memiliki buku kumpulan cerpen, penulis baru menyadari setelah buku itu terbit kalau buku itu dapat dinilaikan sebagai karya inovatif guru bidang seni sastra. Sebelum adanya aturan baru pun kebetulan penulis sudah mencoba pelatihan mandiri di PMM dan telah mendapatkan 9 sertifikat dari kegiatan tersebut, dan penulis tidak mengira kalau hal itu akan menjadi salah satu yang dipertimbangkan dalam Penilaian Kinerja Guru saat ini.

Mari Terus Menulis

Menurut penulis, menulis bukan hanya untuk satu tujuan tertentu saja, misalnya dalam penilaian angka kredit dalam aturan sebelumnya. Menulis bisa untuk terapi diri mengungkapkan isi hati, dan menjadikan pikiran dan emosi lebih tertata. Menulis juga menciptakan sejarah, dengan menulis jejak kita akan tetap ada meski kita sudah tiada. Menulis juga bisa memberi manfaat pada orang lain misalnya berupa inspirasi, atau menghibur. Juga manfaat menulis lainnya yang dapat dipetik dari kegiatan menulis.

Di kalangan guru, sudah terkenal kalimay yang berbunyi: tulisan apa yang kamu lakukan, dan lakukan apa yang kamu tulis. Hal itu dapat diterapkan misalnya dalam membuat rencana pembelajaran/ modul ajar, dan praktik pembelajaran di kelas berdasarkan modul ajar itu.

Guru dan menulis dapat menjadi dua sisi mata uang yang dapat terus berjalan, dalam rangka mendukung kariernya sebagai seorang guru, dan juga sebagai manusia yang memiliki kemerdekaan berpikir dan mengajukan gagasan. Mari terus menulis, Bapak Ibu Guru Hebat! (*)

Banyumas, 11 Februari 2024

Agus Pribadi, Guru Penggerak Angkatan 8 Kab. Purbalingga, pernah menjadi penulis curhatan.

Share:

Sabtu, 23 September 2023

Koneksi Antar Materi Modul 3.1 Pengambilan Keputusan Berbasis Nilai-Nilai Kebajikan sebagai Pemimpin

 

pixabay.com


KONEKSI ANTAR MATERI MODUL 3.1

Oleh Agus Pribadi


“Mengajarkan anak menghitung itu baik, namun mengajarkan mereka apa yang berharga/utama adalah yang terbaik” (Bob Talbert)

Guru merupakan teladan bagi murid di sekolah. Apa yang dilakukan guru akan ditiru oleh murid. Termasuk juga dalam hal menemukan dan mempedomani nilai-nilai kebajikan sebagai sesuatu yang berharga dan utama dalam hidup dan kehidupan manusia.. Guru hendaknya mampu menemukan dan mempedomani nilai-nilaki kebajikan itu sebagai dasar pengambilan keputusan. Bukan kepentingan pribadi yang ditonjolkan. Tidak hanya murid yang akan meneladani guru yang demikian, tetapi juga masyarakat sekitar. Pada gilirannya guru akan menjadi agen perubahan sosial bagi murid, lingkungan sekolah, dan lingkungan masyarakat sekitarnya.

Apa yang diputuskan oleh seorang pemimpin akan dituruti oleh semua yang ada di lingkungan itu. Betapa pentingnya seorang pemimpin mempedomani nilai-nilai kebajikan universal agar lingkungan yang terbentuk pun menjadi lingkungan yang dikembangkan berdasarkan nilai-nilai tersebut.

Keputusan yang diambil oleh seorang pemimpin pembelajaran hendaknya merupakan keputusan yang mempertimbangkan keberpihakannya pada murid sehingga hasilnya tidak mengorbankan murid, bahkan membawa murid ke arah yang lebih baik.

Education is the art of making man ethical.
Pendidikan adalah sebuah seni untuk membuat manusia menjadi berperilaku etis.
~ Georg Wilhelm Friedrich Hegel ~

Pendidikan tidak hanya mentransfer ilmu dan keterampilan, pendidikan juga memberikan nilai-nilai kebajikan dalam rangka pembentukan karakter murid. Oleh karena itu sekolah dikenal sebagai institusi moral, tempat bersemainya manusia-manusia yang mengembangkan nilai-nilai moral.

1. Bagaimana filosofi Ki Hajar Dewantara dengan Pratap Triloka memiliki kaitan dengan penerapan pengambilan keputusan sebagai seorang pemimpin?
Ing Ngarso Sung Tulodho (Seorang pemimpin harus mampu memberi tauladan), Ing Madya Mangunkarsa (Seorang pemimpin juga harus mampu memberikan dorongan, semangat dan motivasi dari tengah), Tut Wuri handayani (Seorang pemimpin harus mampu memberi dorongan dari belakang). Guru sebagai seorang pemimpin yang seringkali harus mengambil sebuah keputusan, hendaknya memberikan keberpihakannya kepada murid di manapun berada baik di depan, tengah, dan belakang.

2. Bagaimana nilai-nilai yang tertanam dalam diri kita, berpengaruh kepada prinsip-prinsip yang kita ambil dalam pengambilan suatu keputusan?

Nilai-nilai yang tertanam dalam diri seseorang (Nilai-Nilai Kebajikan Universal) berpengaruh terhadap prinsip-prinsip yang diambil ketika seseorang akan mengambil keputusan. Nilai-nilai kebajikan universal, seperti: kasih sayang, kemanusiaan, keimanan, dan lain-lain perlu dimiliki seorang pendidik agar setiap keputusan yang diambil juga berlandaskan nilai-nilai tersebut.


3. Bagaimana materi pengambilan keputusan berkaitan dengan kegiatan coaching (bimbingan) yang diberikan pendamping atau fasilitator dalam perjalanan proses pembelajaran kita, terutama dalam pengujian pengambilan keputusan yang telah kita ambil? Apakah pengambilan keputusan tersebut telah efektif, masihkah ada pertanyaan-pertanyaan dalam diri kita atas pengambilan keputusan tersebut? Hal-hal ini tentunya bisa dibantu oleh sesi coaching yang telah dibahas pada sebelumnya.

Pengambilan keputusan berkaitan dengan kegiatan coaching. Pengambilan keputusan memperhatikan 4 paradigma: 1) individu lawan kelompok 2) rasa keadilan lawan rasa kasihan 3) kebenaran lawan kesetiaan 4) jangka pendek lawan jangka panjang. Pengambilan keputusan memperhatikan 3 prinsip: 1) prinsip berpikir berbasis rasa peduli 2) prinsip berbasis peraturan 3) prinsip berpikir berbasis hasil akhir. Pengambilan keputusan menggunakan 9 langkah: 

Berikut langkah-langkah yang bisa ditempuh sebelum Guru Penggerak menentukan keputusan. 

  1. Mengenali bahwa ada nilai-nilai yang saling bertentangan dalam situasi tertentu 

Dalam menentukan keputusan terkadang ada sesuatu yang harus dikorbankan, dalam situasi tertentu. 

  1. Menentukan siapa yang terlibat dalam situasi tersebut 

Sebelum mengambil suatu keputusan, pertimbangkan karakter semua orang yang terlibat. 

  1. Kumpulkan fakta-fakta yang relevan dengan situasi tersebut 

Fakta-fakta terkait situasi tertentu harus menjadi pertimbangan juga dalam pengambilan keputusan. 

  1. Pengujian benar atau salah 

Pengujian yang dilakukan bisa berupa uji legal, uji regulasi/standar profesional, uji intuisi, dan uji panutan. Jika hal ini sudah dilakukan, anda bisa memiliki referensi dan cara pandang lebih luas dalam mengambil keputusan 

  1. Pengujian paradigma benar dan benar 

Terkadang dalam suatu kondisi tertentu terdapat pilihan keputusan yang sama-sama dianggap benar. Untuk memilih lakukan pengujian sehingga Anda bisa menitikberatkan kepada salah satu. 

