Merenungi Makna Kehidupan
dalam Sebuah Cerita
Oleh Sam Edy Yuswanto*
Judul Buku : Unggas-Unggas
Bersayap Putih
Penulis : Agus
Pribadi
Penerbit : Cipta
Media Edukasi
Cetakan : I, April 2018
Tebal : vi + 98 halaman
ISBN : 978-602-5812-12-5
Banyak cara yang
bisa digunakan untuk merenungi makna kehidupan ini. Salah satunya melalui
sebuah cerita pendek atau cerpen. Meskipun cerita pendek merupakan karya fiksi,
akan tetapi kisah dan tokoh-tokoh di dalamnya kerap terinspirasi oleh kejadian
sehari-hari yang ada di lingkungan sekitar kita.
Agus Pribadi,
penulis buku ini misalnya. Biasanya cerpen-cerpen yang ia tulis berdasarkan
kejadian sehari-hari yang ia saksikan secara tak sengaja. Misalnya cerpen
berjudul “Kendaraan Terbaik”, ia mengaku terinspirasi saat sedang mengendarai
sepeda motor menuju tempat kerjanya. “Di atas kendaraan itu, saya menangkap ide
cerpen dengan tema kendaraan terbaik yang bagi saya adalah keranda jenazah”
papar Agus dalam kata pengantarnya.
Dalam cerpen
tersebut, dikisahkan seorang lelaki yang memiliki cita-cita selalu berubah-ubah
seiring bertambahnya usia. Sewaktu kecil, si lelaki ingin menjadi seorang
masinis. Alasannya, naik kendaraan panjang dengan banyak penumpang itu
menyenangkan. Lalu, saat mulai masuk sekolah, ia bercita-cita ingin memiliki
sepeda ontel. Sayangnya, ayah tak memiliki uang cukup untuk membelikannya
sepeda ontel.
Singkat cerita,
ketika usianya beranjak dewasa, si lelaki memiliki cita-cita ingin memiliki
sepeda motor. Lantas, ketika sudah bisa membeli sepeda motor, ia ingin memiliki
mobil. Dan ketika sudah memiliki mobil, ia ingin naik pesawat terbang dalam
setiap perjalanannya. Ya, cita-cita si lelaki selalu berubah seiring usia
bertambah dan kekayaan yang melingkupi kehidupannya. Sayangnya, ia belum sempat
kesampaian naik pesawat terbang karena ajal keburu datang menjemput. Ia baru
menyadari semuanya ketika sedang berada di atas keranda jenazah yang tengah
ditandu oleh anak cucunya (hal 9-12).
Cerpen selanjutnya
yang terinsiprasi dari kejadian di sekitar penulis berjudul “Sihir Bisa Ular”. Cerpen
tersebut terinspirasi dari tetangga penulis yang meninggal dunia karena digigit
ular kobra. “Dari kejadian itu, saya imajinasikan dengan hadirnya sosok
bidadari pada mimpi-mimpi tokoh yang digigit ular” ungkap Agus Pribadi dalam
kata pengantar buku ini.
Cerpen “Sihir Bisa
Ular” bercerita tentang seorang lelaki bernama Sona, seorang pengamen jalanan
dan juga berprofesi sebagai penangkap ular untuk dijual. Setiap sore, ia menuju
ke area persawahan, lantas memeriksa lubang-lubang yang berada di tepi tegalan
atau di pinggir sungai dekat sawah. Saat ia melihat ular menyembul dari lubang
tersebut, ia akan berusaha menangkap dengan tangannya, tanpa menggunakan
pelindung apa pun (hal 13).
Karena tanpa
pelindung, Sona sering digigit oleh ular-ular hasil tangkapannya. Bahkan, ia
secara sengaja membiarkan tangannya digigit ular-ular tersebut. Ia memang mengaku
sakit, tapi berusaha tak dirasakannya. Karena rasa sakit itu hanya sebentar dan
akan sembuh dengan sendirinya. Biasanya, usai digigit, saat malam hari ia akan
bermimpi didatangi bidadari berwajah cantik yang ingin berteman dengannya.
Singkat cerita, suatu ketika Sona mengaduh kesakitan
saat digigit seekor ular berkepala gepeng. Tak seperti biasanya, rasa sakit itu
tak kunjung sembuh, bahkan semakin hari kondisi tubuh Sona semakin melemah. Anehnya,
setiap malam saat tidur, wajah Sona justru terlihat berseri-seri. Ternyata ia
tengah bermimpi bertemu bidadari yang ingin dinikahinya (hal 17).
Masih banyak
cerpen-cerpen menarik lainnya dalam buku ini yang selain menghibur juga sarat akan
makna kehidupan. Misalnya, cerpen berjudul “Suami Setia” mengisahkan kesetiaan
seorang lelaki terhadap istri yang dicintainya, cerpen berjudul “Unggas-Unggas
Bersayap Putih” bercerita tentang seorang perempuan yang lalai menjaga anak
yang tengah bermain sendirian hingga akhirnya tenggelam di dalam kolam, dan
lain sebagainya.
Meskipun di dalam buku ini masih dijumpai beberapa
kesalahan penulisan, tapi tak sampai mempengaruhi kisah-kisah menarik yang
ditulis oleh pria kelahiran Purbalingga Jawa Tengah, yang saat ini selain
berprofesi sebagai penulis, juga sebagai guru SMPN 5 Mrebet Purbalingga.
***
*Peresensi:
Sam Edy Yuswanto, penulis lepas mukim di Kebumen.
( Dimuat di Radar Sampit, 4 November 2018 )
0 komentar:
Posting Komentar