  1. Melakukan prinsip resolusi 

Menerapkan 3 prinsip, yakni End based thinking, Rule based thinking, Care based thinking dalam pengambilan keputusan. Kalau memungkinkan ambil ketiganya tetapi jika tidak, cukup salah satu atau dua. 

  1. Investigasi Opsi Trilema 

Investigasi Opsi Trilema yaitu solusi lain yang tak terduga. Sebelum membuat keputusan, refleksikan diri sendiri terhadap keputusan yang diambil. 

  1. Buat keputusan 

Setelah langkah-langkah di atas sudah selesai, buat keputusan yang bulat. 

  1. Lihat lagi keputusan itu, lalu refleksikan 

Setelah ada sebuah keputusan, Anda tidak serta-merta selesai begitu saja tugasnya. Tinjau dan lihat impak dari keputusan itu, refleksikan, dan diskusikan dengan pihak yang berkaitan.

Empat parafigma, 3 prinsip, dan  9 langkah dalam pengambilan keputusan menggambarkan sebuah kieputusan harus dilakukan dengan pertimbangan yang baik. Hal itu sebagaimana melakukan coaching, seorang coach harus mampu membantu coachee dalam mengambil keputusan terhadap pemecahan masalah yang sedang dihadapinya terkait dengan apa yang menjadi tujuan coachee.


4. Bagaimana kemampuan guru dalam mengelola dan menyadari aspek sosial emosionalnya akan berpengaruh terhadap pengambilan suatu keputusan khususnya masalah dilema etika?

Kemampuan mengengola dan menyadari Aspek sosial emosional diperlukan guru dalam perannya sebagai pemimpin pembelajaran pada saat pengambilan keputusan. Rasa simpati dan empati serta keberpihakannya pada murid menjadi sebuah keniscayaan dalam pengambilan keputusan dilema etika.

5. Bagaimana pembahasan studi kasus yang fokus pada masalah moral atau etika kembali kepada nilai-nilai yang dianut seorang pendidik?

Seorang pendidik yang dihadapkan pada kasus-kasus yang berfokus pada masalah moral dan etika, maka seharusnya keputusan yang diambil akan dipengaruhi oleh nilai-nilai kebajikan yang dianutnya. Jika nilai-nilai yang dianutnya nilai-nilai positif maka keputusan yang diambil akan tepat, benar dan dapat dipertanggung jawabkan.

 Pembahasan studi kasus yang fokus pada masalah moral atau etika juga dapat melatih ketajaman dan ketepatan dalam pengambilan keputusan, sehingga dapat dengan jelas membedakan antara dilema etika ataukah bujukan moral. 

6. Bagaimana pengambilan keputusan yang tepat, tentunya berdampak pada terciptanya lingkungan yang positif, kondusif, aman dan nyaman.

Keputusan yang diambil akan berdampak pada implementasi pembelajaran dan mempengaruhi situasi di sekolah di mana keputusan itu diambil. Setiap keputusan yang kita ambil harus tepat dan bijak berlandaskan nilai-nilai kebajikan, keteladanan, bijaksana dan tidak melanggar norma. Dengan landasan tersebut kita dapat menciptakan lingkungan yang positif, kondusif, aman dan nyaman sehingga murid-murid dapat belajar dengan baik dan dapat mengembangkan kompetensinya. Pada gilirannya terbentuk sekolah yang menyenangkan dan berpihak pada murid.

7. Apakah tantangan-tantangan di lingkungan Anda untuk dapat menjalankan pengambilan keputusan terhadap kasus-kasus dilema etika ini? Adakah kaitannya dengan perubahan paradigma di lingkungan Anda?

Pengambilan keputusan yang dilakukan berlandaskan atas tiga prinsip penyelesaian dilema, yaitu Berpikir Berbasis Hasil Akhir (Ends-Based Thinking), Berpikir Berbasis Peraturan (Rule-Based Thinking), dan Berpikir Berbasis Rasa Peduli (Care-Based Thinking). Pemilihan prinsip tersebut disesuaikan dengan situasi dan kondisi yang ada.  Meskipun setiap keputusan pasti ada resiko, pro dan kontra, namun hal ini menjadikan salah satu tantangan tersendiri. Sebuah keputusan harus diambil dan direfleksikan serta dievaluasi sesuadahnya.

Tantangan yang saya hadapi dalam pengambilan keputusan terhadap kasus-kasus yang sifatnya dilema etika adalah perasaan tidak enak yang timbul karena tidak dapat memuaskan semua pihak yang berkepentingan. Namun saya akan memutuskan yang paling banyak manfaatnya bagi kepentingan murid dan juga warga sekolah.

8. Apakah pengaruh pengambilan keputusan yang kita ambil ini dengan pengajaran yang memerdekakan murid-murid kita? Bagaimana kita memutuskan pembelajaran yang tepat untuk potensi murid kita yang berbeda-beda?

Pengaruh pengambilan keputusan yang kita ambil dengan pengajaran memerdekakan murid-murid kita adalah terciptanya merdeka belajar. Dengan merdeka belajar, murid bebas mencapai kesusksesan, kebahagiaan sesuai minat dan potensinya tanpa ada paksaan dan tekanan dari pihak manapun. Hal ini diharapkan murid-murid akan sukses dengan bidangnya masing-masing, bahagia karena sesuai dengan apa yang diinginkannya dan bertanggungjawab akan apa yang menjadi pilihannya. Disinilah dasar pijakan kita bahwa semua pengambilan keputusan harus berpihak pada murid, dan guru berfungsi untuk memfasilitasi, membantu mengembangkan bakat dan minat yang sudah ada. Penggunaan model pembelajaran berdiferensiasi akan mampu mengakomodir kebutuhan setiap siswa sesuai dengan bakat dan keahliannya. Guru hanya sebagai fasilitator dan pembelajaran terpusat pada siswa, dengan didukung pada penerapan secara eksplisit maupun implisit KSE yang akan semakin memperkuat  dan mempertajam wujud nyata dalam memfasilitasi dan mengasah keterampilan social emosional murid-murid kita. Ibarat suatu bibit, murid akan tumbuh dan bersemai dengan maksimal di ladang yang subur.

9. Bagaimana seorang pemimpin pembelajaran dalam mengambil keputusan dapat mempengaruhi kehidupan atau masa depan murid-muridnya?

Keputusan yang diambil oleh seorang pemimpin pembelajaran pasti akan membawa dampak, baik jangka panjang maupun pendek bagi murid. Hal yang sudah kita putuskan dan kita lakukan akan terekam menjadi suatu catatan dan akan menjadikan role model tentang apa dan bagaimana kelak murid-murid berpikir dan bertindak.

Bagaimana mereka mengambil keputusan di masyarakat dikemudian hari. Gambaran ini menjadikan dasar bahwa pengambilan keputusan oleh seorang pendidik harus tepat, benar dan bijak melalui analisis dan pengujian yang mendalam atas benar salahnya. Pengujian dilakukan dengan menggunakan lima uji yaitu uji legal, uji regulasi, uji intuisi, uji publikasi dan uji panutan atau uji idola akan menjadikan pengambilan keputusan kita akurat dan teruji sehingga tidak menyesatkan murid-murid.

Selain itu, keputusan yang diambil hendaknya berpihak pada perbaikan masa depan murid-murid, bukan yang sebaliknya menutup-nutupi murid tetapi membiarkan masa depannya tidak menentu, misalnya.

10. Apakah kesimpulan akhir  yang dapat Anda tarik dari pembelajaran modul materi ini dan keterkaitannya dengan modul-modul sebelumnya?

Kesimpulan akhir yang saya peroleh dari pembelajaran materi ini dan keterkaitannya dengan modul sebelumnya bahwa pengambilan keputusan merupakan suatu kompetensi atau skill yang harus dimiiki oleh guru sebagai pendidik dan pemimpin pembelajaran. Terkait dengan tugas dan fungsinya seorang guru dalam membuat keputusan harus berlandaskan pada filosofi Ki Hajar Dewantara, karena setiap keputusan yang diambil akan mewarnai pola pikir dan karakter murid. Agar keputusan yang diambil dapat memberikan kemanfaatan untuk banyak orang, mampu mengantarkan pada lingkungan yang positif, kondusif, aman dan nyaman (well being) dan dapat dipertanggungjawabkan, maka harus dilakukan berdasarkan pada budaya positif dan menggunakan alur yang tertata seperti BAGJA. Hal ini dilakukan semata untuk menghantarkan murid menuju profil pelajar pancasila, yang dalam perjalanannya banyak benturan yang sifatnya dilema etika dan bujukan moral. Untuk itu diperlukan panduan sembilan langkah pengambilan dan pengujian keputusan, sehingga langkah yang diambil selalu berpihak kepada murid, serta menjadi kondusifitas sekolah sebagai institusi moral.


11. Sejauh mana pemahaman Anda tentang konsep-konsep yang telah Anda pelajari di modul ini, yaitu: dilema etika dan bujukan moral, 4 paradigma pengambilan keputusan, 3 prinsip pengambilan keputusan, dan 9 langkah pengambilan dan pengujian keputusan. Adakah hal-hal yang menurut Anda di luar dugaan?

Hal-hal yang menurut saya diluar dugaan bahwa ternyata dalam pengambilan keputusan bukan hanya didasarkan pada pemikiran dan pertimbangan semata, namun sangat diperlukan adanya paradigma, prinsip, dan langkah-langkah pengujian pengambilan keputusan, agar keputusan yang diambil tepat sasaran dan bermanfaat untuk orang banyak. Disamping itu secara personal, dalam pengambilan keputusan diperlukan satu sikap keberanian dengan segala konsekuensinya. Apapun yang diambil itu adalah hal yang terbaik jika dibandingkan tidak mau mengambil keputusan.

12. Sebelum mempelajari modul ini, pernahkah Anda menerapkan pengambilan keputusan sebagai pemimpin dalam situasi moral dilema? Bilamana pernah, apa bedanya dengan apa yang Anda pelajari di modul ini?

Sebelum mempelajari modul ini saya pernah mengambil  keputusan dengan situasi dilema etika, namun yang saya lakukan hanya sebatas pada pemikiran didukung dengan satu atau dua pertimbangan sederhana. Saya sudah merasa aman bila keputusan yang saya ambil sudah sesuai aturan dan tidak berdampak merugikan banyak orang. Dengan belajar modul ini saya menjadi lebih kaya akan pengetahuan bahkan telah mempraktikkan, bagaimana cara pengambilan keputusan yang tepat dengan menggunakan langkah-langkah tertentu yang tak lepas dari paradigma dan prinsip-prinsip yang ada. Dengan modul ini, saya banyak belajar bagaimana guru sebagai pemimpin pembelajaran dalam pengambilan keputusan.

13. Bagaimana dampak mempelajari konsep  ini buat Anda, perubahan  apa yang terjadi pada cara Anda dalam mengambil keputusan sebelum dan sesudah mengikuti pembelajaran modul ini?

Konsep yang sudah saya pelajari di modul ini memberikan dampak yang besar bagi pola pikir saya. Sebelumnya saya berpikir bahwa pengambilan keputusan yang telah didasarkan regulasi dan sosial saja sudah cukup, ternyata banyak hal yang menjadi dasar. Dalam konteks ini terdapat 4 paradigma dilema etika yang semuanya didasari atas 3 prinsip dan 9 langkah. Saya berencana akan mengimplementasikan landasan tersebut dalam setiap pengambilan keputusan baik sebagai pemimpin pembelajaran maupun dalam pengambilan kebijakan di sekolah dan komunitas praktisi.  Dengan landasan dalam pengambilan keputusan tersebut, saya yakin bahwa keputusan yang saya ambil akan tepat dan lebih akurat dengan selalu berpihak pada murid dan kepentingan yang lebih besar dan lebih banyak.

14. Seberapa penting mempelajari topik modul ini bagi Anda sebagai seorang individu dan Anda sebagai seorang pemimpin?

Materi pada modul 3.1 sangat penting, karena dimanapun dan sebagai apapun peran kita pasti akan menjumpai permasalahan yang dituntut untuk mengambil keputusan dengan tepat dan bertanggung jawab. 

Sebagai pemimpin pembelajaran, dari keputusan tersebut akan dihasilkan kebijakan -kebijakan yang akan mewarnai perjalanan sekolah untuk mewujudkan merdeka belajar dan profil pelajar Pancasila. Salah satu upaya untuk mewujudkan hal itu, maka seorang guru harus memiliki keterampilan dalam pengambilan keputusan yang mengandung nilai-nilai kebajikan. Sebagai landasan dalam pengambilan keputusan tersebut tentunya mengacu pada 9 langkah 4 paradigma dan  3 prinsip. Selain itu keputusan diambil melalui tiga uji yaitu: Uji Intuisi berhubungan dengan berpikir berbasis peraturan (Rule-Based Thinking), Uji publikasi, sebaliknya, berhubungan dengan berpikir berbasis hasil akhir (Ends-Based Thinking) yang mementingkan hasil akhir dan Uji Panutan/Idola berhubungan dengan prinsip berpikir berbasis rasa peduli (Care-Based Thinking). Hal itu akan mewujudkan merdeka belajar dan merdeka mengajar menjadi semakin nyata.


Referensi:

https://tirto.id/4-paradigma-3-prinsip-dan-9-langkah-pengambilan-keputusan-guru-gLmS

https://smkn2depoksleman.sch.id/utama/koneksi-antar-materi-modul-3-1-pengambilan-keputusan-berbasis-nilai-nilai-kebajikan-sebagai-pemimpin/


Share:

Senin, 16 Maret 2020

Proyek Buku Antologi Guru Menulis Artikel Opini

Proyek Buku Antologi Guru Menulis Artikel Opini


Guru dan menulis adalah 2 hal yang luar biasa jika ditujukan untuk kemaslahatan bersama.

Bagi Anda Guru dan Tenaga Kependidikan yang senang menulis, mari menulis artikel opini dengan kentuan:

1) Proyek ini berupa “Membuat Buku Antologi Artikel Opini Agus Pribadi dan penulis lainnya”.

2) Proyek ini ditujukan untuk guru dan tenaga kependidikan lainnya yang suka menulis, baik penulis pemula maupun penulis professional.

3) Tema Antologi artikel opini ini adalah “Guru dan Menulis”; dengan sub tema:
a. Guru dan Motivasi Menulis
b. Pro Kontra Menulis untuk Angka Kredit
c. Bagaimana sebaiknya guru menulis?
(Bisa pilih salah satu sub tema)

4) Artikel opini ditulis dengan huruf Times New Roman 12, spasi 1,5 ukuran A4 dengan panjang 600 - 1000 kata

5) Naskah belum pernah dikirim ke media manapun, dan belum pernah diikutkan lomba apapun.

6) File naskah dilampirkan dengan nama file Guru Menulis_Judul Artikel_Nama Penulis

7) Biodata berbentuk narasi dicantumkan di bawah naskah.

8) Foto diri dengan format jpg dilampirkan secara terpisah

9) Profil penulis dilampirkan di file terpisah yang memuat Nama, Tempat Tanggal Lahir, Alamat, No HP (WA), Pekerjaan, Pengalaman Menulis, dll dengan nama file Profil Penulis.

10) Kirim satu naskah terbaik Anda ke email aguspribadi1978@gmail.com sesuai dengan ketentuan.

11) Pengiriman naskah mulai tanggal 14 Maret 2020 s.d 10 April2020.

12) Akan dipilih 20 naskah terbaik, dan ditambah satu naskah saya untuk dijadikan draf jadi.

13) Pengumuman 20 naskah terpilih akan dilakukan pada 17 April 2020.

14) Masing-masing penulis terpilih akan mendapat 1 eksemplar buku bukti terbit

15) 3 naskah terbaik akan mendapat reward masing-masing Rp. 150.000,- dan voucher penerbitan SIP Publishing senilai Rp. 500.000,-

16) Gratis biaya pendaftaran

17) Draf Antologi artikel opini akan diterbitkan oleh penerbit SIP Publishing.

18) Buku direncanakan akan dilaunching bertepatan dengan Hardiknas 2 Mei 2020.

19) Peserta harus follow instagram @sippublishing dan instagram agus pribadi

20) Selamat Berjuang, menghasilkan karya terbaik, semoga sukses!

Banyumas, 14 Maret 2020
Agus Pribadi

Didukung oleh Penerbit SIP Publishing
Share:

Minggu, 15 Maret 2020

Potensi Bahasa Banyumasan dalam Penulisan Karya Sastra

Potensi Bahasa Banyumasan dalam Penulisan Karya Sastra

(Tinjauan Buku Jalitheng Karya Nasirin L Sukarta)

Oleh Agus Pribadi



Lapisan-lapisan dalam karya sastra

Entah siapa yang bilang, sastra itu seperti kue lapis. Maksudnya, memiliki beberapa lapisan. Lapisan pemaknaan. Pada lapis pertama, kau bisa menganggap karya sastra yang kaubaca sebagai kisah cinta biasa, puisi cinta pada umumnya …  (Pringadi Abdi)

Dalam novel Jalitheng, lapisan pertama cukup jelas, yakni kisah pertemuan Jalitheng dengan beberapa gadis, yakni Dewi dan Janet. Pada buku ini tidak jelas mana yang akan dipilih oleh Jalitheng: Dewi atau Janet?

Kemudian, untuk lapisan-lapisan selanjutnya dari novel ini, tentu nantinya pembaca yang budiman yang akan menemukannya sesuai pembacaannya masing-masing. Misalnya salah satunya adalah filosofi kudi yang bentuknya seperti seorang perempuan yang sedang hamil minus kepala, yang berarti orang hidup harus waspada dan berhati-hati sebagaimana orang yang sedang hamil. Dalam buku itu, tergambar bagaimana Jalitheng menceritakan dengan fasih filosofi kudi saat perkuliahan berlangsung yang membuat seisi ruang kuliah, mahasiswa dan dosennya tertegun takjub mendengar cerita Jalitheng tentang kudi.

 Barangkali itu salah satu lapisannya, dan mungkin masih banyak lapisan lainnya yang bisa diungkap oleh pembaca, misalnya bagaimana kondisi sosial politik waktu itu baik skala lokal maupun nasional; bagaimana keadaan benda dan tempat bersejarah, misalnya sumur mas yang airnya bisa untuk mengobati penyakit stress-nya Dewi; besalen atau bengkel untuk membuat peralatan pertanian yang dilakukan oleh empu/ pande besi; dongeng tentang ikan tambra sisik kuning, dan mungkin hal lainnya yang luput dari pembacaan.

Kekayaan kosa kata

Dalam novel ini, banyak sekali kosa kata yang menunjukkan bahwa bahasa Banyumas tidak kalah ampuhnya dengan bahasa Indonesia, dan bahasa lainnya, jika digunakan untuk menulis karya sastra. Namun, yang cukup memprihatinkan adalah kosa kata yang ada semakin banyak yang lenyap dan tidak digunakan lagi baik oleh orang banyumas sendiri-terutama generasi mudanya, apalagi oleh orang selain banyumas.
Sebagai contoh kosa kata- kosa kata yang cukup unik dan nyentrik dalam novel ini, sediikit diantaranya misalnya:

Luput-luput katuranggane
… Ora preyoga yen nganti kaduken gole kamitenggengen. Sebab agi mangan karo sambel, luput-luput katuranggane bisa keselek metu ncungur apa ora bilai sih.

srunthul
… njuten mbang srunthul ngoyok …

ngecebres
Yu Kar ngecebres ngomong …

Geyanggaman
Geyanggaman turut dalan ngguyu dhewek?”

ubluk
Playuning ubluk sing maring ngulon prenahe sengsaya banter

Latah
… ngguyu latah kepingkel-pingkel …

Kekuatan deskripsi

Penulis novel ini, memiliki kemampuan deskripsi sangat kuat, sebagai missal dalam mendeskripsikan Janet sebagai salah satu tokoh dalam novel ini:
…pundhake nraju mas, tangane nggendhewa pinenthang, drijine mucuk tanjung, bangkekane nawon kemit, bokong manjang ilang, pupune nyuthang walang.
Dalam bagian lain, tidak hanya indra penglihatan, namun indra pembau juga dideskripsikan:
Bocah wadon sing ababe mambu wangi kuwe njur menyat.

Bahasa yang “blakasuta”
Dalam novel ini, ditunjukan bahwa bahasa Banyumas juga bersifat blakasuta atau apa adanya dalam penulisan karya sastra. Namun demikian, bukan berarti terlalu vulgar, melainkan penulis ingin menggambarkan keadaan yang sesungguhnya pada pembaca. Salah satu contoh dalam buku ini adalah:
Malah tau nyong menangi agi ngumbah motor alus nganggo kathok jean cekak pisan ngantek tekan pok pupu.

Utak-atik Kata
Penulis novel ini sangat piawai dalam menyusun dan mengutak-atik kata, contohnya:
Kae tuli dongeng! Adoh tur ngaeng!

Dari hal-hal di atas, yakni: kekuatan kosa kata, kekuatan deskripsi, bahasa yang blakasuta, dan utak-atik kata; saya optimis bahasa Banyumasan memiliki potensi yang sangat besar dalam penulisan karya satra.[]
Banyumas, 14 Maret 2020
Agus Pribadi
Penulis buku cerkak Doresani
Share:

Sabtu, 24 November 2018

Dari Prasasti Sukabumi ke Antologi Doresani

Dari Prasasti Sukabumi ke Antologi Doresani

Oleh Jefrianto

Tata Gelar Kesusastraan Jawa
Pada tahun 1916, sebuah batu tulis ditemukan di Kediri. Lebih tepatnya pada sebuah perkebunan kopi di daerah Sukabumi, Pare. Batu bertulis tersebut kemudian dialih-aksarakan oleh seorang ahli purbakala bernama Stein Callenfels. Alih-aksara tersebut lalu diterbitkan dengan judul De Inscriptie van Soekaboemi (Inskripsi Sukabumi). Belakangan, ia lebih dikenal sebagai Prasasti Sukabumi alias Prasasti Harinjing.
Lalu, apa yang istimewa dari Prasasti Sukabumi?
Ia terasa istimewa, sebab oleh para peneliti purbakala dikukuhkan sebagai bukti tertua mengenai bahasa Jawa Kuno. Sebuah bahasa yang konon dianggap piranti bahasa paling mula dari masyarakat Jawa. Dan sejak itulah, tarikh 732 Saka yang tertera pada Prasasti Sukabumi, menjadi tanda sayonara bagi masa pra-sejarah di Jawa.
Secara umum, suatu masyarakat pastinya akan melahirkan suatu kebudayaan. Maka dari itu, masyarakat Jawa Kuno pun menghasilkan karya sastra berbhasa Jawa Kuno. Kita mengenalnya sebagai kakawin. Sebuah karya sastra berbahasa Jawa Kuno, berbentuk puisi, yang masih kental dengan metrum sastra India. Kakawin kurang lebih hidup dngan aman dan makmur di Jawa selama 4 abad.
Setelah berlalunya kejayaan kakawin, lahirlah kidung. Karya sastra ini memang terasa lebih membumi sebab ia mulai menggunakan metrum-metrum yang diyakini berasal asli dari Jawa. Dan tahun demi tahun, masyarakat Jawa juga senantiasa berubah. Karya sastra yang lebih membumi lahir kembali dalam bentuk tembang macapat. Format ini bahkan masih sangat digdaya hingga hari ini. Sebab ia dipakai pada karya-karya sastra yang sifatnya “wajib” semacam Wulangreh, Wedhatama, dan Candrarini.
Barangkali perubahan besar pada kesusatraan Jawa dimulai sejak tahun 1832, ketika sebuah Lembaga Bahasa Jawa didirikan di Surakarta. Dari lembaga tersebut, karya sastra Jawa yang tadinya bernafaskan istana sentris, mulai membaur dnegan amsyarakat. Format macapat tidak lagi menjadi format tunggal dalam khazanah kesustraan Jawa.
Sebab, Jawa mulai mengenal karya sastra berciri budaya barat seperti novel dan puisi. Hingga kini, kesusastraan Jawa yang digambar sejak era kakawin itu ternyata juga selalu berubah. Beberapa dasawarsa yang lalu ia memang seolah-olah “hanya” berada di Yogyakarta dan Surakarta. Namun, dalam dasawarsa terakhir ini, ruh Jawa terasa ada di mana-mana. Ia ada di Jawa Banyumasan, Jawa Tegalan, Jawa Banyuwangi, Jawa Surabayan, dan sebagainya.
Ini dibuktikan dengan pemenang Hadiah Sastera Rancage, sebuah anugrah bagi sastra daerah yang digagas oleh Ajip Rosidi sejak tahun 1989, yang tak hanya berasal dari karya sastra berbahasa Jawa baku (dialek Yogyakarta-Surakarta). Pada tahun 2007, Ahmad Tohari membuka dialektika tentang Jawa Raya, dengan memenangkan Hadiah Sastera Rancage untuk karyanya, Ronggeng Dukuh Paruk Banyumasan.
Di situ, tanda tanya tentang Jawa yang heterogen memulai perjalananannya. Dan pertanyaan itu kian mengena manakala Lanang Setiawan memenangkan Hadiah Sastra Rancage untuk jasanya dalam mengembangkan bahasa Tegalan.
Lama-kelamaan, Jawa yang heterogen ternyata bukan sekadar pertanyaan. Ia, telah menjadi sebuah keniscayaan. Di tahun 2017, Mohammad Syaiful dari Banyuwangi kian menambah heterogenitas jagat sastra Jawa melalui karya berbahasa Usingnya, Agul-agul Blambangan, yang memenangkan Hadiah Sastera Rancage.
Dengan ini, kian jelaslah bahwa Jawa masa kini bukanlah Jawa yang terpusat. Seluruh manusia Jawa hari ini bebas berekspresi menggunakan bahasa ibunya sendiri. Ia bebas berkespresi, menuangkan gagasannya dan imajinasinya dalam bentuk karya sastra, tanpa harus menggunakan bahasa Jawa baku.
Jawa yang heterogen, Jawa yang baru. Itulah yang tersaji di hari ini. Maka tidak anehlah ketika di awal tahun 2018, seorang guru IPA bernama Agus Pribadi ikut merayakan “kebebasan” tersebut dengan menerbitkan sebuah antologi cerita cekak (cerkak) bebahasa Banyumasan dengan judul Doresani.
Wana-Carita pada Pagina-pagina Doresani
Doresani merupakan monumen, tetenger pencapaian karya seorang Agus Pribadi. Kisah-kisah dalam Doresani ditulis pada rentang 2013–2017(?). Karya ini seakan menggambarkan perjalanan Agus dalam berolah diri dan berolah rasa menggunakan bahasa ibunya.
Hampir keseluruhan cerita dalam Doresani merupakan cerita mengenai kehidupan rakyat jelata. Ada kisah mengenai guru yang hidupnya pas-pasan, seperti yang digelar dalam cerkak Ban Kempes. Ada pula kisah mengenai kehidupan petani beserta keluguannya seperti yang tergambar melalui cerkak Wedang Teh.
Biarpun tentang rakyat jelata, kisah-kisah dalam Doresani ternyata memiliki nuansa yang mampu membuat pembacanya merenung sejenak. Sebagaimana percakapan antara tokoh Inyong dan istrinya dalam cerkak Lilin:
“Kiye agi ngrasa ayem pisan kayong jaman gemiyen dhong agi urung ana listrik neng umah.”
“Iya ya, Kang. Kahanan kaya kiye malah kayong tenang pisan. Senajan lampune urung murub lan mung nganggo lilin, ningen malah neng ati kayong tenang lan padhang, ora krasa nggrungsang.
(Doresani, hal. 70)
Si tokoh Inyong dalam cuplikan di atas rasanya seperti penggambaran manusia masa kini. Manusia modern yang kerapkali dihantam rindu-dendam terhadap wujud-wujud hidup tradisional. Seakan-akan memang tidak ada ssuatu yang kukuh dalam hidup manusia. Atau dengan meminjam kalimat Goenawan Mohammad: tak ada yang absolut di dunia ini!
Rasa-rasanya, nilai-nilai itu menjadi suatu keunggulan tersendiri antologi Doresani. Sebab hal-hal macam demikian mampu menjadi suatu asupan solilokui bagi pembaca, khususnya mereka yang berbahasa ibu Banyumasan. Nelson Mandela pernah berujarr: Berbicaralah kepada seseorang menggunakan bahasa ibunya. Maka, apa yang kau ucapkan akan masuk ke dalam hatinya.
Selain menyajikan cerita, melalui kumpulan cerkaknya ini, rupa-rupanya Agus Pribadi juga mendedahkan berbagai varian kosakata bahasa Banyumasan terhadap pembaca. Sebagaimana yang telah dibahas di muka, bahwasanya Jawa itu tidak tunggal, Bnayumasan pun demikian. Orang Cilacap, jarang yang mengetahui arti dari kata macam doresani, clebek, ataupun kongang. Apalagi anak-anak berbahasa ibu Banyumasan masa kini. Mereka sudah tidak akarab lagi dengan bahasa-bahasa yang terkesan ndesa macam itu.
Dengan demikian, antologi Doresai secara tidak langsung adalah hadir upaya pemertahanan bahasa ibu di masa kini. Sebab, dewasa ini, bahasa ibu kian tergerus poisisinya oleh bahasa nasional dan internasional.
Biarpun demikian, cerita-cerita yang muncul dalam Doresani ini rasanya masih muncul sebagai purwarupa. Dalam artian bahwa cerita-cerita tersebut sebenarnya masih bisa dikembangkan dan diolah kembali sehingga menjadi sebuah karya sastra yang lebih sublim.
Memang, salah satu kelemahan umum dari karya sastra berbahasa daerah adalah kerapkali ia muncul sebagai sesuatu “uneg-uneg” yang disampaikan menggunakan bahasa ibu. Sangat jarang, sebuah karya sastra sastra berbahasa aerah, utamanya yang berformat cerita, menggunakan teknik & strategi bercerita layaknya cerita pendek berbahasa Indonesia.
Sungguh sangat diharapkan, Agus Pribadi akan terus berkarya dan mendarmabaktikan pengetahuan, pengalaman, dan imajinasinya dalam berolah diri menggunakan bahasa ibunya sendiri. Sehingga pada akhirnya nanti, karya sastra berbahasa Banyumasan yang sublim, yang “meneror” pembaca, akan lahir dari tangannya.
Kecuali itu, secara gramatikal Doresani masih perlu disempurnakan. Karena kerap dalam pembacaaan yang dilakukan, masisih ditemukan berbagai kosakata yang masih “Indonesia” sekali. Namun demikian halnya, hal tersebut bisa diatasi suntingan untuk cetakan buku berikutnya.
Sejatinya, yang tak kalah penting dari Doresani adalah kehadirannya pada hingar bingar bernama semangat nguri-uri budaya. Di saat banyak orang sibuk berkampanye untuk nguri-uri budaya, ternyata seorang Agus Pribadi dengan kalemnya menyodorkan karya sastra berbahasa Banyumasan kepada masyarakat. Tanpa harus berkoar-koar, Agus Pribadi, jelas, melalui Doresani, tampil sebagai kridawan budaya yang mumpuni!
Kehadiran Doresani bisa dianggap sebagai sumbangan penting bagi khazanah kesusastraan Jawa. Ia hadir untuk menambah kesemarakan pada khazanah sastra Jawa. Tentu saja bukan sastra Jawa yang itu-itu saja. Yang kerap kali ditemui dalam bahasa Jawa dialek Yogyakarta-Surakarta.
Sastra Jawa masa kini adalah sastra Jawa yang disokong oleh bahasa ibu pengarangnya. Ia kini tak lagi harus takluk pada bahasa Jawa baku. Belum banyak karya sastra Jawa yang menggunakan bahasa Jawa non dialek Yogyakarta-Surakarta, utamanya yang sudah beruwujud buku.
Sangat diharapkan bahwasanya Antologi Doresani akan mampu memantik bagi para sastrawan di Banyumas yang menulis dalam baahsa ibunya sendiri, untuk kemudian menerbitkan buku. Sebab, seperti kata Suparto Brata, sang begawan sastra Jawa, sastra itu buku. Ia tak hanya untuk kita di masa ini. Ia akan diwariskan kepada anak cucu. Merekalah pelanjut semangat, pelanjut laku-budaya dalam dunia yang semakin kikis batasnya ini.
Esai ini disampikan pada Bedah Buku Doresani karya Agus Pribadi di Universitas Muhammadiyah Purwokerto, April 2018.

Sumber: Medium.com
Share:

Rabu, 07 November 2018

Resensi Buku Unggas-Unggas Bersayap Putih


Merenungi Makna Kehidupan dalam Sebuah Cerita
Oleh Sam Edy Yuswanto*
 
Judul Buku      : Unggas-Unggas Bersayap Putih
Penulis             : Agus Pribadi
Penerbit           : Cipta Media Edukasi
Cetakan           : I, April 2018
Tebal               : vi + 98 halaman
ISBN               : 978-602-5812-12-5

            Banyak cara yang bisa digunakan untuk merenungi makna kehidupan ini. Salah satunya melalui sebuah cerita pendek atau cerpen. Meskipun cerita pendek merupakan karya fiksi, akan tetapi kisah dan tokoh-tokoh di dalamnya kerap terinspirasi oleh kejadian sehari-hari yang ada di lingkungan sekitar kita.
            Agus Pribadi, penulis buku ini misalnya. Biasanya cerpen-cerpen yang ia tulis berdasarkan kejadian sehari-hari yang ia saksikan secara tak sengaja. Misalnya cerpen berjudul “Kendaraan Terbaik”, ia mengaku terinspirasi saat sedang mengendarai sepeda motor menuju tempat kerjanya. “Di atas kendaraan itu, saya menangkap ide cerpen dengan tema kendaraan terbaik yang bagi saya adalah keranda jenazah” papar Agus dalam kata pengantarnya.
            Dalam cerpen tersebut, dikisahkan seorang lelaki yang memiliki cita-cita selalu berubah-ubah seiring bertambahnya usia. Sewaktu kecil, si lelaki ingin menjadi seorang masinis. Alasannya, naik kendaraan panjang dengan banyak penumpang itu menyenangkan. Lalu, saat mulai masuk sekolah, ia bercita-cita ingin memiliki sepeda ontel. Sayangnya, ayah tak memiliki uang cukup untuk membelikannya sepeda ontel.
            Singkat cerita, ketika usianya beranjak dewasa, si lelaki memiliki cita-cita ingin memiliki sepeda motor. Lantas, ketika sudah bisa membeli sepeda motor, ia ingin memiliki mobil. Dan ketika sudah memiliki mobil, ia ingin naik pesawat terbang dalam setiap perjalanannya. Ya, cita-cita si lelaki selalu berubah seiring usia bertambah dan kekayaan yang melingkupi kehidupannya. Sayangnya, ia belum sempat kesampaian naik pesawat terbang karena ajal keburu datang menjemput. Ia baru menyadari semuanya ketika sedang berada di atas keranda jenazah yang tengah ditandu oleh anak cucunya (hal 9-12).
            Cerpen selanjutnya yang terinsiprasi dari kejadian di sekitar penulis berjudul “Sihir Bisa Ular”. Cerpen tersebut terinspirasi dari tetangga penulis yang meninggal dunia karena digigit ular kobra. “Dari kejadian itu, saya imajinasikan dengan hadirnya sosok bidadari pada mimpi-mimpi tokoh yang digigit ular” ungkap Agus Pribadi dalam kata pengantar buku ini.
            Cerpen “Sihir Bisa Ular” bercerita tentang seorang lelaki bernama Sona, seorang pengamen jalanan dan juga berprofesi sebagai penangkap ular untuk dijual. Setiap sore, ia menuju ke area persawahan, lantas memeriksa lubang-lubang yang berada di tepi tegalan atau di pinggir sungai dekat sawah. Saat ia melihat ular menyembul dari lubang tersebut, ia akan berusaha menangkap dengan tangannya, tanpa menggunakan pelindung apa pun (hal 13).
            Karena tanpa pelindung, Sona sering digigit oleh ular-ular hasil tangkapannya. Bahkan, ia secara sengaja membiarkan tangannya digigit ular-ular tersebut. Ia memang mengaku sakit, tapi berusaha tak dirasakannya. Karena rasa sakit itu hanya sebentar dan akan sembuh dengan sendirinya. Biasanya, usai digigit, saat malam hari ia akan bermimpi didatangi bidadari berwajah cantik yang ingin berteman dengannya.
Singkat cerita, suatu ketika Sona mengaduh kesakitan saat digigit seekor ular berkepala gepeng. Tak seperti biasanya, rasa sakit itu tak kunjung sembuh, bahkan semakin hari kondisi tubuh Sona semakin melemah. Anehnya, setiap malam saat tidur, wajah Sona justru terlihat berseri-seri. Ternyata ia tengah bermimpi bertemu bidadari yang ingin dinikahinya (hal 17).
            Masih banyak cerpen-cerpen menarik lainnya dalam buku ini yang selain menghibur juga sarat akan makna kehidupan. Misalnya, cerpen berjudul “Suami Setia” mengisahkan kesetiaan seorang lelaki terhadap istri yang dicintainya, cerpen berjudul “Unggas-Unggas Bersayap Putih” bercerita tentang seorang perempuan yang lalai menjaga anak yang tengah bermain sendirian hingga akhirnya tenggelam di dalam kolam, dan lain sebagainya.
Meskipun di dalam buku ini masih dijumpai beberapa kesalahan penulisan, tapi tak sampai mempengaruhi kisah-kisah menarik yang ditulis oleh pria kelahiran Purbalingga Jawa Tengah, yang saat ini selain berprofesi sebagai penulis, juga sebagai guru SMPN 5 Mrebet Purbalingga.
***
             *Peresensi: Sam Edy Yuswanto, penulis lepas mukim di Kebumen.

( Dimuat di Radar Sampit, 4 November 2018 )


Share:

Minggu, 29 Juli 2018

Menziarahi Kebanyumasan Dalam Kumpulan Cerkak Doresani

Menziarahi Kebanyumasan
dalam Kumpulan Cerkak Doresani Karya Agus Pribadi
Oleh: Adhy Pramudya


Ziarah dalam perspektif masyarakat Banyumas tidak hanya dipandang sebagai ritus religi. Ziarah adalah laku menemukan diri. Diri sebagai bagian dari jagat raya dan diri sebagai makhluk angonan Tuhan YME. Dari ziarah yang merupakan bentuk laku tersebut, manusia diharap terus mengingat bahwa ia sedang di-angon oleh Si Empunya di jazirah jagat raya. Maka ia (manusia) mestinya berupaya menghayati asal mula dan ke mana ia akan kembali. Sangkan Paraning Dhumadi. Muasalnya kelahiran dan kepulangan kematian.
Masyarakat Banyumas, juga Jawa pada umumnya, menamakan tradisi ziarah dengan sebutan nyekar. Nyekar biasa dilakukan pada hari-hari dan bulan-bulan terentu. Namun yang ramai dilakukan adalah menjelang bulan ramadan dan hari raya idul fitri. Makam yang biasa diziarahi lazimnya makam anggota keluarga, leluhur, serta tokoh masyarakat. Tetapi sejatinya, bagi masyarakat Banyumas, ziarah merupakan jalan mengingat/perenungan/nasihat bahwa manusia dan semua makhluk di alam raya akan menemukan proses pulang atau mati. Boleh jadi demikian halnya dengan bahasa Penginyongan atau Banyumasan. Sebagai pemberian dari Tuhan, bahasa Penginyongan menempuh fase lahir, tumbuh, dan berkembang. Tetapi dalam kurun waktu tertentu boleh jadi bahasa Penginyongan akan mati. Dari kematiannya itu, hanya dua kemungkinan yang terjadi: dilupakan atau diingat.
Ziarah dalam Kumpulan Cerkak Doresani
Membaca kumpulan cerkak (cerita cekak) Doresani anggitan Agus Pribadi, saya merasa sedang menziarahi diri. Diri yang mewujud tanah asal, tanah kelahiran saya. Ada sesuatu yang rasanya membuat betah, berlama-lama di dalam teks yang ditulis dengan bahasa penginyongan. Teks tersebut memang ditulis menggunakan bahasa ibu sang penganggit, termasuk bahasa ibu saya, yaitu bahasa Jawa dialek Banyumasan. Saya seolah diajak mengingat kembali secara tegas dari mana saya berasal. Tak hanya soal muasal bahasa ibu, tetapi juga ihwal budaya sebagai bagian dari muasal saya tersebut. Seperti yang dikatakan Trianton (2013: 1) bahasa dapat menentukan jati diri seseorang, dan sebagai penanda kebudayaan tertentu.
Itulah sebabnya, dengan membaca cerkak-cerkak yang termaktub dalam kumpulan Cerkak Doresani, ada serpihan pengalaman ruang dan waktu, yang seolah dekat sekali dengan saya. Aneka pengalaman itu terkadang saling sapa, saling sahut, dan berkelindan dengan saya sebagai pembaca. Sesuatu yang semestinya dekat, bahkan bagian dari diri saya tetapi seolah teramat jauh. Asing. Seolah saya hanya pernah berjumpa di masa yang teramat lampau. Saya mencoba-coba mengingat kelampauan itu. Walhasil, memang ada kesulitan. Kesamaran demi kesamaran itu saya lawan, sampai akhirnya saya berhasil mengingatnya. Tentu tidak dengan ingatan yang sepenuhnya sempurna.
Itulah kenapa, ketika membaca cerkak-cerkak dalam Doresani, saya umpamakan sebagai bentuk menziarahi artefak kebudayaan. Mengunjungi hal-ihwal: kebanyumasan, perihal bahasa, kosa kata, dan idiom-idiom khas penginyongan yang disuguhkan cerkak-cerkak tersebut. Kosa kata seperti:  gadung, ngendong, dophokan, wedhang clebek, gedhang godhog, pedhangan, senthong, mluku, njrengkanang, dan wuru, semakin menandai identitas kebanyumasannya. Sederet kosa kata itu, rupanya telah menarik jiwa dan perhatian saya. Perhatian tersebut kemudian menggugah kesadaran. Sebenarnya masih banyak kosa kata yang mesti digali dan dipahami sebagai kearifan lokal yang tak dimiliki daerah lain. Saya yakin, idiom-idiom (ungkapan) semisal : trengginas, gipyak, kedimik-kedimik, ngonggor, nggleweh, bombong, bungah, senenge ora eram, nangis nggingging, membleb-membleb, getok  tular, blas ketipas,  dan doresani, merupakan daya pikat tersendiri yang hanya dimiliki masyarakat Banyumas.
Pertama-tama, itulah impresi yang saya rasakan ketika berziarah di dalam kumpulan Cerkak Doresani.  Masa lampau, peristiwa dan ungkapan yang terselip di dalam fiksionalitas itu melebur. Seolah-olah menjadi nyata. Saya seakan-akan turut mengalami dan merasakan kejadian dalam ruang dan waktu semu tersebut. Gambaran itu, amat saya rasakan ketika membaca cerkak berjudul Doresani. Dorenasi jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia,  bisa bermakna belas kasihan, keprihatinan dan empati yang amat dalam. Pendeknya, orang akan terpancing mengatakan doresani, ketika melihat seseorang atau kerabat sewaktu ditimpa musibah. Baik kesripahan/kematian (mikro kosmos) atau bencana alam (makro kosmos). Itulah kenapa, kala membaca Doresani, saya pun merasa sedang melayat Kang Dimin.  Turut berbelasungkawa dengan perasaan amat purba. Atas berpulangnya mendiang ke tanah asal. Saya kira, doresani memang tepat untuk menggambarkan keadaan Kang Dimin yang memprihatinkan.
Doresani. Tembung kuwe kayong sing paling memper kanggo nggambaraken kahanane Kang Dimin. Apamaning wong liya, keluargane dhewek kayong ora nggople-nggoplea awit dheweke mriyang butul matine. (D: 47)
“Kang Dimin wis mati,” wong-wong pada aweh ngerti getok tular nganti sekampung krungu kabeh. Inyong gagean mlayu niliki apa bener kabar kuwe. Ora perduli urung dandan, ora preduli kudunge menceng apa ora. Ora preduli sandal sing tak enggo selan selen apa ora. Inyong mrebes mili turut dalan. Meh baen inyong nabrak wit gedhang saking nggrungsange atine inyong. Kayong ana sing mlumpat-mlumpat neng njero dadane inyong. Sedawane dalan inyong kemutan gemiyen agi esih sekolah. Kang Dimin batir sekolah sing mbejud, seneng gelut karo bocah lanang, lan senenge nggleweh maring bocah wadhon.  (D: 47
Selain bahasa, perihal penamaan orang (tokoh) di dalam cerkak-cerkat tersebut juga memliliki keunikan tersendiri. Hal itu terdapat dalam cerkak berjudul Kaki Bengel. Kaki Bengel adalah nama tokoh yang menjadi gagasan cerita. Kocap kacarita, Kaki Bengel sebenarnya merupakan pelekatan nama yang disematkan oleh masyarakat kepada Kaki Dipa (Kakek Dipa). Ia sendiri hakikatnya orang melarat, hidupnya pas-pasan, memiliki anak empat, namun tak mau menerima keadaan. Ia tergolong orang yang konsumtif, berlindung kemewahan. Walhasil,  biduk rumah tangganya menjadi tidak karu-karuan. Berantakan. Ekonominya kandas. Besar pasak ketimbang tiang. Melihat kondisi yang dilematis tersebut, orang-orang lingkungan tersebut justru sepakat, menamakan Kaki Dipa menjadi Kaki Bengel.
Embuh sapa sing njenengi. Wong-wong ngarani Kaki Bengel. Bengel ya padha baen karo puyeng. Janen jenenge kaki Dipa, ningen embuh awit kapan koh wong-wong padha ngarani kaya kuwe. Gali ngarani ora neng ngarepe wonge. Nang mburi, dadine ya sing diarani ora ngerti. (KB:7)
Pelabelan nama di Banyumas, hakikatnya merupakan renungan atas sifat, tabiat, dan karakter seseorang. Itulah sebabnya, atas sikap Kaki Dipa yang kemaruk, masyarakat membuat  konvensi (kesepakatan) menamakan Kaki Dipa menjadi Kaki Bengel. Yang nuwun sewunya, sebenarnya hal tersebut sama saja turut mengutuk kesengsaraan seseorang. Namun begitulah, lelucon itu rupanya hanya dimaksudkan sebagai cara masyarakat Banyumas untuk mendatangkan hiburan. Sekalipun dengan cara-cara yang murah.
Sementara itu, di dalam cerkak bertajuk Ngendong, terdapat nama-nama tokoh yang merupakan ejawantah dari pelakunya. Setiap tokoh yang membawakan laku tertentu, menjadi penanda untuk penamaan tertentu pula. Seperti halnya Yu Luwes. Ia merupakan tokoh yang tidak banyak bicara, namun ringan tangan.  Luwes yang dimaksud tentu menandakan perilaku yang menyenangkan. Berbeda dengan tokoh Yu Lemu, yang dikonotasikan sebagai keprihatinan. Citra tersebut tergambarkan manakala Yu Lemu berjalan pelan sekali,  menanggung beban tubuh beratnya yang membuat ia payah.
Kayong sing dilakoni neng Yu Lemu. Meh saben dina Minggu, wong kae ngendong maring gone Yu Luwe, mboke inyong. Kayong jenenge, wonge nek mlaku kayong kaboten awak, unduk-unduk alon banget. (Ng: 12)
Bar kuwe Yu Luwes ngetokna wedang clebek sing clebeke dibebek dhewek nang lumpang. Dekancani godhogan gedhang. Kayong wis apal nek ana suara reketekkkkkk brati Yu Lemu sing agi njagong neng risban. (N: 13)
Banjur Yu Lemu ndopok werna-werna banget. Sing diomongna anak wadone. Ngomongna anak mantune. Ngomong keluarga bojone. Lan liya-liyane. Yu Luwes ya ngrungokna dopokane Yu Lemu ana kalane desambi karo mbebek clebek, utawane njangan lan nggoreng tempe. (N: 13)
Secara khas pula, fragmen Ngendong di atas mencirikan watak dan karakter orang Banyumas yang lekat dengan budaya ndopoknya (bercerita). Meski demikian, hakikak dari cerita yang digambarkan, sebenarnya bermuatan kritik kepada tokoh yang malas. Hal ini dicitrakan dalam tokoh Yu Lemu yang rentan dengan tubuh besarnya, gemar bercerita, dan suka menceritakan masalah keluarga kepada orang lain. Gambaran tersebut bertolak dengan sifat dan watak orang Banyumas yang cacundan (trengginas dan giat bekerja). Namun tidak dipungkiri, kebiasaan ngendong dalam kehidupan nyata sendiri, perlahan mulai mengikis. Itulah yang sebenarnya ingin direkatkan kembali pada cerkak Ngendong.
Kritik terhadap sikap dan karakter jati diri masyarakat Banyumas juga terselip dalam cerkak bertajuk Kaki Bengel. Perihal penamaan yang dilabelkan (dilegitimasi) oleh masyarakat hakikatnya merupakan kritik atas hilangnya nilai-nilai kearifan dan jati diri masyarakat Banyumas yang giat bekerja, sabar lan narima.  Lain halnya ketika menilik penokohan cerpen karangan Ahmad Tohari yang berjudul Senyum Karyamin. Watak dan penokohan Karyamin lebih mewakili sebagai masyarakat Banyumas yang nrima ing pandum. Dalam cerpen tersebut, Karyamin dikonotasikan sebagai sifat sabar dan menerima keadaan sekalipun hakikatnya sangat berat. Sebagai penambang batu yang hidupnya pas-pasan, sekalipun perutnya sudah tak dapat menahan lapar, ia tetap menolak dihutangi makanan. Pada gilirannya, Karyamin jatuh, tubuhnya tergelincir dan tumpah beserta batu-baru yang ia pikul di keranjang. Meskipun demikian, hal ini justru menarik. Sebab, dengan penokohan Kaki Bengel inilah, Agus Pribadi sedang mengkritisi tokoh yang kehilangan jati diri kebanyumasannya, yaitu kehilangan watak sabar lan narimanya.
Doresani. Adalah satu ungkapan khas yang tepat untuk menggambarkan keadaan Banyumas dewasa ini. Saya pun merasa prihatin, di era yang milenial, bahasa penginyongan nampaknya kurang diminati oleh sebagian kawula muda. Bahkan bukan saja perihal bahasa yang mulai mengikis. Nama orang, sandang, papan dan pangan sikap dan karakter masyarakat Banyumas yang terikat dengan nilai-nilai luhur pun mulai terpinggirkan. Demikianlah yang terangkum dalam kumpulan cerkak Doresani. Beberapa tradisi dan kebudayaan kebanyumasan yang digambarkan tengah mengalami metamorfosa dengan cukup kentara.
Bilamana generasi muda (khususnya masyarakat Banyumas) malu dan enggan menggunakan bahasa penginyongan, baik secara lisan atau tulisan, niscaya akan nambah ndoresani. Beruntung, saya masih menemukan perbendaharaan bahasa pengingyongan yang tergarap dengan baik di dalam kumpulan cerkak Doresani, anggitan Agus Pribadi. Itulah kenapa, saat membaca kumpulan cerkak tersebut, saya seolah sedang menemukan diri yang sejati. Diri di mana saya dilahirkan (proses mendapatkan bahasa ibu) dan menyerahkan kembali (bahasa ibu) ke muasal saya. Membaca cerkak-cerkak tersebut, pada gilirannya membuat saya manunggal bersama cerita. Antara teks dan pembaca seolah tak ada jarak yang memisahkan. Meski demikian, Doresani tetaplah artefak yang dapat ditilik untuk menziarahi Banyumas melalui karya sastra. Inilah laku sangkan paraning dhumadi yang dihayati oleh Agus Pribadi untuk kembali ke tanah asal, melalui bahasa ibunya.
Pinggir Kali Serayu, 15 Maret 2018

Share:

VIDEO PEMBELAJARAN

Frequency Counter Pengunjung

Artikel Terbaru

LINK SAYA

Komentar Terbaru

Konsultasi IPA